Rabu, 15 April 2020

Cerpen Santri


KANG AZIZ

Kabar pernikahan putri terakhir kyai Marzuki tersebar begitu cepat, jarak setengah bulan sebelum hari H para santri dan masyarakat sekitar pondok raudlotut tholibin sudah berbondong-bondong ro’an menyiapkan persiapan untuk prosesi pernikahan ning Riza putri ragil seorang kyai muda di daerah ini. Rencananya pesta perkawinan akan diselenggarakan dengan semeriah mungkin, empat hari berturut-turut, aneka pergelaran akan ditampilkan disini untuk memeriahkan acara tersebut, dari mulai wayang kulit, hadrah, rebana, qosidah, pengajian, istighosah, kiyai-kyai besar dari pondok besar diluar kota juga akan diundang, undangan sudah mulai diseber jauh sebelum rencana acara itu diselenggarakan.
Kalau pondok sedang ada gawe baik itu perayaan hari besar atau acara lain yang paling super sibuk adalah kang Aziz. Seperti pernikahan putri kyai Marzuki yang sudah-sudah kang Aziz-lah yang menghendel semuanya, namun nampaknya kali ini malah kang Aziz tidak tampak entah dimana ia sekarang. Kang Aziz adalah abdi ndalem kyai Marzuki, sudah puluhan tahun ia tinggal di pondok ini, yaitu setelah ia dititipkan oleh ibunya kepada almarhum kyai ghozali abah ibu Nyai Najwa istri Kyai Marsuki. Kyai Ghozali adalah pendiri pondok, namun sekarang pengasuh digantikan oleh Kyai Marzuki menantu beliau. sejak kang Aziz di tinggal wafat ibunya, ia tidak punya siapa-siapa kecuali keluarga ndalem.
Sebelum kyai ghozali wafat, waktu itu kang aziz masih duduk dibangku madrsah ibtidaiyah, usianya masih cukup belia untuk merasakan kesedian atas kepergian kyai sepuh yang sangat disegani masyarakat dan para kyai besar lainnya, hanya saja beliau pernah berpesan kepada kang aziz, kelak ialah yang harus memimpin dan meneruskan perjuangan beliau, memang sejak pertama kali kang Aziz ditipkan disini, almaghfurllah Kyai Ghozali yang mengemongnya sampai kyai besar itu harus menghadap sang maha pencipta.
Kang Aziz tinggal dipondok ini sejak ia masih duduk dibangku TK, jadi sudah tentu ia sangat dekat dengan keluarga ndalem bahkan ia sendiri sudah dianggap seperti keluarga sendiri, kang Aziz tidak tinggal bersama layaknya santri biasa atau abdi ndalem yang lain, karena kang aziz diberi ruang khusus berupa kamar kecil yang berada tepat didepan ndalem jadi kalau sewaktu-waktu mbah yai butuh tenaganya tidak harus repot-repot mencarinya.
Untuk keperluan sehari-harinya kang Aziz juga menjadi satu dengan ndalem, dari mulai makan minum dan kebutuhan lainnya ia tidak bersama dengan abdi ndalem lain, sehingga setiap hari kang aziz bisa makan dan minum, istirahat bersama keluarga kyai Marzuki. Orang yang tidak tahu sejarah kang aziz pastilah menganggap kalau ia adalah saudara kyai Marzuki karena kedekatannya dengan keluarga ndalem.
Sejak kecil kang aziz sangat akrab dengan ning Khumairo’ yaitu putri pertama dari kyai Marzuki, karena umurannya sepantaran dengannya, bahkan sejak madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, sampai madrasah aliyah kang aziz selalu satu kelas dan selalu bersama dengan ning Khumairo’. Jadi tidak heran jika kedekatan kang aziz dengan ning khumairo’ sudah bagaikan saudara sendiri bahkan seperti keluarga sendiri. Ning khumairo’ selalu menjadi saingan terberat kang Aziz, belum pernah ia bisa menyaingi prestasi di kelasnya, kalau ning Khumairo’ peringkat satu kang Aziz bisa dipastikan selalu mendapat peringkat dua.
Namun terkadang ucapan orang jawa ada benarnya juga wiwiting tresno jalaran soko kulino itulah yang dirasakan kang Aziz kini, mungkin karena saking seringnya bertemu dan bersama dengan ning khumairo’ dari belia sampai dewasa, ternyata ada perasaan berbeda dengan putri pertama kyai muda itu, singkat kata kang Aziz mulai jatuh cinta pada ning khumairo’, memang pribadi ning khumairo’ mencerminkan kalau ia lebih keibuan dan ndewasani .
Kang aziz sendiri orangnya juga sangat cekatan, terampil dalam mengerjakan apapun, isoan kalau istilah orang jawa. Pribadinya juga tidak begitu neko-neko, penyabar dan kalem. Ia juga sangat disiplin dalam mengerjakan tugas-tugasnya, pandai membagi waktu, dan selalu menjadi panutan dan guru bagi santri-santri lain dipondok ini.
Ning khumairo’ juga dikaruniai kecerdasan yang luar biasa, hampir seluruh pelajaran ada diluar kepalanya. Kang Aziz sangat paham dengan kepandaian ning itu, karena sudah bertahun-tahun ia belajar bersama dan sekaligus menjadi saingan beratnya. Tidak jarang kalau kedua saudara ini belajar bersama di dalam ndalem entah itu mengerjakan tugas atau membahas sesuatu yang berkaitan dengan kitab-kitab atau pelajaran yang lain. Tidak jarang juga Ning Khumairo’ menggurui kang aziz. Pribadinya yang kalem dan lemah lembut menambah keseganan kang Aziz pada kekasih rahasianya, namun karena ada perasaan sungkan dan malu perasaan kang Aziz harus ia pendam.
Meski ia memendam rasa cinta pada ning Khumairo’ ia tidak pernah melanggar aturan maupun syariat agama, baginya cintanya adalah perasaan suci, perasaan yang memang dianugrahkan Allah pada siapapun yang ia kehendaki, begitu juga dengan ning Khumairo’ ia sendiri juga sangat baik kepada kang Aziz bahkan kebaikannya sudah tidak sewajarnya  ia lakukan layaknya terhadap saudaranya yang lain.
Setiap pagi ning Khumairo’ selalu menyiapkan kopi pahit kesukaan kang aziz, tidak jarang ia juga kerap mencucikan baju kang aziz jika kang aziz punya tugas menemani abahnya keluar kota beberapa hari untuk mengisi pengajian atau acara lainnya. Itulah yang menambah kang Aziz makin segan dan mengagumi kebaikan putri pertama Kyai Marzuki.
Namun beberapa hari kemudian sepertinya kang aziz harus menyudai perasaan cintanya pada ning khumairo’ karena ia baru saja dilamar oleh gus Ali putra kyai besar dari kota sebelah yang juga masih sahabat dari Ibu Nyai Najwa istri Kyai Marzuki. Perasaan kang Aziz sepertinya tidak ihlas jika ning Khumairo’ menjadi milik orang lain, namun karena melihat kebahagiaan ning khumairo’ mendapat lamaran dari gus Ali yang juga sangat ganteng dan pintar, akhirnya kang Aziz juga bisa mengihlaskan kekasih hatinya dipungut orang, sepertinya gus Ali adalah jodoh yang sekufu dengan ning khumairo’ yang ia segani kepribadian dan kepandaiannya.
Ketika prosesi pernikahan ning Khumairo’, sudah tentu kang aziz lah yang menjadi seksi paling sibuk, dari mulai menyiapkan setting lokasi tempat walimah, menyusun undangan, menyebarkan, sampai menyiapkan dapur semua dinahkodai oleh kang Aziz, singkat kata suksesnya acara prosesi perkawinan adalah berkat kerja keras kang Aziz dari awal hingga kahir. Tidak lama kemudian ning Khumairo’ sudah pergi dari ndalem untuk ikut suaminya ke pondok yang kelak mereka pimpin.
Belum setengah tahun kepergian ning khumairo’ nampaknya adik dari ning khumairo’ atau putri kedua dari kyai Marzuki menggantikan ning Khumairo’ sebagai teman kang aziz dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai abdi ndalem, dalam proses perjalanan waktu nampaknya ning Mirza juga tidak kalah menariknya dari kakaknya. Malah kalau dari segi fisik ning Mirza jauh lebih menawan jika dibanding dengan kakaknya, ia lebih cantik dan anggun, raut mukanya berseri-seri, bibirnya alami, tubuhnya langsing, tidan kurus dan tidak gemuk, kulitnya putih bersih, kalau pakai baju apapun selalu kelihatan serasi. Namun karena dulu kang Aziz lebih dekat dengan kakaknya nampaknya ning Mirza tidak pernah ia perhatikan.
Sudah sekian kalinya mbah Yai menyuruh kang Aziz untuk mengantarkan ning Mirza pergi, entah itu ke rumah saudara, atau ke acara-acara pribadinya, karena sejauh ini ning mirza tidak pernah sendirian kalau pergi ke manapun, sebab ia sendiri belum bisa naik motor atau nyetir mobil sendiri.
Ning mirza juga tidak kalah baiknya dengan kakaknya, kalaupun ia pergi ke suatu acara tertentu, ia selalu mengajak kang Aziz untuk mampir sebentar ke warung atau restoran terdekat, “sesekali biar kang aziz tahu dunia luar” kata ning Mirza setiap kali mengajak mampir kang Aziz. Tidak jarang juga ning Mirza bercerita tentang pengalaman-pengalaman yang ia alami dengan teman-temannya atau pengalaman yang dianggapnya menarik dan asyik jika harus berbagi dengan orang lain yang membuat hati kita nyaman.
Peluang untuk berdua-duaan sangat sering dilakukan oleh ning mirza besama kang Aziz, itupun selalu permintaan dari ning Mirza sendiri, karena kang aziz sendiri tidak pernah berani mengajak ning Mirza karena ia sangat mengormati putri dari kyainya itu. Suatu ketika saat kyai menyuruh kang Aziz mengatar belanja putrinya, tiba-tiba ning Mirza mengajak mampir ke salah satu tempat wisata di kota ini sebelum melakukan perjalanan pulang. Sebuah permintaan yang belum pernah kang Aziz bayangkan sebelumnya.
“mampir dulu Kang di tempat wisata situ bentar” kata ning Mirza dalam mobil sambil menunjuk ke sebuah tempat wisata yang jaraknya tiga puluh meter dari pandangan meraka berdua.
“ngak salah ning?” tanya kang Aziz gak pecaya
“iya mampir sebentar saja”
“inggih ning”
Setelah memarkirkan mobil ning mirza mengajak kang Aziz menemaninya duduk di emperan depot kecil, karena hanya dari sinilah seluruh pemandangan yang menjadi obyek wisata dapat tergambar dengan jelas. Setelah pesan dua minuman sepertinya ning Mirza merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Namun kang Aziz hanya deg-degan menunggui ning Mirza yang sepertinya sedang merasakan kebahagia. Entah kebahagiaan apa yang sedang ia rasakan hanya ning mirza sendirilah yang tahu.
Percakapan-percakapan kecil menjadikan suasana ditempat ini sangat menarik, dari mulai cerita tentang masa kecilnya dulu, cerita tentang pondok, bahkan apapun bentuk ceritanya selalu menjadi perbincangan yang mengasyikkan jika kita tepat memilih orang yang diajak bicara.
“ apa sampean sudah punya calon kang?” tiba-tiba suara ning mirza dengan serius bertanya pada kang Aziz yang sejak tadi mendengarkan cerita ning Mirza.
“calon apa ya ning”? tanya kang aziz penuh ragu-ragu
“ya calon istri lah, masak calon anak?” tanya ning mirza dengan nada bercanda.
“belum ning” jawab kang aziz
“cepat cari kang, nanti keburu telat, atau diambil orang” kata ning mirza kepada kang Aziz sambil menghabiskan minuman yang ada dihadapannya “eh kang...gak usah panggil saya ning, mulai sekarang panggil saja saya mirza”
“iya ning...eh maksudku Mir”
“ayo pulang kang, aku sudah lega” kata ning Mirza sambil beranjak dari tempat duduknya.
“iya ning...eh Mir”
Dari pertemuan itu dan dari hari kehari nampaknya hati kang Aziz sudah merasa terpikat oleh ning Mirza, kang aziz merasa kalau ning mirza juga menyukai dirinya. Megingat kemanapun ia ingin pergi selalu minta diantar oleh kang Aziz. Kalaupun kang Aziz kebetulan tidak ada, ning mirza malah setia menunggu sampai kang aziz pulang dan bisa mengantar, karena semenjak kedekatan ia sama kang Aziz ning Mirza sendiri tidak mau kalau diantar oleh santri lain atau abdi ndalem yang lain meski sangat banyak santri yang setiap saat siap mengantar kemanapun putri kiayi itu pergi.
Rasa cintapun telah tumbuh pada hati kang Aziz, benih-benih yang semula berkecambah nampaknya kini telah menjadi tunas-tunas dan siap untuk berbunga, sebuah perasaan yang sudah tidak wajar lagi jika harus menganggap ning Mirza sebagai saudara, mereka bukan hanya dekat seperti saudara, melainkan seperti kekasih, tidak jarang ning mirza juga sering menceritakan hal-hal yang menyangkut masalahh pribadinya kepada kang Aziz ketika ada kesempatan keluar ataupun saat bersama-sama mengerjakan tugas ndalem.
Bahkan waktu menghadiri HAUL pondok dimana ning mirza dulu menimba ilmu, ning Mirza juga mengajak kang Aziz menemaninya, disana kang Aziz malah dikenalkan kepada teman-teman lamanya yang sebagian besar juga sudah punya pendamping hidup, “ini teman saya, teman spesial” gitu katanya kepada teman-teman ning mirza tanpa sedikitpun mengatakan kalau kang Aziz adalah abdi ndalem ning Mirza sendiri.
Tak terduga, pagi itu sepertinya hati kang Aziz mendadak gemetar ketika menyuguhkan minum kepada  kedua tamu dari seberang yang sengaja sowan kepada Yai Marzuki, ia dengar dari percakapan antara tamu itu dengan Kyai Marzuki, nampaknya kedatangan kedua tamu itu hendak melamar ning Mirza, tak tau apa yang harus dilakukan oleh kang aziz, ia seperti tak mampu menguasai dirinya sendiri, apakah ia harus kehilangan ning Mirza, mengingat ia sendiri sudah terlanjur akrab dengan ning mirza, bahkan sudah terlanjur sayang, malah khusus untuk dirinyalah sandaran gelar ning ia tinggalkan, agar tidak ada lagi sekat yang dapat membentengi keakraban dan kedekatan mereka.
Baru semalam ia berfikir untuk secepatnya matur kepada mbah Yai tentang perasaannya kepada Ning Mirza, namun pagi ini sepertinya keinginan kang Aziz haruslah dibatalkan. Padahal ia sendiri sudah melakukan gladi bersih untuk merangkai kata-kata ketika mengutarakan niatnya kepada Kyai Marzuki.
Melihat kenyataan ini Kang aziz hanya bersikap pasrah, mau menyalahkan ning mirza dengan alasan apa ia menyalahkan, karena ia sendiri tidak penah terus terang menyatakan cintanya kepada ning Mirza, mau menyalahkan dirinya sendiri, yang jelas hal itu tidak akan merubah niat Kyai Marzuki yang sudah terlanjur meng-iya-kan ning Mirza dilamar orang, mau mengutarakan perasaannya pada kyai jelas tidak berani, mengingat sudah ada orang lain yang melamar, sepertinya salah satu jalan adalah meng-ihlas-kan ning Mirza menjadi milik orang lain, asalkan ia bahagia dan selalu bahagia seperti sewaktu ia masih bersama-sama dalam mengantar kemanapun ia pergi.
Pernikahan ning mirza dengan gus Mahrus pun terjadi juga, lagi-lagi ia menjadi seksi super sibuk lagi dalam mengurusi prosesi perkawinan, kang aziz hanya bisa memandangi kedua pengantin itu ketika saling bersuapan dipelaminan, berfoto-foto bersama, tersenyum mesra berdua, entahlah apa yang sekarang dirasakan oleh kang aziz, apakah ia sendiri benar-benar ihlas menerima kepergian ning Mirza atau malah kalut dalam kemelut hatinya yang sedang dirundung derita. Semua ia serahkan kepada Allah. Dan ia sendirilah yang tahu.
Hari-hari semenjak kepergian ning Mirza sepertinya menjadikan pondok ini terasa sepi itulah kiranya yang dirasakan oleh kang Aziz saat ini. Namun ia tetap menjalankan tugasnya sebagai abdi ndalem dengan baik, mulai dari mencuci mobil, membersihkan halaman, mengajar ngaji karena disamping abdi ndalem ia sendiri juga termasuk santri senior dan tangan kanan Kyai Marzuki, mengantar yai pergi kalau ada undangan pengajian, memimpin rapat-rapat pengurus pondok dan lain-lain tanpa sedikitpun ia tinggalkan kebiasaanyaan itu.
Kali ini ia mengerjakan sendiri seluruh tugasnya, kadang-kadang juga dibantu oleh putri ketiga dari kyai Marzuki namanya ning Azizah, hampir sama namanya dengan kang Aziz hanya ada pembeda antara laki-laki dan perempuan, memang seperti itulah bahasa arab, selalu ada bedanya antara simbol laki-laki dan perempuan, semoga saja dalam kehidupan tidak ada pembeda, bukankah laki-laki dan perempuan sejatinya adalah sama yaitu sama-sama manusia.
Ning azizah tidaklah sepintar dan secantik kakak-kakaknya, ia terkesan biasa-biasa saja, dalam bekerja membantu kang Aziz ning azizah juga tidak seaktif kakak-kakaknya, hanya saja sesekali ia mau membantu kalau disuruh oleh abahnya, hanya yang membuat kang aziz betah berlama-lama jika ditunggui oleh ning azizah adalah tingkahnya yang ada-ada saja, ia sangat suka bercanda, kadang-kadang juga meledek kang Aziz.
Ning azizah sendiri juga merasa sangat senang jika harus menggoda-goda kang aziz, sebab kalau kang aziz di gojloki dengan macem-macem cara, ia tidak pernah marah, malah ia merasa senang, nampaknya hal inilah yang menjadikan ning Azizah merasa cocok dengan kang aziz dibanding dengan santri atau abdi ndalem yang lain.
“baju kang aziz gak pernah dicuci ya? Kok bau sekali” kata ning azizah ketika melihat kang aziz sedang mengelapi meja ndalem
“ning zizah ini bisa saja, lawong baunya datang dari tempat duduk ning sendiri” jawab kang aziz sambil menutup hidungnya karena gak tahan menahan bau kentut yang keluar dari tempat duduk ning Azizah yang sejak tadi baca buku di shofa.
“sabar kang...namanya anugrah masak saya tolak”
Keduanya saling tertawa menahan tingkah ning zizah yang kerap kali bikin ulah kepada kang Aziz. Sepertinya kelucuan ning zizah tidak ada habisnya, memang sejak kecil ning Azizah pandai untuk membuat kelucuan-kelucuan kadang-kadang juga sedikit konyol juga. Setiap ia berkata pastilah orang lain yang diajaknya tertawa, ia sendiri juga pandai merangkai kata-kata yang dapat membuat perut orang menjadi kaku karena ucapannya yang selalu lucu.
Setiap pagi sudah menjadi tradisi dan kebiasaan kang aziz untuk membersihkan halaman ndalem  setelah itu barulah kang Aziz mandi dan mengajar di madrasah.
“Kang... jangan keseringan mandi” kata ning azizah ketika melihat kang aziz yang baru mengelapi rambutnya dengan handuk
“emang kenapa ning?” tanya kang Aziz meski ia sendiri tahu pasti ada-ada lagi lelucon yang sengaja dibuat oleh ning Azizah
“entar sampean malah bau”
“Kok bisa ?” tanya kang aziz masih curiga
“la itu ikan dikolam, setiap hari mandi baunya malah amis” jawab ning azizah dibarengi dengan tawanya, lalu disusul oleh tawa kang aziz.
Hari-hari kang aziz kini lebih banyak dihabiskan dengan ning Azizah, kadang disaat kang Aziz bekerja dan ning Azizah tidak ada nampaknya suasana menjadi sunyi, kang Aziz menjadi kesepian. Begitu juga dengan ning Azizah sehari saja tidak menggoda kang aziz nampkanya harinya terasa lama.
“kang aziz tahu gak akibatnya kalau orang itu jatuh hati” tanya ning Aizah disaat ia sedang menemani kang Aziz mencuci mobil.
Kang azizpun menghentikan sebentar bekerjanya, ia tutup kran agar air tidak muncrat kemana-mana “mungkin orang itu akan selalu resah, kemanapun dan apapun yang ia kerjakan selalu ingat dengan orang yang sedang dicintai, selalu ingin berdekat-dekatan dengan cintanya, selalu ingin bersama, dan hari-harinya pun akan selalu indah, kadang juga ada sedikit kekhawatiran kalau cintanya menjadi milik orang lain, kadang juga ada kenyamanan karena ia merasa memiliki” dengan serius kang aziz menjawab lalu melanjutkan mengelapi mobil lagi.
“salah kang!”
“lalu bagaimana?”
“yang jelas orang itu akan mati”
“kok bisa?” kata kang aziz tak percaya
“lawong hatinya jatuh, yang jelas jantungnya juga ikut copot dong, hati kan letaknya berdekatan dengan jantung” jawab ning aziz dengan tawa meledek kang Aziz yang mukanya sedikit memerah mendengar lelucon Ning Azizah. Sudah berapa kali ia masuk perangkap ning Azizah sendiri.
Jika dulu lelucon yang dikeluarkan oleh Ning Azizah hanya ringan-ringan saja nampaknya seiring dengan perjalanan waktu kedekatannya dengan kang Aziz, canda-canda ning Azizah sudah bertemakan masalah cinta, tidak jarang ning Azizah kerap menggodanya dengan puisi-puisi yang ia produksi sendiri kadang ia sengaja meletakkan deretan puisi romantis dikamar kang Aziz.
Salah satu kelebihan dari ning Azizah adalah suaranya yang merdu ia juga juara MTQ tingkat kabupaten serta kecakapannya dalam membuat bait-bait syair yang kalau siapapun membacanya pasti akan senang dan bisa memahami, ia pintar merangkai kata, kata-kata yang ia racik tidak pernah berbelit-belit atau kebanyakan simbol layaknya syair-syair orang besar. Kata-katanya selalu sederhana serta pilihan katanya selalu tepat, orang seperti kang Aziz yang tidak genah sastrapun bisa memahami setiap bait puisi yang ditaruh oleh ning Azizah dikamarnya.
Kadang kang Aziz tertawa sendiri membaca syair ning Azizah yang mencerminkan kelucuan, kadang juga menangis sendiri kalau syairnya menceritakan kesedihan, kadang juga ke-GR-an sendiri jika syair-syairnya romantis dan mengena pada diri kang Aziz.
KEKASIH
Mestinya malam ini bisa sangat istimewa dengan mimpi-mimpiku slama ini
Kekasaih, jemputlah aku
Kekasih, sambutlah aku
Aku akan menceritakan kerinduanku dengan kata-kata biasa
Dan kau cukup tersenyum memahami deritaku
Lalu kuletakkan kepalaku yang penat
Diharibaanmu yang hangat
Kekasih tetaplah disisiku
Kekasih tataplah mataku
Tapi seperti biasa
Sekian banyak yang ingin ku katakan tak terkatakan
Sekian banyak yang ingin kuadukan tak teradukan
Sekian banyak yang ingin kuceritakan diambil alih oleh air mataku
Kekasih dengarlah dadaku
Kekasih bacalah air mataku
Malam ini belum juga seperti mimpi-mimpiku slama ini
Malam ini lagi-lagi kau biarkan sepi mewakilimu

Ia kumpulkan satu-satu persatu syair-syair dari ning Azizah spesial untuk dirinya, sepertinya ning Azizah sengaja membuatkan syair-syair khusus yang dipersembahkan teruntuk kang Aiziz seorang.
Bukankan aku sudah mengatakan kepadamu, kemarilah
Rengkuh aku dengan sepenuh jiwamu
Datanglah, aku akan berlari menyambutmu
Tapi kau terus sibuk dengan dirimu
Kalaupun kau datang, kau hanya menciumi pintu rumahku
Tanpa meski sekedar melongokku
Kau hanya menggambarkan dan membayangkan diriku
Lalu kau rayu aku dari kejauhan
Kau merayu dan memujaku
Bukan untuk mendapatkan cintaku
Tapi sekedar memuaskan egomu
Pulanglah pada dirimu
Aku tak kemana-mana.

Setiap hari syair dikamar kang Aziz tak pernah absen, selalu ada yang baru belakang ini memang syair-syair dari ning Azizah lebih pada perasaan bertemakan jatuh cinta, kadang dibenak kang Aziz berkata kalau ning Azizah telah benar-benar jatuh cinta padanya. Memang kenyataanya itulah yang dirasakan oleh kang Aziz, ia sendiri tak kuasa jika harus menolak perasaanya pada ning Azizah, sepertinya kang Aziz sudah benar-benar jatuh cinta pada putri Kyai Marzuki yang ketiga.
Kadang sesekali ia sendiri juga sengaja membuatkan syair-syair romantis sebagai jawaban atas syair-syair dari ning Azizah padanya. Namun karena ia sendiri kurang piawai dalam merangkai kata dan tidak begitu PD untuk memberikan syair itu pada ning Azizah, ia hanya menyimpannya sendiri, sepertinya ada kepuasaan tersendiri jika harus membuat syair meski orang lain tidak ada yang tahu karya kita.
Sudah beberapa bulan ini hati kang Aziz benar-benar ketresnan pada ning Azizah, sementara itu hari-hari kang Aziz selalu bersama dengan putri Kyai Marzuki yang paling kocak itu. Namun nampaknya kehendak tuhan berkata lain, dan kebersamaannya dengan ning Azizah harus segera disudahi, karena lagi-lagi cintanya diambil oleh orang lain, kali ini ning Azizah dilamar oleh putra Kyai dari jawa tengah, cintanya kandas lagi, “sepertinya inilah yang harus menjadi nasibku sampai mati” dalam batin kang Aziz berkata mewakili keputusasaannya pada dirinya.
Prosesi pernikahan secepatnya harus diselenggarakan, sebab memang ini adalah permintaan dari calon besan Kyai Marzuki, setelah menemukan tanggal baik dan kedua keluarga mempelai menyetujui prosesipun akan digelar. Inilah tradisi jawa  bahkan tradisi Indonesia yang masih dipandang baik dan harus tetap dijaga. Pernikahan bukanlah sekedar ikatan suci antara pria dan wanita, melainkan ikatan antara dua keluarga, keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan, agar tetap terjadi tali kekeluargaan yang semakin kuat dan kokoh.
Sudah bisa ditebak saat prosesi pernikahan ning Azizah sudah barang tentu kang Aziz-lah yang menyiapkan semuanya, siapa lagi santri senior yang mampu menghendel acara sedemikian besar, kang Aziz memang sangat ahli dalam berkomunikasi dengan masa dan menyiapkan acara yang seperti ini. Baginya ini adalah pekerjaan yang mudah, dari mulai urusan yang paling kecil dan paling besar pada acara itu ia selalu menjadi tempat bertanya para santri lain yang ikut membantunya. Bahkan untuk prosesi pernikahan kali ini kang aziz harus bekerja ganda dan lebih berat dibanding dengan prosesi pernikahan yang sebelumya, karena pesta perkawinan dilakukan masih pada bulan syawal, pondok raudlotut tholibin masih libur, jadi para santri masih banyak yang belum datang ke pondok, kecuali santri-santri yang dekat dengan ndalem dan beberapa abdi ndalem yang lain.
Bahkan sengaja Mbah yai meminta pada kang Aziz menyiapkan kamar pengantin dan ia sendiri yang mendesainnya untuk tempat ning Azizah menikmati malam pertamanya dengan suami tercintanya. Lalu bagaimana yang dirasakan kang Aziz sekarang, hanya sabar dan sabar menghadapi kehendak tuhan, memang siapa yang sabar jika kekasih hati kita menjadi milik orang lain dan ia sendiri yang harus berepot-repotan untuk mensukseskan perkawinan orang yang paling kita cintai, kalau tidak sabar mau apa lagi, ya jelas Cuma sabar itu saja yang bisa dilakukan oleh kang Aziz.
 Setelah kepergian ning Azizah sudah tidak ada lagi yang mengajak kang aziz tertawa bersama, tidak ada lagi lelucon-lelucon kocak yang keluar dari suaranya disaat kang Aziz sedang menyelesaikan pekerjaan ndalem, tidak ada lagi syair-syair yang sengaja dibuat oleh ning Azizah untuk dibaca setiap hari kamarnya. Singkat kata sepertinya kang aziz sangatlah kehilangan ning Azizah yang kocak, yang lucu, yang pandai membuat syair, bahkan beberapa syair kang aziz yang sudah dibuatnya dan hendak diberikan pada ning Azizah nampaknya harus disimpan dulu, mungkin suatu saat ada orang lain yang ditakdirkan membaca.
“lho... kang aziz pandai juga to buat puisi? Waduh puisi kang aziz romantis banget” tiba-tiba ning Riza mengacak-ngacak isi lemari kang Aziz, disaat kang aziz sedang membaca-baca kitabnya untuk persiapan mengajar.
Kalau sudah ketahuan ning Riza, siapapun tidak berani menegurnya, maklum dia adalah putri Kyai Marzuki yang ke empat dan terakhir, meski umurnya hanya beda setahun dengan kakaknya namun pribadinya masih sedikit kekanak-kanakan, bahkan ia sangat pemarah dan sangat sensitif dengan siapapun, kalau sudah marah mungkin abah dan uminya tidak akan bisa meredamnya kecuali hanya didiamkan saja, apalagi kalau sudah punya kemauan secepatnya harus dituruti.
Mungkin ning mirza sekarang merasa kesepian setelah kakak-kakaknya tidak ada yang dirumah lagi, tidak ada yang menjadi sasaran marahnya, kalau sudah begini siapa lagi temannya kalau bukan kang Aziz. Karena santri maupun abdi ndalem yang lain tidak ada yang berani berdekat-dekatan dengan keluarga ndalem.
Pribadi dan kebiasaan ning Riza lebih kompleks dari pada ketiga kakaknya, dari segi kecerdasan ia mirip dengan kakak pertamanya, dari segi fisik ia persis dengan kakak keduanya, dari ceplas-ceplok omongannya ia mirip dengan kakaknya yang ketiga. 
Kang Aziz sendiri kerap direpotkan juga oleh ulah ning Riza ini, kalau sudah minta sesuatu betapapun sibuknya dia harus mengutamakan permintaan ning Riza kalau tidak mau kena semprotnya, bicaranya yang ceplas-ceplos kerap kali membuat dirinya tidak nyaman jika harus dimarahi atau diatur-atur oleh ning Riza apalagi dihadapan para santri lain, seakan-akan hal ini bisa mengurangi kewibawaan kang Aziz dimata santri yang lain.
“kang aziz ini bagaimana sih??? Umur sama goblok kok balapan” teriak ning Riza cengkel ketika ia sedang merasa kesal pada kang Aziz saat diminta mengoperasikan HP terbaru ning Riza yang baru dibelikan oleh abahnya.
“namanya orang gak pernah punya HP ning” jawabnya kalem sambil membela diri
“tu kan...tambah kelihatan katroknya” tambah ning Mirza dengan kesal “ni pakek saja HP ku yang lama, biar aku bisa sewaktu-waktu nyuruh sampean”
“gak usah ning” jawab kang Aziz sambil terus mencoba mengotak-atik meski ia sendiri tidak tahu mana yang harus dipencet agar bisa bunyi.
Meski ning Riza kekanak-kanakan dan sering merepotkan kang Aziz namun kang aziz sendiri senang kepadanya, karena ning Riza juga pandai mengalem kepada kang Aziz, terkadang juga timbul sifat perhatian juga pada diri ning Riza kepada kang aziz. Memang sejauh ini watak kaku ning Riza hanya luluh jika bersama kang Aziz, mungkin karena watak ning Riza lebih meng-adik.
Tidak jarang ia kerap menceramai macem-macem kepada kang aziz, mulai dari jaga kesehatan, jangan lupa makan, jangan bekadang sampai malam, apalagi kalau kang aziz lagi makan sedikit sudah dipastikan bila ketahuan ning riza ia akan ngomel-ngomel gak karuan, apalagi kalau ketahuan ia sedang merokok sudah tentu semprotan paling dahhsyat akan keluar dari mulutnya.
“kang aziz pingin sakit ya? Makan kok kalah sama ayam” begitu kata ning riza ketika melihat kang aziz sarapan dengan hanya sedikit mengambil nasi
“masih kenyang ning” kata kang aziz penuh kesopanan
“nih ...makan yang buanyak, kalau sudah kenyang, wajib mengantarkan aku beli baju” kata ning Riza penuh manja sambil menuangkan beberapa entong nasi ke piring kang aziz, ia hanya mendiamkan ulah ning Riza yang perhatian sama dia.
Begitulah hari-hari kang aziz dengan ning Riza, ada perasan kesal ada perasaan sayang dan kadang merasa diperhatikan juga, meski tidak jarang ning Riza merepotkan kang Aziz namun ia selalu melayaninya dengan senang hati tanpa sedikitpun ada kemurungan dan kemalasan jika harus mengahadapi prilaku putri ragil kyai Marzuki ini.
Pernah suatu ketika, kang aziz seharian tidak pulang karena harus mengantar Kyai Marzuki yang sedang mengisi pengajian keluar kota, setelah baru datang, dan belum selesai ia markir mobil garansi, ning Riza sudah menghampirinya dan ngomel-ngomel gak karuan “kang aziz kenama saja sih...seharian gak kelihatan batang hidungnya, aku kesepian tauuuuu!!!” kata-kata itulah yang kerap di didengar oleh kang Aziz dari mulut ning Riza penuh manja, baik itu ketika ada tugas dari mbah Yai atau harus mengajar di madrasah sampai sore hari, “pokoknya sampean harus menggantinya dengan nemenin aku sampai malam liat TV” kata ning Riza dengan penuh harap kepada kang Aziz yang hendak membereskan barang bawaanya dari mobil.
Di diri kang Aziz kini sepertinya baru tersadar kalau ning Riza sebenarnya sangatlah sayang kepada dirinya, meski kadang tingkahnya seperti anak kecil, namun memang kebiasaanya seperti itu, dibalik itu ning Riza juga kerap menunjukkan rasa perhatian kepadanya. Inilah yang menjadikan kang Aziz semakin yakin kalau ning Riza sebenarnya sayang kepadanya.
Suatu ketika muncullah keinginan kang aziz untuk meminang ning Riza, tidak ada alasan lagi kecuali ia segera mengutarakan niat baikknya kepada Yai Marzuki, sudah barang tentu mbah Yai mesti merestui karena sampai sejauh ini ning Riza hanya menuruti kata-kata kang Aziz ketimbang dengan abahnya sendiri.
Sudah beberapa kali Mbah yai dan Ibu nyai kewalahan menuruti ulah putri ragilnya itu, dari mulai pingin beli ini, pingin main itu dan lain-lain namun jika sudah dengan kang Aziz sepertinya kebiasaan buruk ning Riza bisa berubah, memang kadang perubahan itu disebabkan oleh benda lain yang memaksanya berubah, begitulah kiranya teori atomisme yang mengilhami pikiran revolusioner para pemikir besar eropa.
Namun siang itu hati kang aziz seperti disambar petir di siang bolong, tiba-tiba ning Riza datang kepadanya untuk meminta dibuatkan surat cinta dan puisi-puisi romantis kepada saudara sepupu ning Riza sendiri, kata ning riza, ia sedang jatuh cinta kepada gus Ilham, dan kang Aziz wajib membuatkan surat dan puisi-puisi sampai cintanya diterima oleh pujaan hatinya.
Sudah barang tentu kang Aziz meladeni permintaan ning Riza dan ia sendiri harus mengurungkan niatnya untuk mator kepada mbah Yai tentang perasaan sayangnya kepada ning Riza. Surat dan puisi-puisi cinta yang dulu ia simpan untuk ning Mirza toh sekarang akhirnya laku juga meski bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang yang ia sayangi meski juga bukan untuk kebahagiaan sang pencipta nya sendiri.
Beberapa bulan kemudian sepertinya keluarga dari gus Ilham sowan kepada Mbah Yai untuk melamar ning riza, selang beberapa bulan prosesi pernikahan yang super mewah pun rencananya akan digelar karena setelah ini tidak ada lagi pernikahan dikeluarga besar Kyai Marzuki.
Namun anehnya sebelum hari H pernikahan Kang Aziz tidak kelihatan batang hidungnya, bahkan tidak ada santri dan abdi ndalempun yang mengetahuinya, Kyai Marzuki juga tidak tahu dimana keberadaan kang Aziz sekarang, jelas saja mereka semua kelabakan dalam menyiapkan prosesi pernikahan yang super meriah itu, namun acaranyapun juga bisa sukses sebagaimana yang direncanakan. Acara demi acara bisa berjalan dengan baik, dan sekarang ning Riza sudah menjadi milik orang lain dan harus ikut suaminya, karena seperti itulah tradisi orang jawa, istri harus nurut sama suami dimanapun ia mengajak tinggal. Kini ndalem Kyai Marzuki tidak ada lagi putri-putrinya yang kocak, alim, pinter dan tidak ada lagi kang Aziz yang super setia menjadi abdi ndalem sejak kecil sampai dewasa.
Beberapa bulan kemudian Kyai marzuki dipanggil oleh Allah, ia wafat dengan usianya yang masih cukup muda, seketika itu rasa duka meliputi seluruh pesantren ribuan pelayat dari seluruh elemen masyarakat membanjiri pondok pesantren Raudlotut tholibin untuk mendo’akan arwah Kyai Marzuki ke hadirat Allah, karena Kyai Marzuki adalah sosok Kyai yang paling disegani oleh masyarakat dan Kyai-kyai besar dari daerah lain. Kalau memang kehendak Allah demikian siapa yang bisa menyangkal, ngak peduli tua atau muda kalau jatah umurnya telah habis pastilah maut tidak bisa ditolak lagi.
Jarak satu tahun kemudian pondok raudlatut tholibin gempar, kang Aziz seorang abdi ndalem karena kealiman ilmunya dan ketulusannya mengabdi di jalan Allah sekarang menikah dengan ibu Nyai Najwa janda muda istri Kyai Marzuki. Pondok Roudlotut tholibinpun sekarang lima kali lebih besar dan lebih maju pendidikannya semenjak dipimpin oleh Almaghfullah Mbah Yai Haji Abd. Aziz alhafidz.

WASSALAM

Kediri, Nopember 2006
Penulis : Kang Muthok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar