Teori Pendekatan Ulama' dalam Memetakan Ayat Makkiyah dan Madaniyah
Oleh:
M.Zabiburrohman
(Penulis adalah Guru Fiqih MI Thoriqul Huda Juwet)
A.
Sebuah Pengantar
Alquran sebagai sumber hukum Islam
tidak bisa diinterogasi secara “ilmiah” dan nalar insaniyah, sebab yang
terkandung di dalamnya merupakan norma-norma dan doktrin yang absolut. Pada tingkatan
ini, perspektif yang gunakan adalah perspektif “fideistis” seperti yang dinyatakan
Soren Kierkegaard, filosof Denmark, yang mengatakan bahwa iman adalah suatu
“lompatan”. Keberanian kita untuk “melompat” tanpa didukung oleh bukti-bukti “ilmiah”,
kemudian menyimpulkan kebenaran pewahyuan Alquran adalah suatu tindakan iman.
Keberadaan Alquran sebagai data
sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tengah-tengah umat
Islam. Alquran juga menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norma aturan-aturan
yang mengatur kehidupan umat Islam. Melalui standar keilmuan tertentu, Alquran
bisa saja diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan
sebagainya. Kedua hal tersebut tidak bisa dicampuradukkan. Interogasi “ilmiah”
terhadap Alquran sudah sepantasnya ditempatkan pada wilayah kajian ilmiah,
bukan dipandang sebagai sebuah penyimpangan pada iman.
Pada tahapan selanjutnya, mulai
terdapat penulusuran mengenai ayat-ayat Alquran yang termasuk kategori Makkiyah
dan Madaniyah. Ayat-ayat termasuk juga surah yang diturunkan di Mekah dan
Medinah sering disebut dengan makkiyah dan madaniyah. Pengertian Makkiyah dan
Madaniyah adalah bagian-bagian kitab suci Alquran yang termasuk pada kategori
Makkiyah dan Madaniyah. Dalam hal ini penulis ingin mengupas tentang surat
makiyah dan madaniyah.
B.
Teori
Pendekatan Makkiyah dan Madaniyah
Perkembangan
dan dimamika turunnya wahyu mendapatkan respon yang sangat beragam, begitu pula
peristilahan-peristilahan yang muncul dari kajian terhadap al-Qur'an. Mulai
dari istilah ayat, surat, asbabun nuzul, waqaf, washal dan lain
sebagainya. Yang tak kalah menarik mengenai istilah yang disebutkan dalam studi
al-Qur'an adalah Makki dan Madani. Ada juga yang menyebut dengan istilah
Makkiyah dan Madaniyyah.
Kata Makki dan
Madani merupakan bagian dari terma yang ada dalam kajian al-Qur'an, yang
dimaksudkan untuk memberikan nama jenis surat/ayat dalam al-Qur'an. Keduanya
lahir dari dua nama kota besar yang ada di Jazirah Arab, yaitu Makah dan
Madinah. Selanjutnya dinisbahkan dengan isim sifat, yang ditandai dengan
alamat ja' nisbah, maka jadilah kata Makki dan Madani.
Surat Makiyah
ialah wahyu yang turun kepada Muhammad sebelum hijrah, meskipun surat itu tidak
turun di Makah. Sedangkan Madaniyah ialah surat/ayat yang turun kepada
rasulullah setelah hijrah, walaupun surat atau ayat itu turun di Makah. Seperti
yang turun pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makah), waktu haji wada'
(perpisahan) atau dalam perjalanannya.[1]
Sedangkan
disebut ilmu Makki dan Madani, karena ia merupakan bagian dari disiplin
ilmu-ilmu al-Qur'an ('ulum al-Qur'an) yang sudah berdiri sendiri dan
sitematis (mudawam) sebagai salah satu dari cabang-cabang ilmu lainnya.[2] Ilmu
ini mempunyai keunikan tersendiri, karena menerangkan dua fase (periode)
penting turunnya ayat atau surat dalam al-Qur'an, yakni fase Makah dan fase
Madinah begitu pula sebaliknya.[3]
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan ilmu Makki dan Madani adalah ilmu yang membahas ihwal
bagian al-Qur'an surat atau ayat yang Makki dan bagian yang Madani, baik
dari segi arti dan maknanya, cara-cara mengetahuinya, atau tanda masing-masing,
maupun macam-macamnya. Sedangkan Makki dan Madani sendiri adalah bagian-bagian
dari al-Qur'an, dimana ada sebagiannya termasuk Makki dan ada yang termasuk
Madani. Akan tetapi dalam memberikan kriteria mana yang termasuk Makki dan mana
yang termasuk Madani itu, atau di dalam mendefinisikan masing-masingnya, ada
beberapa teori dan pendekatan, oleh karena terdapat perbedaan orientasi yang
menjadi dasar tujuan masing-masing.
Dari sekian
banyak teori dan pendekatan yang digunakan untuk menentukan antara surat atau
ayat dalam al-Qur'an yang dapat dikategorikan Makki dan Madani, dapat
diklasifikasikan dalam beberapa hal sebagai berikut;
1.
Teori mulahazhatu
makaanin (teori geografis) yang berorientasi pada tempat turunnya surat
atau ayat al-Qur'an. Artinya, surat atau ayat dalam al-Qur'an yang diturunkan
di Makah berarti makiyah baik waktu turunnya sebelum atau sesudah hijrah ke
Madinah. Sedangkan ayat atau surat yang turun setelah melakukan hijrah di
Madinah berarti disebut madaniyah.
2.
Teori mulahadzat
al-mukhathabin fi an-nuzul (teori subyektif), yaitu teori yang berorientasi
pada subyek siapa yang di-khitabi/dipanggil dalam ayat. Jika subyeknya
orang-orang Makah maka ayatnya dinamakan Makiyah. Dan jika subyeknya
orang-orang Madinah maka disebut Madaniyah. Ini menunjukkan bahwa butuh penilaian
seobyektif mungkin artinya bahwa usaha untuk mencarikan jalan keluar tetap
dibutuhkan. Menurut teori ini, yang dinamakan surat Makki adalah berisi khitab
kepada penduduk Makah dengan kata; "ya ayyuha an-nas" (wahai
manusia) atau "ya ayyuha al-kafirun" (wahai orang-orang kafir)
atau "ya baniAdama" (hai anak cucu Adam). Sebab kebanyakan
penduduk Makah adalah orang-orang kafir, maka tidak salah dipanggil dengan
panggilan orang kafir atau wahai manusia, walaupun orang kafir di daerah lain
juga turut dipanggil. Sedangkan yang dimaksudkan dengan surat Madani ialah
memuat panggilan dengan panggilan kepada penduduk Madinah. Panggilan itu
biasanya memakai; 'ya (ayyuha al-ladzjna amanu" (wahai orang yang
beriman). Karena mayoritas penduduk Madinah adalah mereka yang beragama Islam
dan tergolong sebagai orang mukmin. Maka panggilan yangdisampaikan dalam bahasa
al-Qur'an adalah sebagaimana panggilan dimaksud.
3.
Teori mulahadzatu
zaman an-nuzul (teori historis), yaitu teori yang berorientasi pada sejarah
waktu turunnya al-Qur'an. Yang dijadikan tonggak sejarah oleh teori ini ialah
hijrah Muhammad dari Makah ke Madinah. Maka yang dimaksudkan dengan surat Makki
adalah yang diturunkan sebelum hijrah ke Madinah meskipun ayat tersebut turun
di luar kota Makah, semisal di Mina, Arafah atau Hudaibiyah dan lainnya.
Sementara Madani adalah ayat yang diturunkan setelah Muhammad hijrah ke Madinah
meskipun ayat tersebut diturunkan di Badar, Uhud, Arafah atau Makah.
4.
Teori mulahadzatu
ma tadhammanat as-surah (teori content analisis), yaitu suatu teori
yang mendasarkan kriterianya dalam membedakan Makiyah dan Madaniyah-nya kepada
isi daripada ayat/surat yang bersangkutan. Dengan kaidah yang demikian ini,
maka yang dimaksud dengan Makki adalah surat/ayat yang berisi cerita-cerita umat
terdahulu atau nabi-nabi yang telah lalu. Sedangkan yang disebut Madani adalah
ayat/surat yang menjelaskan tentang hukum hudud, faraid dan sebagainya.[4]
Ada juga yang
melukiskan tentang pembidangan ta'rif (pengertian) Makki dan Madani
dengan perspektif yang hampir sama dengan pendefinisian di atas. Pengetahuan
yang perlu dimengerti terkait dengan Makki dan Madani adalah membahas kerangka
keilmuan itu dari empat segi;
1.
Dari segi masa
turunnya (tartib az-zaman)
2.
Dari segi
tempat turunnya (tahdid al-makan)
3.
Dari segi topik
yang dibicarakan (tahwil al-maudlu'i)
- Dari segi orang-orang yang dihadapinya (ta'yin al-syakhsyi)[5]
Jadi,
mengetahui surat-surat atau ayat-ayat yang turun di Makah (makiyah) dan yang
turun di Madinah (Madaniyah) menjadi penting untuk dapat memahami dan menafsiri
al-Qur'an dengan benar. Itulah sebabnya, antusiasme para sahabat dan para
tabi'in sangat besar terhadap hal itu. Sehingga Ibnu Mas'ud pernah berkata;
"Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, tidak ada surat pun dari
kitabullah yang turun melainkan saya ketahui dimana ia turun. Dan tidak ada
satupun ayat dari kitabullah yang turun kecuali saya tahu tentang apa ia turun.
Seandainya saya tahu ada seseorang yang lebih tahu/'alim dengan kitabullah
daripada saya, dan orang itu dapat didatangi dengan kendaraan onta, pasti saya
datangi dia", (HR. Bukhari). [6]
Para sahabat
biasa mengamalkan apa-apa yang mereka pelajari dari al-Qur'an. Jadi mereka
tidak hanya mempelajari saja tanpa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, kata Ibnu Mas'ud; "seorang dari kami bila mempelajari sepuluh ayat
al-Qur'an, belum mau menambahnya lagi sebelum benar-benar ia ketahui
makna-makna sepuluh ayat itu dan mengamalkannya". Karena Rasulullah
bersabada; "Bacalah al-Qur'an dan amalkanlah serta jangan memakan (upah
karena membacanya)", (HR. Ahmad). Kerena para sahabat bersungguh-sungguh
dalam mempelajari al-Qur'an dan gigih mempraktekkan ajaran-ajarannya, maka
tidak heran kalau Allah berkenan memenangkan mereka di atas semua manusia pada
zamannya. Kehancuran dan kemunduran kaum muslimin ini akan terus berlangsung
sampai mereka mau kembalimempelajari kitabullah dan mengamalkan ajaran-ajaranya
dalam kehidupan mereka.[7]
Dengan
demikian, maka cara yang ditempuh oleh para ulama dalam studi 'ulum
al-Qur'an untuk mengetahui surat/ayat Makiyah dan Madaniyah dilakukan
dengan menggunakan dua metode dasar;[8]
1. Merujuk kepada riwayat-riwayat yang sah datangnya dari sahabat yang
hidup sezaman dengan turunnya wahyu dan menyaksikan langsung turunnya wahyu
tersebut. Atau riwayat dari para tabi'in yang bertemu dan mendengar dari
sahabat perihal latar belakang turunnya, tempatnya, dan kejadian yang melatari
turunnya suatu surat ataupun ayat.
2. Berpegang pada ciri-ciri surat-surat atau ayat-ayat Makiyah dan
Madaniyah, lalu dikiaskan berdasarkan ijtihad untuk menentukan apakah suatu
surat atau ayat termasuk Madaniyah atau Makiyah. Misalnya di dalam surat
Makiyah terdapat satu ayat yang mengandung ciri-ciri Madaniyah, maka mereka
simpulkan itu ayat Madaniyah. Begitu pula sebaliknya, kalau di dalam surat
Madaniyah terdapat ayat yang mencerminkan ciri-ciri ayat yang turun di Makah,
maka itu dikatakan ayat Makiyah. Juga, bila di dalam satu surat tersebut
terdapat ciri-ciri surat makiyah, maka itu mereka katakan surat Madaniyah. Para
ulama itu mengatakan bahwa semua surat yang mengandung kisah-kisah para nabi
dan umat-umat terdahulu, bisa dipastikan itu surat diturunkan di Makah
(Makiyah). Sedangkan semua surat yang mengandung perintah-perintah wajib,
seperti shalat, zakat, puasa, atau hukum-hukum had/kriminal, seperti
potongtangan, cambuk, dera, itu pasti surat diturunkan di Madinah (Madaniyah).
Dari jumlah
surat dalam al-Quran yang semuanya seratus empat belas (114) surat, maka dari
jumlah itu, pendapat yang paling mendekati kebenaran tentang bilangan
surah-surah makiyah dan Madaniyah ialah bahwa Madaniyah ada dua puluh surat; 1)
Al-Baqarah, 2) Ali Imran, 3) An-Nisa', 4) Al-Maidah, 5) Al-Anfal, 6) At-Taubah,
7) An-Nur, 8) Al-Ahzab, 9) Muhammad, 10) Al-Fath, 11) Al-Hujurat 12) Al-Hadid,
13) Al-Mujadalah, 14) Al-Hasyr, 15) Al-Mumtahanah, 16) Al-Jumu'ah, 17)
Al-Munafiqun, 18) Ath-Thalaq, 19) At-Tahrim dan 20) An-Nashr. Sedangkan yang
diperselisihkan ada dua belas surah, yakni Al-Fatihah, Ar-Ra'd, Ar-Rahman,
As-Shaff, At-Taghabun, At-Tatfif, Al-Qadar, Al-Bayyinah, Az-Zalzalah,
Al-Ikhlash, Al-Falak, An-Nas. Selain yang disebutkan di atas adalah Makki,
yaitu delapan puluh (80) surat. Turunnya surah-surah Makkiyyah lamanya 12
tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai pada 17 Ramadhan 40 tahun usia Muhammad atau
bertepatan dengan Februari 610 M.[9]
Bila
diklasifikaskan berdasarkan urutan turunnya, maka dapat dirumuskan sebagai berikut;
a.
Makkiyah
Al-'Alaq,
al-Qalam, al-Muzammil, al-Muddatstsir, al-Fatihah, al-Masad (al-Lahab),
at-Takwir, al-A'la, al-Lail, al-Fajr, adh-Dhuha, Alam Nasyrah (al-Insyirah),
al-'Ashr, al-'Adiyat, al-Kautsar, at-Takatsur, al-Ma'un, al-Kafirun, al-Fil, al-Falaq,
an-Nas, al-Ikhlas, an-Najm, 'Abasa, al-Qadar, asy-Syamsu, al-Buruj, at-Tin,
al-Quraisy, al-Qari'ah, al-Qiyamah, al-Humazah, al-Mursalah, Qaf, al-Balad,
ath-Thariq, al-Qamar, Shad, al-A'raf, al-Jin, Yasin, al-Furqan, Fathir, Maryam,
Thaha, al-Waqi'ah, asy-Syu'ara, an-Naml, al-Qashash, al-Isra, Yunus, Hud,
Yusuf, al-Hijr, al-An'am, ash-Shaffat, Lukman, Saba', az-Zumar, Ghafir,
Fushshilat, asy-Syura, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf,
adz-Dzariyah, al-Ghasyiah, al-Kahf, an-Nahl, Nuh, Ibrahim, al-Anbiya,
al-Mu'minun, as-Sajdah, ath-Thur, al-Mulk, al-Haqqah, al-Ma'arij, an-Naba',
an-Nazi'at, al-Infithar, al-Insyiqaq, ar-Rum, al-Ankabut, al-Muthaffifin,
az-Zalzalah, ar-Ra'd, ar-Rahman, al-Insan, al-Bayyinah.[10]
b.
Madaniyyah
Al-Baqarah,
al-Anfal, ali-Imran, al-Ahzab, al-Mumtahanah, an-Nisa', al-Hadid, al-Qital,
ath-Thalaq, al-Hasyr, an-Nur, al-Hajj, al-Munafiqun, al-Mujadalah, al-Hujurat,
at-Tahrim, at-Taghabun, ash-Shaff, al-Jum'at, al-Fath, al-Maidah, at-Taubah dan
an-Nashr.[11]
Sementara
secara utuh, surat al-Qur'an yang ada pada masa sekarang dan diyakini oleh
masyarakat muslim tersistematisasikan sebagaimana berikut; al-Fatihah,
al-Baqarah, ali-Imran, an-Nisa', al-Maidah, al-An'am, al-A'raf, al-Anfal,
at-Taubah, Yunus, Hud, Yusuf, ar-Ra'd, Ibrahim, al-Hijr, an-Nahl, al-Isra',
al-Kahfi, Maryam, Thaha, al-Anbiya', al-Hajj, al-Mu'minun, an-Nur, al-Furqan,
asy-Syu'ara', an-Naml, al-Qashash, al-Ankabut, ar-Rum, Luqman, as-Sajadah,
al-Ahzab, Saba', Fathir, Yasin, ash-Shaffat, Shad, az-Zumar, al-Mu'min, Fushshilat,
asy-Syura, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, al-Fath,
al-Hujurat, Qaaf, adz-Dzariyat, ath-Thur, an-Najm, al-Qamar, ar-Rahman,
al-Waqi'ah, al-Hadid, al-Mujadilah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, ash-Shaff,
al-Jumu'ah, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-Thalaq, at-Tahrim, al-Mulk,
al-Qalam, al-Haqqah, al-Ma'arij, Nuh, al-Jin, al-Muzzammil, al-Muddatstsir,
al-Qiyamah, al-Insan, al-Mursalat, an-Naba', an-Nazi'at, 'Abasa, At-Takwir,
al-Infithar, al-Muthaffifin, al-Insyiqaq, al-Buruj, ath-Thariq, al-A'la,
al-Ghaasyiyah, al-Fajr, al-Balad, asy-Syams, al-Lail, adh-Dhuha, Alam Nasyrah,
at-Tin, al-'Alaq, al-Qadar, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-'Adiyat, al-Qari'ah,
at-Takatsur, al-'Ashr, al-Humazah, al-Fil, al-Quraisy, al-Ma'un, al-Kautsar,
al-Kafirun, an-Nashr, al-Lahab, al-Ikhlash, al-Falaq, an-Nas.[12]
Abul Qasim
An-Naisaburi membuat kerangka marhalah secara sistematis dalam
membedakan antara Makki dan Madani. Penertiban Makki dan Madani ini dibaginya
menjadi tiga marhalah:
1.
Marhalah ibtidaiyah
2.
Marhalah mutawasithah
3.
Marhalah khitamiyah[13]
Diantara
surat-surat yang disepakati ahli sejarah dan ahli tafsir sebagai surat Makiyah marhalah
ibtidaiyah adalah; al-Alaq, al-Mudatsir, at-Takwir, al-A'la, al-Lail,
al-Insyirah, al-Adiyat, at-Takatsur, dan an-Najm. Sedangkan Makiyah marhalah
mutawassithah adalah; Abasa, at-Tin, al-Qari'ah, al-Qiyamah, al-Mursalat,
al-Balad, dan al-Hijr. Sementara yang dinamakan Makiyah marhalah khitamiyah adalah;
ash-Shaffat, az-Zuhruf, ad-Dukhan, adz-Dzariyat, al-Kahfi, Ibrahim, as-Sajdah [14]
Ketiga kelompok
ini, walaupun nampak tanda-tanda diturunkan di Makah, namun masing-masing
mempunyai perbedaan dari yang lain dalam segi isi dan uslub-nya. Masing-masing
mempunyai ciri-ciri tertentu dan tekanan-tekanan tertentu. Maksud dari
penjelajahan surat Makiyah pada setiap marhalah adalah mengumpulkan
perkembangan turunnyasurat dan ayat untuk mengetahui mana yang dahulu dan mana
yang kemudian dan menampakkan ciri-ciri ayat tersebut.[15]
Kondisi Makiyah
yang demikian tadi membawa potensi untuk merunut posisi surat Madaniyah yang
juga dijabarkan sesuai dengan marhalahnya masing-masing. Madaniyah marhalah
ibtidaiyah yaitu; al-Baqarah, al-Anfal, Ali Imran, al-Ahzab, al-Mumtahanah,
an-Nisa', dan al-Hadid. Marhalah kedua dari Madaniyah adalah Madaniyah marhalah
mutawasithah. Surat yang termasuk marhalah ini adalah; Muhammad, at-Thalaq,
al-Hasyr, an-Nur, al-Munafiqun, al-Mujadalah, dan al-Hujarat. Sementara yang
dinamakan Madaniyah marhalah khitamiyah adalah; At-Tahrim, Al-Jumu'ah,
Al-Maidah, At-Taubah, dan An-Nashr.[16]
Dengan
munculnya perspektif yang berbeda dalam memandang eksistensi Makki dan Madani,
maka berbeda pula pemaknaan tentang Makki dan Madani tersebut. Beberapa ulama
dalam memformulasikan Makki dan Madani terdapat silang pendapat. Namun diantara
mereka tetap mempunyai keyakinan tentang wujud surat/ayat yang dinamakan Makki
dan Madani. Keadaan yang demikian karena posisi wahyu ada yang mutlaq dan
muqayyad.[17]
C.
Pemetaan Ulama'
tentang Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
Persepsi
berbeda yang muncul dalam kajian Makki dan Madani, pada akhirnya menjadikan
perbedaan pandangan oleh kalangan ulama. Klasifikasi yang dilakukan oleh Manna'
Al-Qatthan memberikan gambaran bahwa untuk membedakan Makki dengan Madani, para
ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyaidasar.[18]
Pandangan para ulama ini tentunya tetap berkiblat pada sebuah argumentasi yang
disesuaikan dengan kondisi keilmuan yang ada dalam kajian al-Qur'an. Ketiga
pandangan itu sebetulnya hampir sama dengan pandangan atau teori yang telah
disebutkan diatas. Ketiga pandangan yang disebut oleh Al-Qatthan dalam Mabahits
fi Ulum al-Qur'an adalah sebagai
berikut;
1.
Dari segi
turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Makah.
Adapun Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah.
Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Makah atau Arafah adalah Madani, seperti
yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Makah. Misalnya saja firman Allah
yang artinya; "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat ke
pada yang berhak " (An-Nisa':
58).
Ayat ini
diturunkan di Makah, dalam Kakbah pada tahun penaklukan Makah (fathu
Makkah). Atau yang diturunkan pada haji Wada', seperti firman Allah; "Hari
ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku
dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagimu." (Al-Maidah: 3). Dalam
Hadits sahih dari Umar dijelaskan, ayat itu turun pada malam Arafah hari Jumat
tahun haji Wada'. Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut, karena
ia lebih memberikan kepastian dan konsisten .
2.
Dari segi
tempat turunnya. Makki ialah yang turun di Makah dan sekitarnya, seperti Mina,
Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya,
seperti Uhud, Quba, dan Sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian
secara kongkret yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabuk atau
di Baitul Makdis, tidak termasuk ke dalam salah satu bagiannya,sehingga ia
tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan
di Makah sesudah hijrah disebut Makki.
3.
Dari segi
sasarannya (i'tibaral-mukhatab). Makki adalah yang seruannya ditujukan
kepada penduduk Makah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada
penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa
ayat al-Quran yang mengandung seruan ya ayyuha an-nas (wahai manusia)
adalah Makki, sedang ayat yang mengandung seruan ya ayyuha al-la%hina amanu (wahai
orang-orang yang beriman) adalah Madani.[19]
Namun, melalui
pengamatan cermat, nampak bahwa kebanyakan surat al-Qur'an tidak selalu dibuka
dengan salah satu seruan itu. Dan ketentuan demikian pun tidak konsisten. Al-Qur'an
adalah seruan ilahi terhadap semua makhluk. Ia dapat juga menyeru orang yang
beriman dengan sifat, nama, atau jenisnya. Begitu pula orang yang tidak beriman
dapat diperintah untuk beribadah, sebagaimana orang yang beriman diperintahkan
konsisten dan menambah ibadahnya.
Untuk
mengetahui dan menentukan Makki dan Madani, para ulama bersandar pada dua cara
utama;
1.
Sima'i naqli (pendengaran
seperti apa adanya)
Cara pertama
didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi'in yang menerima dan mendengar
dari para sahabat bagaimana, di mana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan
turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan
pada carapertama ini. Contoh-contoh di atas merupakan bukti paling baik
baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab
tafsir bial-ma'tsur, kitab-kitab asbab an-nuzul dan
pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu al-Quran. Namun demikian, tentang hal
tersebut tidak terdapat sedikit pun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak
termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh
dan mana yang mansukh.[21]
Qadhi Abu Bakar
Ibnu Tayyib Al-Baqalani dalam Al-Intishar menegaskan; "Pengetahuan
tentang Makki dan Madani itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi'in.
Tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu,
sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu
pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat."[22]
Bahkan, sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh
dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak
harus diperoleh melalui nasionalisme dari Rasulullah.
Sedangkan cara qiyasi
ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam surat
Makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madani atau mengandung
peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madani. Apabila dalam surah
Madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau mengandung
peristiwa Makki, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat Makki.
Bila dalam satu
surah terdapat ciri-ciri Makki, maka surah itu dinamakan surah Makki. Demikian
pula dalam hal satu surah terdapat ciri-ciri Madani, maka surah itu dinamakan
surah Madani. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi. Oleh karena itu para
ahli mengatakan, bahwa setiapsurat yang di dalamnya mengandung kisah para nabi
dan umat-umat terdahulu, maka surah itu adalah Makki. Dan setiap surah yang di
dalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah Madani, dan
begitu seterusnya.
Bahkan Ja'bari
pun pernah mengatakan bahwa; "untuk mengetahui Makki dan Madani, ada dua
cara; sima'i (pendengaran) dan qiyasi (analog)." Sudah tentu
sima'i pegangannya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang
pada pernalaran. Baik berita pendengaran maupun pernalaran, keduanya merupakan
metode pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.
Hal yang
terkait dalam perbedaan pandangan Makki dan Madani tersebut dapat dilihat dari
tanda-tanda yang ada pada Makki dan Madani. Tanda-tanda surat Makki adalah; [23]
1. Dimulai dengan nida' (panggilan): "ya ayyuhaa
an-nas" dan sebangsanya. Dalam al-Qur'an bentuk nida' tersebut ada 292
ayat atau 4,68%.
2. Di dalamnya terdapat lafadz "kalld" Lafadz
tersebut terdapat dalam al-Qur'an sebanyak 33 kali dalam 25 surat di bagian
akhir Mushaf Utsmani.
3. Di dalamnya terdapat ayat-ayat sqjdah (disunnahkan bersujud
tilawah jika membacanya), di dalam al-Qur'an ada 15 ayat sajdah.
4. Di dalamnya terdapat cerita-cerita para Nabi dan umat-umat
terdahulu, selain surat al-Baqarah dan al-Maidah. Contohnya antara lain seperti
surat Yunus, Yusuf, Hud, Ibrahim, al-Kahfi, Maryam, Thaha dan sebagainya.
5. Di dalamnya berisi cerita-cerita terhadap kemusyrikan dan
penyembahan-penyembahan terhadap selain Allah.
6. Di dalamnya berisi keterangan-keterangan adat kebiasaan orang-orang
kafir dan orang-orang musyrik yang suka mencuri, merampok, membunuh, mengubur
hidup-hidup anak perempuan dan sebagainya.
7. Di dalamnya berisi penjelasan dengan bukti-bukti dan argumentasi
dari alam ciptaan Allah yang daoat menyadarkan orang-orang kafir untuk berian
kepada Allah dan percaya kepada Rasul dan kitab-kitab suci, hari kiamat dan
sebagainya.
8. Berisi ajaran prinsip-prinsip akhlak yang mulia dan pranata sosial
yang tinggi, yang dijelaskan dengan sangat mengagumkan sehingga menyebabkan
orang benci kepada kekafiran, kemusyrikan, kefasikan, kekasaran dan sebagainya.
Dan sebaliknya, menarik orang untuk beriman, taat, setia, kasih sayang, ihlas,
hormat, rendah diri, dan sebagainya.
9. Berisi nasehat-nasehat petunjuk dan ibarat-ibarat dari balik cerita
yang dapat menyadarkan bahwa kekafiran, kedurhakaan dan pembangkangan umat itu
hanya mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan saja.
10. Berisi ayat-ayat nida' (panggilan) yang ditujukan kepada
penduduk Makah atau orang-orang kafir, musyrik dan sebagainya dengan ungkapan: "yaa
ayyuha an-nas" atau "ya ayyuha al-kajirun" atau "ya
bani Adama".
- Kebanyakan surat atau ayat-ayatnya pendek, kerena menggunakan bentuk ijaz (singkat padat). Bentuk tersebut ditujukan kepada orang-orang Quraisy Makah yang pada umumnya adalah pakar Bahasa Arab.
Adapun yang
dijadikan patokan tanda-tanda surat Makki adalah; [24]
1. Bila di dalamnya berisi hukum-hukum hudud/pidana, seperti tindak
pidana pencurian, perampokan, pembunuhan, penyerangan, perzinaan, kemurtadan
dan tuduhan zina. Seperti terdapat dalam surat al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah,
asy-Syura dan sebagainya.
2. Di dalamnya berisi hukum-hukum faraidl (waris-mewaris), baik
warisan bag dzawy al-furudl, dzawy al-arham atau dzawy al-'ashabah. Contohnya
terdapat dalam surat al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah.
3. Berisi izin jihad fi sabilillah dan hukum-hukumnya, seperti
surat al-Baqarah, al-Anfal, at-Taubah dan al-Haj.
4. Berisi keterangan mengenai orang-orang munafiq dan sifat-sifat
serta perbuatan-perbuatannya kecuali surat al-Ankabut. Contohnya seperti dalam
surat an-Nisa', al-Anfal, at-Taubah, al-Ahzab, al-Fath, al-Hadid, al-Munafiqun
dan al-Tahrim.
5. Berisi hukum ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan
sebagainya. Contohnya seperti surat an-Nisa', al-Anfal, at-Taubah, al-Ahzab,
al-Fath, al-Hadid, al-Munafiqun, dan al-Tahrim.
6. Berisi hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, sewa menyewa,
gadai, utang piutang dan sebagainya. Contohnya seperti surat al-Baqarah, Ali
Imran, an-Nisa', al-Maidah dan lain-lain.
7. Berisi hukum-hukum munakahat (seputar pernikahan), baik
mengenai nikah, talak, ataupun
mengenai hadlanah (pemeliharaan anak).
- Contohnya seperti surat al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah, an-Nur, al-Mumtahanah, ath-Thalaq dan sebagainya.
9. Berisi hukum-hukum kemasyarakatan, kenegaraan seperti soal
pemusyawaratan, kedisiplinan, kepemimpinan, pendidikan, pergaulan dan
sebagainya. Contohnya seperti surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Anfal,
at-Taubah, al-Hujurat dan sebagainya.
10. Berisi dakwah (seruan) kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta
penjelasan akidah-akidah mereka yang menyimpang. Contohnya seperti surat
al-Baqarah, Ali Imran, al-Fath, al-Hujurat dan sebagainya.
11. Berisi ayat-ayat nida' (panggilan) yang ditujukan kepada
penduduk Madinah yang Islam dan khitab-nya; "ya ayyuha al-ladzina
amanu" yang di dalam al-Qur'an terdapat 219 ayat atau 3,51%.
12. Kebanyakan surat atau ayatnya panjang-panjang sebab ditujukan
kepada penduduk Madinah yang orang-orangnya banyak yang kurang terpelajar,
sehingga perlu dengan ungkapan yang luas agar jelas.
Perbedaan-perbedaan
pendapat para ulama itu dikarenakan adanya sebagian surat yang seluruh
ayat-ayatnya Makiyah atau Madaniyah, dan sebagian surat lain yang tergolong
Makiyah atau Madaniyah, tetapi di dalamnya berisi sedikit ayat yang lain
statusnya. Karena itu, dari segi Makiyah dan Madaniyah ini, maka surat-surat
al-Qur'an itu tebagi menjadi empat macam;
1.
Surat Makiyah
murni
Yaitu surat
Makiyah yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus Makiyah semua, tidak ada
satupun yang Madaniyah. Surat-surat yang berstatus Makiyah murni ini seluruhnya
ada 58 surat, yang berisi 2.074 ayat. Contohnya surat al-Fatihah, Yunus,
ar-Ra'du, al-Anbiya',al-Mukminun, an-Naml, Shad, Fathir dan surat-surat pendek
dalam juz 30 (kecuali surat an-Nashr).
2.
Surat Madaniyah
murni
Yaitu surat Madaniyah
yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus Madaniyah semua, tidak ada satupun
yang Makiyah. Surat-surat yang berstatus Madaniyah murni ini seluruhnya ada 18
surat, yang berisi 737 ayat. Contohnya surat Ali Imran, an-Nisa', an-Nur,
al-Ahzab, al-Hujarat, al-Mumtahanah, al-Zalzalah dan sebagainya.
3.
Surat Makiyah
yang berisi ayat Madaniyah.
Yaitu
surat-surat yang kebanyakan ayat-ayatnya Makiyah, sehingga berstatus Makiyah,
tetapi di dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyah. Surat yang demikian
ini dalam al-Qur'an ada 32 surat, yang terdiri dari 2699 ayat. Contohnya antara
lain surat al-An'am, al-A'raf, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Furqan, az-Zumar,
asy-Syura, al-Waqi'ah dan sebagainya.[25]
4.
Surat Madaniyah
yang berisi ayat Makiyah
Yaitu surat-surat
yang kebanyakan ayat-ayatnya Madaniyah, sehingga berstatus Madaniyah, tetapi di
dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Makiyah. Surat yang demikian ini
dalam al-Qur'an ada 6 surat, yang terdiri dari 726 ayat. Contohnya antara lain
surat al-Baqarah, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, al-Haj dan Surat Muhammad
atau surat al-Qital.[26]
Selain itu,
adapula penambahan jenis Makiyah dan Madaniyah oleh Manna' Al-Qatthan dalam Mabahits
fi Ulum al-Qur'an. Selain empat hal yang telah disebut di atas, Al-Qatthan
menambahkan jenis Makki dan Madani sebagai berikut;[27]
1.
Ayat yang
diturunkan di Makah sedang hukumya Madani. Mereka memberi contoh dengan firman
Allah yang artinya; "Wahai manusia, Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui dan Maha Mengenal." (al-Hujurat: 13). Ayat ini diturunkan di
Makah pada hari penaklukan kota Makah, tetapi sebenarnya Madaniyah, karena
diturunkan sesudah hijrah, di samping itu seruannya pun bersifat umum. Ayat
seperti ini oleh para ulama tidak dinamakan Makki dan tidak pula dinamakan
Madani secara pasti. Tetapi, mereka katakan; "Ayat yang diturukan di Mekah
sedangkan hukumnya Madani".
2.
Ayat yang
diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makki. Mereka memberi contoh dengan surah
al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi tempat
turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk Makah. Juga
seperti permulaan surah al-Bara'ah yang diturunkan di Madinah, tetapi seruannya
ditujukan kepada orang-orang musyrik penduduk Makah.
3.
Ayat yang
serupa dengan yang diturunkan di Makah (Makki) dalam Madani. Yang dimaksud para
ulama ialah ayat-ayat yang dalam surat Madaniyah, tetapi mempunyai gaya bahasa
dan ciri-ciri umum surah Makiyah. Contohnya, firman Allah dalam surah al-Anfal
yang Madaniyah, yang artinya; "Dan ingatlah ketika mereka—golongan musyrik
berkata; "Ya Allah, jika benar (al-Quran) ini dari Engkau, hujanilah kami
dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih."
(al-Anfal: 32). Ini mengingat permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan azab
itu adalah di Makah.
4.
Yang serupa
dengan yang diturunkan di Madinah (Madani) dalam Makki. Yang dimaksud oleh para
ulama adalah kebalikan dari yang sebelumnya. Mereka memberi contoh dengan
firman Allah dalam surah an-Najm yang artinya; "(Yaitu) mereka yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji dari yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil." (an-Najm: 32). As-Suyuti mengatakan;
"Perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sangsinya. Dosa-dosa besar
ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan, kesalahan-kesalahan
kecil ialah apa yang terdapat di antara kedua batas dosa-dosa di atas. Sedang
di Makah belum ada sangsi dan yang serupa dengannya.
5.
Ayat yang
dibawa dari Makah ke Madinah. Contohnya adalah surat al-A'la. Diriwayatkan oleh
Bukhari dari Al-Barra' bin 'Azib yang mengatakan; "Orang yang pertama kali
datang kepada kami dari para sahabat nabi adalah Mushab bin Umair dan Ummi
Maktum. Keduanya membacakan al-Quran kepada kami. Sesudah itu datangalah Amar,
Bilal dan Sa'ad. Kemudian, datang pula Umar bin Khattab sebagai orang yang
kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Madinah
bergembira setelah aku membacakan; "Sabbih a/-ism rabbiy al-a'la" di
antara surah yang semisal dengannya." Pengertian ini cocok dengan al-Quran
yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum anshar.
6.
Yang dibawa
dari Madinah ke Makah. Contohnya adalah awal surah al-Bara'ah, yaitu ketika
Rasulullah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun ke sembilan.
Ketika awal surah al-Bara'ah turun, Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib
untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum
musyrikin. Maka Abu Bakar membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa
setelah tahun ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan berhaji.
7.
Ayat yang turun
pada malam hari dan siang hari. Kebanyakan ayat al-Qur'an itu turun pada siang
hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari, Abul Qasim Al-Hasan bin
Muhamman bin Habib An-Naisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa
contoh, di antaranya, "bagian-bagian akhir dari surah Ali Imran. Ibnu
Hibban dalam kitab sahihnya mengatakan; "Ibnul Munzir, ibnu Mardawaiah,
dan Ibnu Abud Dunya, meriwayatkan dari Aisyah r.a.; Bilal datang kepada Nabi
untuk memberitahukan waktu salat subuh, tetapi ia melihat nabi sedang menangis.
Ia bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang menyebabkan Engkau menangis? Nabi
menjawab, "Bagaimana saya tidak menangis, padahal tadi malam diturunkan
kepadaku; 'Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam
dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal'." (Ali Imran: 190), kemudian katanya; "Celakalah orang yang
membacanya, tetapi tidak memikirkannya. Contoh lain adalah mengenai tiga orang
yang tidak ikut berperang. Terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, hadits
Ka'ab; "Allah menerima tobat kami pada sepertiga malam yang terakhir.
Contoh lain adalah awal surah al-Fath. Terdapat dalam Shahih Bukhari dari hadis
Umar; "Telah diturunkan kepadaku pada malam ini sebuah surat yang lebih
aku sukai daripada apa yang disinari matahari." Kemudian beliau
membacakan; "Sesunguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang
nyata".
8.
Yang turun di
musim panas dan musim dingin. Para ulama memberi contoh ayat yang turun di
musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat dalam akhir surat
an-Nisa'. Dalam Shahih Muslim dari Umar dikemukakan; "Tidak ada yang
sering kutanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu seperti pertanyaanku
mengenai kalalah. Ia pun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu
urusan seperti sikapnya kepadaku mengenai soal kalalah ini. Sampai-sampai ia
menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata; "Umar, belum cukupkah bagimu
satu ayat yang diturunkan pada musim panas yang terdapat di akhir surah
an-Nisa'. Contoh lain ialah ayat-ayat yang turun dalam Perang Tabuk. Perang
Tabuk itu terjadi pada musim panas yang berat sekali, seperti dinyatakan dalam
al-Quran. Sedang untuk yang turun di musim dingin, mereka contohkan dengan
ayat-ayat mengeni "tuduhan bohong" yang terdapat dalam surah an-Nur;
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga ..." sampai
dengan "Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia." (an-Nur: 11—26).
Dalam hadis sahih dari A'isyah disebutkan; "Ayat-ayat itu turun pada hari
yang dingin." Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun mengenai Perang
Khandaq, dari surah al-Ahzab. Ayat-ayat itu turun pada hari yang amat dingin.
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah, dari Huzaifah yang
mengatakan; "Orang-orang meninggalkan Rasulullah pada malam peristiwa
Ahzab, kecuali dua belas orang lelaki. Lalu, Rasulullah datang kepadaku dan
berkata; "Bangkit dan berangkatlah ke medan perang Ahzab!" Aku
menjawab; "Ya Rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku
mematuhi engkau karena malu sebab hari dingin sekali.' Lalu, turun wahyu Allah;
"Wahai orang-orang beriman ingatlah akan nikmat Allah yang telah
dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara, lalu kami kirimkan kepada
mereka angin topan dan tentara yang tidak dapatkamu lihat. Dan Allah Maha
Melihat segala yang kamu kerjakan." (al-Ahzab: 9).
9.
Yang turun pada
waktu menetap dan yang turun di dalam perjalanan. Kebanyakan dari al-Quran itu
turun pada waktu menetap. Tetapi, perikehidupan Rasulullah penuh dengan jihad
dan peperangan di jalan Allah, sehingga wahyu pun turun juga dalam perjalanan
tersebut. Al-Suyuthi menyebutkan banyak contoh ayat yang turun dalam
perjalanan, di antaranya ialah awal surah al-Anfal yang turun di Badar setelah
selesai perang. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sa'ad bin Abi
Waqqas, dan ayat; "Dan, orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya di jalan Allah." (at-Taubah: 34). Diriwayatkan oleh
Ahmad melalui Sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah
satu perjalanan. Juga awal surah al-Hajj. Imam Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan
melalui Imran bin Husein yang mengatakan; "Ketika turun kepada Nabi ayat;
'Hai manusia bertakwalah kepada Rabbmu, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat
itu adalah sesuatu kejadian yang sangat besar ...'
sampai dengan firman-Nya,'... tetapi azab Allah itu sangat kerasnya'."
(al-Hajj: 1-2). Ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu dalam perjalanan.
Begitu juga surah al-Fath. Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, melalui
Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata; "Surah
al-Fath, dari awal sampai akhir, turun di antara Makah dan Madinah mengenai
soal Hudaibiyah".[28]
Penentuan
ayat atau surat Makki dan Madani tersebut tetap bersandar pada sebuah prinsip
yang sudah pasti. Diantara dasar-dasar penentuan Makiyah dan Madaniyah adalah;
1. Dasar aghlabiyah (mayoritas)
Yang dimaksudkan dengan dasar mayoritas adalah kalau sesuatu surat
itu mayoritas atau kebanyakan ayat-ayatnya adalah Makiyah, maka disebut sebagai
surat Makiyah. Sebaliknya, jika yang terbanyak ayat-ayatnya adalah Madaniyah,
atau diturunkan setelah nabi hijrah ke Madinah, maka surat tersebut dinamakan
Madaniyah.
2. Dasar tabi'iyyah (kontinuitas)
Yang dimaksudkan dengan dasar kontinuitas yaitu kalau permulaan
sesuatu surat itu didahului dengan ayat yang turun di Makah atau turun sebelum
hijrah, maka surat tersebut dinamakan Makiyah. Begitu pula sebaliknya jika
ayat-ayat pertama dari suaru surat itu diturunkan di Madinah atau yang berisi
hukum-hukum syari'at, maka surat tersebut dinamakan sebagai surat Madaniyah.[29]
D.
Manfaat Mempelajari Makki dan Madani
Para ulama
begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah Makki dan Madani. Mereka meneliti
al-Qur'an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuai denagn
nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat, dan pola kalimat. Bahkan lebih
dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat, dan pola kalimat. Cara
demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan kepada peneliti objektif,
gambaran penyelidikan tentang ilmu Makki dan Madani. Dan, itu pula sikap ulama
kita dalam melakukan pembahasan-pembahasan terhadap aspek kajian al-Qur'an
lainnya. Memang suatu usaha besar bila seorang peneliti menyelidiki turunnya
wahyu dalam segala tahapannya, mempelajari ayat-ayat al-Qur'an sehingga dapat
menentukan waktu serta tempat turunnya dan dengan bantuan tema surat atau ayat,
merumuskan kaidah-kaidah analogis untuk menentukan apakah sebuah seruan itu
termasuk Makki dan Madani ataukah ia merupakan tema-tema yang menjadi titik
tolak dakwah di Makah atau di Madinah. Apabila suatu masalah masih kurang jelas
bagi seorang peneliti karena terlalu banyak alasan yang berbeda-beda, maka ia
mengumpulkan, memperbandingkan, mengklasifikasikaannya mana yang serupa dengan
yang turun di Makah dan mana pula yan serupa dengan yang turun di
Madinah."[30]
Ini menandakan
bahwa urgensi memahami al-Qur'an secara komprehensif akan menjadikan wawasan
terhadap isi kandungan al-Qur'an secara utuh. Dengan demikian al-Qur'an yang
dikumpulkan melalui proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan
kodifikasi hingga menjadi mushaf tidak akan sia-sia yang selanjutnya disebut jam'
al-Qur'an.[31]
Termasuk juga dalam rangka mengetahui letak ayat atau surat yang Makki
ataupun Madani.
Pendefinisian
ayat tersebut didasarkan pada analisa yang tersistem tentang teori makki dan
madani yang telah disebut di atas. Apabila ayat-ayat itu turun di suatu tempat,
kemudian oleh salah seorang sahabat dibawa segera setelah diturunkan untuk
disampaikan di tempat lain, para ulama pun akan menetapkan seperti itu. Mereka
berkata; "Ayat yangdibawa dari Makah ke Madinah, dan ayat yang dibawa dari
Madinah ke Makah". Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisabury
menyebutkan dalam kitabnya, At-Tanbih 'laa Fadhli Uluum al-Quran; "Di
antara ilmu-ilmu al-Qur'an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul qur'an
dan daerahnya, urutan turunnya di Makah dan Madinah, tentang yang diturunkan di
Makah tapi hukumnya Madani dan sebaliknya, yang diturunkan di Makah mengenai
penduduk Madinah dan sebaliknya, yang serupa dengan yang diturunkan di Makah
(Makki) tetapi termasuk Madani dan sebagainya. Dan tentang yang diturunkan di
Juhfah, di Baitul Makdis, di Taif, atau di Hudaibiyah. Demikian pula yang
diturunkan secara bersama-sama atau yang diturunkan secara tersendiri,
ayat-ayat Madani dari surah-surah Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surat-surat
Madaniyah, yang dibawa dari Makah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke
Makah, yang dibawa dari Makah ke Asibinia, yang diturunkan dalam bentuk global
dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang
mengatakan Madani dan sebagian lag mengatakan Makki. Itu semua ada dua puluh
lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tidak dapat membeda-bedakannya,
ia tidak berbicara tentang al-Qur'an."[32]
Para ulama
sangat memperhatikan al-Qur'an dengan cermat. Mereka menertibkan surat-surat
sesuai dengan tempat turunnya. Mereka mengatakan, misalnya; "Surat ini
diturunkan setelah surat itu." Dan, bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka
membedakan antara yang diturunkan pada malam hari dengan yang diturunkan di
siang hari, antara yang diturunkan di musim panas dengan yang diturunkan di
musim dingin, dan antara waktu yang diturunkan sedang berada di rumah dengan
yang diturunkan saat bepergian." [33]
Inilah persolan
pokok di sekitar Makki dan Madani. Oleh sebab itu, kita dapati para pengemban
petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabiin, dan generasi sesudahnya
meneliti dengan cermat tempat turunnya al-Qur'an, ayat demi ayat, baik dalam
hal waktu maupun tempatnya. Penelitian ini merupakan pilar kuat yang menjadi
landasan bagi parapeneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan,
dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah.
Dakwah menuju
jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan
akidah, perundang-undangan, dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan
setelah benih subur tersedia baginya dan fondasi kuat telah dipersiapkan untuk
membawanya. Dan asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga baru
digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannya ditentukan. Sehingga
kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.
Tentunya kita
akan melihat bahwa ayat-ayat makiyah (Makki) mengandung karakteristik yang berbeda
sebagaimana dijumpai dalam ayat-ayat Madaniyah (Madani), baik dalam tataran isi
maupun strukturnys, sekalipun yang kedua ini di dasarkan pada yang pertama
dalam hukum-hukum dan perundang-undangannya. Tetapi kesemuanya tetap
mempertimbangkan aspek makani, amani dan khitabi-nya.[34]
Pada zaman
jahiliah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala,
mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir, dan mereka
mengatakan; "Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi
tulang-belulang, benarkah Kami akan dibangkitkan kembali?" (ash-Shaffat:
16). Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan
kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu." (al-Jatsiyah:
24). Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan
kata-kata pedas dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makki (yang diturunkan
di Makah) juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyalanyala seperti
api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat kuat dan tegas.
Semua ini dapat
menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada
agama tauhid. Dengan demikian, tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek,
begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan
contoh-contoh kehidupan akhirat, surga, dan neraka yang terdapat di dalamnya.
Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan retorika tinggi ditantang agar
membuat seperti apa yang ada di dalam al-Qur'an, dengan menggunakan kisah-kisah
para pendusta terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal.
Semua ini menjadi ciri-ciri al-Qur'an surat-surat makiyah.[35]
Setelah
terbentuk jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan rasul-Nya,
kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta akidahnya telah diuji
dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan
dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di
sisi Allah daripada kesenagan hidup duniawi.
Maka, di saat
itu penulis melihat ayat-ayat Madaniyah yang panjang-panjang membicarakan
hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban
di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan
kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, internasional, dan
antarbangsa. Juga, menyingkap aib dan isi hati orang munafik, berdialog dengan
ahli kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum al-Qur'an
Madaniyah.
Pengetahuan
tentang Makki dan Madani banyak membawa hikmah dan faedah serta kegunaan
sebagai berikut.;
1.
Untuk dijadikan
alat bantu dalam menafsirkan al-Qur'an. Sebab, pengetahuan mengenai tempat
turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan
tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum
lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat
membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila di
antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu
merupakan nasikh atas yang terdahulu (mansukh).
2.
Mengetahui dan
mengerti sejarah pensyari'atan hukum-hukum Islam (tarikh al-tasjri') yang
amat bijaksana dalam menerapkan peraturan-peraturan, disamping juga mengetahui
hikmah didisyari'atkannya suatu hukum (hikmah al-tasyri). Sebab dengan
makki dan madani akan dapat diketahui tarikh al-tasyri' yang dalam
mensyari'atkan hukum Islam itu secara bertahap, sehingga dapat pula diketahui
mengapa suatu hukum disyari'atkan. Dan dengan hikmah al-tasyri'-nya itu
akan dapat menambah keimanan seseorang terhadap pewahyuan al-Qur'an, karena
melihat kebijaksanaannya dalam menetapkan hukum-hukum ajarannya secara
bertahap, sehingga mudah dimengerti, dihayati, dan diamalkan.
3.
Meresapi gaya
bahasa al-Qur'an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju Allah.
Sebab, setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang
dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika.
Karakteristik gaya bahasa Makki dan Madani dalam al-Qur'an pun memberikan
kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke
jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran
dan perasaannya, serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan penuh
kebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian
tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tata
cara, keyakinan, dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam
berbagai cara al-Qur'an menyeru berbagai golongan; orang yang beriman, yang
musyrik, yang munafik, dan ahli kitab, sebagimana terdapat dalam tanda-tanda
surat/ayat makiyah dan madaniyah.[36]
E.
Kesimpulan
1.
Teori
pendekatan dalam menentukan surat atau ayat al-Qur'an dapat
dikategorikan Makkiyah dan Madaniyah adalah teori geografis yang berorientasi
pada tempat turunnya surat atau ayat al-Qur'an, teori subyektif yaitu teori
yang berorientasi pada subyek siapa yang di-khitabi/dipanggil dalam ayat, teori
historis yaitu teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya al-Qur'an, teori
content analisis yaitu suatu teori yang mendasarkan kriterianya dalam
membedakan Makiyah dan Madaniyah-nya kepada isi daripada ayat/surat yang bersangkutan.
2.
Pemetaan ulama'
dalam membedakan surat atau ayat al-qur’an
Makkiyah dan Madaniyah adalah dari segi turunnya, dari segi tempat
turunnya, dari segi sasarannya. Karena
ada surat yang ayatnya turun di madinah dan makkah maka ulama memetakan ada surat
makiyah murni, Surat Madaniyah murni, surat makiyah yang berisi ayat madaniyah,
Surat Madaniyah yang berisi ayat Makiyah
3.
Manfaat mempelajari makkiyah dan madaniyah adalah dijadikan
alat bantu dalam menafsirkan al-Qur'an, mengetahui dan mengerti sejarah
pensyari'atan hukum-hukum Islam, meresapi gaya bahasa al-Qur'an dan
memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju Allah.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qatthan, Manna', Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Riyadl,
Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tth
As-Suyuthi, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar al-Kutb
al-'Ilmiyah, 2000
Azra, Azyumardi (ed), Sejarah dan Ulum al-Qur'an, Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1999
Djalal, Abdul Ulumul Quran, Surabaya, Dunia Ilmu, 2000
Jamil, Muhammad Ibnu Zainu, Pemahaman Al Qur'an, terj.
Mashuri Ikhwany, (Bandung, Gema Risalah Press, Cetakan Pertama, 1997.-31.
Muhammad, Syeikh, Studi al-Qur'an al-Karim; Menelusuri Sejarah
Turunnya al-Qur'an, terj. Taufiq Rahman, Bandung, Pustaka Setia, 2002.
Muhammad, Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur'an:
Ilmu-llmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Semarang, PT. Pustaka Rizki
Putra, 2002.
Sukardi KD. Belajar Mudah 'Ulumul Al-Qur'an; Studi Khasanah Ilmu
al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002.
Yusuf, Syamsuri Mengenal
Klasifikasi Makiyah dan Madaniyah", dalam Sukardi KD. (ed), Belajar
Mudah Ulumul Al-Qur'an:; Studi Khazanah Ilmu Al-Qur'an, Jakarta, Lentera
Basritama, 2002
[3] Syamsuri Yusuf, 'Mengenal Klasifikasi Makiyah dan Madaniyah", dalam Sukardi KD. (ed), Belajar Mudah 'Ulumul Al-Qur'an; Studi Khasanah Ilmu
al-Qur'an, (Jakarta:
Lentera Basritama, 2002), 135.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur'an: Ilmu-llmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), 62.
[7] Muhammad Ibnu Jamil Zainu, Pemahaman Al Qur'an, terj. Mashuri Ikhwany, (Bandung, Gema Risalah Press, Cetakan
Pertama, 1997), l. 29-31.
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur'an: Ilmu-llmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, 84.
[17] Syeikh Muhammad, Studi al-Qur'an al-Karim; Menelusuri Sejarah Turunnya al-Qur'an, terj. Taufiq Rahman, (Bandung, Pustaka Setia, 2002), 203-204.
[22] Al-Zarkasyi, 246.
[24] Ibid., 81-84.
[34] Sukardi KD. Belajar Mudah Ulumul Al-Qur'an: Studi Khazanah Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta, Lentera Basritama, 2002), 139.
[36] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi
Ulum al-Qur'an, 59-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar