Sabtu, 04 April 2020

Teori Pendekatan Ulama' dalam Memetakan Ayat Makkiyah dan Madaniyah


Teori Pendekatan Ulama' dalam Memetakan Ayat  Makkiyah dan Madaniyah
Oleh:
M.Zabiburrohman
(Penulis adalah Guru Fiqih MI Thoriqul Huda Juwet)
A.      Sebuah Pengantar
Alquran sebagai sumber hukum Islam tidak bisa diinterogasi secara “ilmiah” dan nalar insaniyah, sebab yang terkandung di dalamnya merupakan norma-norma dan doktrin yang absolut. Pada tingkatan ini, perspektif yang gunakan adalah perspektif “fideistis” seperti yang dinyatakan Soren Kierkegaard, filosof Denmark, yang mengatakan bahwa iman adalah suatu “lompatan”. Keberanian kita untuk “melompat” tanpa didukung oleh bukti-bukti “ilmiah”, kemudian menyimpulkan kebenaran pewahyuan Alquran adalah suatu tindakan iman.
Keberadaan Alquran sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tengah-tengah umat Islam. Alquran juga menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norma aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Melalui standar keilmuan tertentu, Alquran bisa saja diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan sebagainya. Kedua hal tersebut tidak bisa dicampuradukkan. Interogasi “ilmiah” terhadap Alquran sudah sepantasnya ditempatkan pada wilayah kajian ilmiah, bukan dipandang sebagai sebuah penyimpangan pada iman.
Pada tahapan selanjutnya, mulai terdapat penulusuran mengenai ayat-ayat Alquran yang termasuk kategori Makkiyah dan Madaniyah. Ayat-ayat termasuk juga surah yang diturunkan di Mekah dan Medinah sering disebut dengan makkiyah dan madaniyah. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah adalah bagian-bagian kitab suci Alquran yang termasuk pada kategori Makkiyah dan Madaniyah. Dalam hal ini penulis ingin mengupas tentang surat makiyah dan madaniyah.

B.       Teori Pendekatan Makkiyah dan Madaniyah
Perkembangan dan dimamika turunnya wahyu mendapatkan respon yang sangat beragam, begitu pula peristilahan-peristilahan yang muncul dari kajian terhadap al-Qur'an. Mulai dari istilah ayat, surat, asbabun nuzul, waqaf, washal dan lain sebagainya. Yang tak kalah menarik mengenai istilah yang disebutkan dalam studi al-Qur'an adalah Makki dan Madani. Ada juga yang menyebut dengan istilah Makkiyah dan Madaniyyah.
Kata Makki dan Madani merupakan bagian dari terma yang ada dalam kajian al-Qur'an, yang dimaksudkan untuk memberikan nama jenis surat/ayat dalam al-Qur'an. Keduanya lahir dari dua nama kota besar yang ada di Jazirah Arab, yaitu Makah dan Madinah. Selanjutnya dinisbahkan dengan isim sifat, yang ditandai dengan alamat ja' nisbah, maka jadilah kata Makki dan Madani.
Surat Makiyah ialah wahyu yang turun kepada Muhammad sebelum hijrah, meskipun surat itu tidak turun di Makah. Sedangkan Madaniyah ialah surat/ayat yang turun kepada rasulullah setelah hijrah, walaupun surat atau ayat itu turun di Makah. Seperti yang turun pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makah), waktu haji wada' (perpisahan) atau dalam perjalanannya.[1]
Sedangkan disebut ilmu Makki dan Madani, karena ia merupakan bagian dari disiplin ilmu-ilmu al-Qur'an ('ulum al-Qur'an) yang sudah berdiri sendiri dan sitematis (mudawam) sebagai salah satu dari cabang-cabang ilmu lainnya.[2] Ilmu ini mempunyai keunikan tersendiri, karena menerangkan dua fase (periode) penting turunnya ayat atau surat dalam al-Qur'an, yakni fase Makah dan fase Madinah begitu pula sebaliknya.[3]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu Makki dan Madani adalah ilmu yang membahas ihwal bagian al-Qur'an surat atau ayat yang Makki dan bagian yang Madani, baik dari segi arti dan maknanya, cara-cara mengetahuinya, atau tanda masing-masing, maupun macam-macamnya. Sedangkan Makki dan Madani sendiri adalah bagian-bagian dari al-Qur'an, dimana ada sebagiannya termasuk Makki dan ada yang termasuk Madani. Akan tetapi dalam memberikan kriteria mana yang termasuk Makki dan mana yang termasuk Madani itu, atau di dalam mendefinisikan masing-masingnya, ada beberapa teori dan pendekatan, oleh karena terdapat perbedaan orientasi yang menjadi dasar tujuan masing-masing.
Dari sekian banyak teori dan pendekatan yang digunakan untuk menentukan antara surat atau ayat dalam al-Qur'an yang dapat dikategorikan Makki dan Madani, dapat diklasifikasikan dalam beberapa hal sebagai berikut;
1.        Teori mulahazhatu makaanin (teori geografis) yang berorientasi pada tempat turunnya surat atau ayat al-Qur'an. Artinya, surat atau ayat dalam al-Qur'an yang diturunkan di Makah berarti makiyah baik waktu turunnya sebelum atau sesudah hijrah ke Madinah. Sedangkan ayat atau surat yang turun setelah melakukan hijrah di Madinah berarti disebut madaniyah.
2.        Teori mulahadzat al-mukhathabin fi an-nuzul (teori subyektif), yaitu teori yang berorientasi pada subyek siapa yang di-khitabi/dipanggil dalam ayat. Jika subyeknya orang-orang Makah maka ayatnya dinamakan Makiyah. Dan jika subyeknya orang-orang Madinah maka disebut Madaniyah. Ini menunjukkan bahwa butuh penilaian seobyektif mungkin artinya bahwa usaha untuk mencarikan jalan keluar tetap dibutuhkan. Menurut teori ini, yang dinamakan surat Makki adalah berisi khitab kepada penduduk Makah dengan kata; "ya ayyuha an-nas" (wahai manusia) atau "ya ayyuha al-kafirun" (wahai orang-orang kafir) atau "ya baniAdama" (hai anak cucu Adam). Sebab kebanyakan penduduk Makah adalah orang-orang kafir, maka tidak salah dipanggil dengan panggilan orang kafir atau wahai manusia, walaupun orang kafir di daerah lain juga turut dipanggil. Sedangkan yang dimaksudkan dengan surat Madani ialah memuat panggilan dengan panggilan kepada penduduk Madinah. Panggilan itu biasanya memakai; 'ya (ayyuha al-ladzjna amanu" (wahai orang yang beriman). Karena mayoritas penduduk Madinah adalah mereka yang beragama Islam dan tergolong sebagai orang mukmin. Maka panggilan yangdisampaikan dalam bahasa al-Qur'an adalah sebagaimana panggilan dimaksud.
3.        Teori mulahadzatu zaman an-nuzul (teori historis), yaitu teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya al-Qur'an. Yang dijadikan tonggak sejarah oleh teori ini ialah hijrah Muhammad dari Makah ke Madinah. Maka yang dimaksudkan dengan surat Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah ke Madinah meskipun ayat tersebut turun di luar kota Makah, semisal di Mina, Arafah atau Hudaibiyah dan lainnya. Sementara Madani adalah ayat yang diturunkan setelah Muhammad hijrah ke Madinah meskipun ayat tersebut diturunkan di Badar, Uhud, Arafah atau Makah.
4.        Teori mulahadzatu ma tadhammanat as-surah (teori content analisis), yaitu suatu teori yang mendasarkan kriterianya dalam membedakan Makiyah dan Madaniyah-nya kepada isi daripada ayat/surat yang bersangkutan. Dengan kaidah yang demikian ini, maka yang dimaksud dengan Makki adalah surat/ayat yang berisi cerita-cerita umat terdahulu atau nabi-nabi yang telah lalu. Sedangkan yang disebut Madani adalah ayat/surat yang menjelaskan tentang hukum hudud, faraid dan sebagainya.[4]
Ada juga yang melukiskan tentang pembidangan ta'rif (pengertian) Makki dan Madani dengan perspektif yang hampir sama dengan pendefinisian di atas. Pengetahuan yang perlu dimengerti terkait dengan Makki dan Madani adalah membahas kerangka keilmuan itu dari empat segi;
1.      Dari segi masa turunnya (tartib az-zaman)
2.      Dari segi tempat turunnya (tahdid al-makan)
3.      Dari segi topik yang dibicarakan (tahwil al-maudlu'i)
  1. Dari segi orang-orang yang dihadapinya (ta'yin al-syakhsyi)[5]
Jadi, mengetahui surat-surat atau ayat-ayat yang turun di Makah (makiyah) dan yang turun di Madinah (Madaniyah) menjadi penting untuk dapat memahami dan menafsiri al-Qur'an dengan benar. Itulah sebabnya, antusiasme para sahabat dan para tabi'in sangat besar terhadap hal itu. Sehingga Ibnu Mas'ud pernah berkata; "Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, tidak ada surat pun dari kitabullah yang turun melainkan saya ketahui dimana ia turun. Dan tidak ada satupun ayat dari kitabullah yang turun kecuali saya tahu tentang apa ia turun. Seandainya saya tahu ada seseorang yang lebih tahu/'alim dengan kitabullah daripada saya, dan orang itu dapat didatangi dengan kendaraan onta, pasti saya datangi dia", (HR. Bukhari). [6]
Para sahabat biasa mengamalkan apa-apa yang mereka pelajari dari al-Qur'an. Jadi mereka tidak hanya mempelajari saja tanpa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, kata Ibnu Mas'ud; "seorang dari kami bila mempelajari sepuluh ayat al-Qur'an, belum mau menambahnya lagi sebelum benar-benar ia ketahui makna-makna sepuluh ayat itu dan mengamalkannya". Karena Rasulullah bersabada; "Bacalah al-Qur'an dan amalkanlah serta jangan memakan (upah karena membacanya)", (HR. Ahmad). Kerena para sahabat bersungguh-sungguh dalam mempelajari al-Qur'an dan gigih mempraktekkan ajaran-ajarannya, maka tidak heran kalau Allah berkenan memenangkan mereka di atas semua manusia pada zamannya. Kehancuran dan kemunduran kaum muslimin ini akan terus berlangsung sampai mereka mau kembalimempelajari kitabullah dan mengamalkan ajaran-ajaranya dalam kehidupan mereka.[7]
Dengan demikian, maka cara yang ditempuh oleh para ulama dalam studi 'ulum al-Qur'an untuk mengetahui surat/ayat Makiyah dan Madaniyah dilakukan dengan menggunakan dua metode dasar;[8]
1.      Merujuk kepada riwayat-riwayat yang sah datangnya dari sahabat yang hidup sezaman dengan turunnya wahyu dan menyaksikan langsung turunnya wahyu tersebut. Atau riwayat dari para tabi'in yang bertemu dan mendengar dari sahabat perihal latar belakang turunnya, tempatnya, dan kejadian yang melatari turunnya suatu surat ataupun ayat.
2.      Berpegang pada ciri-ciri surat-surat atau ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, lalu dikiaskan berdasarkan ijtihad untuk menentukan apakah suatu surat atau ayat termasuk Madaniyah atau Makiyah. Misalnya di dalam surat Makiyah terdapat satu ayat yang mengandung ciri-ciri Madaniyah, maka mereka simpulkan itu ayat Madaniyah. Begitu pula sebaliknya, kalau di dalam surat Madaniyah terdapat ayat yang mencerminkan ciri-ciri ayat yang turun di Makah, maka itu dikatakan ayat Makiyah. Juga, bila di dalam satu surat tersebut terdapat ciri-ciri surat makiyah, maka itu mereka katakan surat Madaniyah. Para ulama itu mengatakan bahwa semua surat yang mengandung kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, bisa dipastikan itu surat diturunkan di Makah (Makiyah). Sedangkan semua surat yang mengandung perintah-perintah wajib, seperti shalat, zakat, puasa, atau hukum-hukum had/kriminal, seperti potongtangan, cambuk, dera, itu pasti surat diturunkan di Madinah (Madaniyah).
Dari jumlah surat dalam al-Quran yang semuanya seratus empat belas (114) surat, maka dari jumlah itu, pendapat yang paling mendekati kebenaran tentang bilangan surah-surah makiyah dan Madaniyah ialah bahwa Madaniyah ada dua puluh surat; 1) Al-Baqarah, 2) Ali Imran, 3) An-Nisa', 4) Al-Maidah, 5) Al-Anfal, 6) At-Taubah, 7) An-Nur, 8) Al-Ahzab, 9) Muhammad, 10) Al-Fath, 11) Al-Hujurat 12) Al-Hadid, 13) Al-Mujadalah, 14) Al-Hasyr, 15) Al-Mumtahanah, 16) Al-Jumu'ah, 17) Al-Munafiqun, 18) Ath-Thalaq, 19) At-Tahrim dan 20) An-Nashr. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua belas surah, yakni Al-Fatihah, Ar-Ra'd, Ar-Rahman, As-Shaff, At-Taghabun, At-Tatfif, Al-Qadar, Al-Bayyinah, Az-Zalzalah, Al-Ikhlash, Al-Falak, An-Nas. Selain yang disebutkan di atas adalah Makki, yaitu delapan puluh (80) surat. Turunnya surah-surah Makkiyyah lamanya 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai pada 17 Ramadhan 40 tahun usia Muhammad atau bertepatan dengan Februari 610 M.[9]
Bila diklasifikaskan berdasarkan urutan turunnya, maka dapat dirumuskan sebagai berikut;
a.    Makkiyah
Al-'Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Muddatstsir, al-Fatihah, al-Masad (al-Lahab), at-Takwir, al-A'la, al-Lail, al-Fajr, adh-Dhuha, Alam Nasyrah (al-Insyirah), al-'Ashr, al-'Adiyat, al-Kautsar, at-Takatsur, al-Ma'un, al-Kafirun, al-Fil, al-Falaq, an-Nas, al-Ikhlas, an-Najm, 'Abasa, al-Qadar, asy-Syamsu, al-Buruj, at-Tin, al-Quraisy, al-Qari'ah, al-Qiyamah, al-Humazah, al-Mursalah, Qaf, al-Balad, ath-Thariq, al-Qamar, Shad, al-A'raf, al-Jin, Yasin, al-Furqan, Fathir, Maryam, Thaha, al-Waqi'ah, asy-Syu'ara, an-Naml, al-Qashash, al-Isra, Yunus, Hud, Yusuf, al-Hijr, al-An'am, ash-Shaffat, Lukman, Saba', az-Zumar, Ghafir, Fushshilat, asy-Syura, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, adz-Dzariyah, al-Ghasyiah, al-Kahf, an-Nahl, Nuh, Ibrahim, al-Anbiya, al-Mu'minun, as-Sajdah, ath-Thur, al-Mulk, al-Haqqah, al-Ma'arij, an-Naba', an-Nazi'at, al-Infithar, al-Insyiqaq, ar-Rum, al-Ankabut, al-Muthaffifin, az-Zalzalah, ar-Ra'd, ar-Rahman, al-Insan, al-Bayyinah.[10]
b.    Madaniyyah
Al-Baqarah, al-Anfal, ali-Imran, al-Ahzab, al-Mumtahanah, an-Nisa', al-Hadid, al-Qital, ath-Thalaq, al-Hasyr, an-Nur, al-Hajj, al-Munafiqun, al-Mujadalah, al-Hujurat, at-Tahrim, at-Taghabun, ash-Shaff, al-Jum'at, al-Fath, al-Maidah, at-Taubah dan an-Nashr.[11]
Sementara secara utuh, surat al-Qur'an yang ada pada masa sekarang dan diyakini oleh masyarakat muslim tersistematisasikan sebagaimana berikut; al-Fatihah, al-Baqarah, ali-Imran, an-Nisa', al-Maidah, al-An'am, al-A'raf, al-Anfal, at-Taubah, Yunus, Hud, Yusuf, ar-Ra'd, Ibrahim, al-Hijr, an-Nahl, al-Isra', al-Kahfi, Maryam, Thaha, al-Anbiya', al-Hajj, al-Mu'minun, an-Nur, al-Furqan, asy-Syu'ara', an-Naml, al-Qashash, al-Ankabut, ar-Rum, Luqman, as-Sajadah, al-Ahzab, Saba', Fathir, Yasin, ash-Shaffat, Shad, az-Zumar, al-Mu'min, Fushshilat, asy-Syura, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, Qaaf, adz-Dzariyat, ath-Thur, an-Najm, al-Qamar, ar-Rahman, al-Waqi'ah, al-Hadid, al-Mujadilah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, ash-Shaff, al-Jumu'ah, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-Thalaq, at-Tahrim, al-Mulk, al-Qalam, al-Haqqah, al-Ma'arij, Nuh, al-Jin, al-Muzzammil, al-Muddatstsir, al-Qiyamah, al-Insan, al-Mursalat, an-Naba', an-Nazi'at, 'Abasa, At-Takwir, al-Infithar, al-Muthaffifin, al-Insyiqaq, al-Buruj, ath-Thariq, al-A'la, al-Ghaasyiyah, al-Fajr, al-Balad, asy-Syams, al-Lail, adh-Dhuha, Alam Nasyrah, at-Tin, al-'Alaq, al-Qadar, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-'Adiyat, al-Qari'ah, at-Takatsur, al-'Ashr, al-Humazah, al-Fil, al-Quraisy, al-Ma'un, al-Kautsar, al-Kafirun, an-Nashr, al-Lahab, al-Ikhlash, al-Falaq, an-Nas.[12]
Abul Qasim An-Naisaburi membuat kerangka marhalah secara sistematis dalam membedakan antara Makki dan Madani. Penertiban Makki dan Madani ini dibaginya menjadi tiga marhalah:
1.      Marhalah ibtidaiyah
2.      Marhalah mutawasithah
3.      Marhalah khitamiyah[13]
Diantara surat-surat yang disepakati ahli sejarah dan ahli tafsir sebagai surat Makiyah marhalah ibtidaiyah adalah; al-Alaq, al-Mudatsir, at-Takwir, al-A'la, al-Lail, al-Insyirah, al-Adiyat, at-Takatsur, dan an-Najm. Sedangkan Makiyah marhalah mutawassithah adalah; Abasa, at-Tin, al-Qari'ah, al-Qiyamah, al-Mursalat, al-Balad, dan al-Hijr. Sementara yang dinamakan Makiyah marhalah khitamiyah adalah; ash-Shaffat, az-Zuhruf, ad-Dukhan, adz-Dzariyat, al-Kahfi, Ibrahim, as-Sajdah [14]
Ketiga kelompok ini, walaupun nampak tanda-tanda diturunkan di Makah, namun masing-masing mempunyai perbedaan dari yang lain dalam segi isi dan uslub-nya. Masing-masing mempunyai ciri-ciri tertentu dan tekanan-tekanan tertentu. Maksud dari penjelajahan surat Makiyah pada setiap marhalah adalah mengumpulkan perkembangan turunnyasurat dan ayat untuk mengetahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian dan menampakkan ciri-ciri ayat tersebut.[15]
Kondisi Makiyah yang demikian tadi membawa potensi untuk merunut posisi surat Madaniyah yang juga dijabarkan sesuai dengan marhalahnya masing-masing. Madaniyah marhalah ibtidaiyah yaitu; al-Baqarah, al-Anfal, Ali Imran, al-Ahzab, al-Mumtahanah, an-Nisa', dan al-Hadid. Marhalah kedua dari Madaniyah adalah Madaniyah marhalah mutawasithah. Surat yang termasuk marhalah ini adalah; Muhammad, at-Thalaq, al-Hasyr, an-Nur, al-Munafiqun, al-Mujadalah, dan al-Hujarat. Sementara yang dinamakan Madaniyah marhalah khitamiyah adalah; At-Tahrim, Al-Jumu'ah, Al-Maidah, At-Taubah, dan An-Nashr.[16]
Dengan munculnya perspektif yang berbeda dalam memandang eksistensi Makki dan Madani, maka berbeda pula pemaknaan tentang Makki dan Madani tersebut. Beberapa ulama dalam memformulasikan Makki dan Madani terdapat silang pendapat. Namun diantara mereka tetap mempunyai keyakinan tentang wujud surat/ayat yang dinamakan Makki dan Madani. Keadaan yang demikian karena posisi wahyu ada yang mutlaq dan muqayyad.[17]

C.      Pemetaan Ulama' tentang Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
Persepsi berbeda yang muncul dalam kajian Makki dan Madani, pada akhirnya menjadikan perbedaan pandangan oleh kalangan ulama. Klasifikasi yang dilakukan oleh Manna' Al-Qatthan memberikan gambaran bahwa untuk membedakan Makki dengan Madani, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyaidasar.[18] Pandangan para ulama ini tentunya tetap berkiblat pada sebuah argumentasi yang disesuaikan dengan kondisi keilmuan yang ada dalam kajian al-Qur'an. Ketiga pandangan itu sebetulnya hampir sama dengan pandangan atau teori yang telah disebutkan diatas. Ketiga pandangan yang disebut oleh Al-Qatthan dalam Mabahits fi Ulum al-Qur'an adalah sebagai berikut;
1.    Dari segi turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Makah. Adapun Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Makah atau Arafah adalah Madani, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Makah. Misalnya saja firman Allah yang artinya; "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat ke pada yang berhak        " (An-Nisa': 58).
Ayat ini diturunkan di Makah, dalam Kakbah pada tahun penaklukan Makah (fathu Makkah). Atau yang diturunkan pada haji Wada', seperti firman Allah; "Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagimu." (Al-Maidah: 3). Dalam Hadits sahih dari Umar dijelaskan, ayat itu turun pada malam Arafah hari Jumat tahun haji Wada'. Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut, karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten .
2.    Dari segi tempat turunnya. Makki ialah yang turun di Makah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara kongkret yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabuk atau di Baitul Makdis, tidak termasuk ke dalam salah satu bagiannya,sehingga ia tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Makah sesudah hijrah disebut Makki.
3.    Dari segi sasarannya (i'tibaral-mukhatab). Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Makah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat al-Quran yang mengandung seruan ya ayyuha an-nas (wahai manusia) adalah Makki, sedang ayat yang mengandung seruan ya ayyuha al-la%hina amanu (wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani.[19]
Namun, melalui pengamatan cermat, nampak bahwa kebanyakan surat al-Qur'an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu. Dan ketentuan demikian pun tidak konsisten. Al-Qur'an adalah seruan ilahi terhadap semua makhluk. Ia dapat juga menyeru orang yang beriman dengan sifat, nama, atau jenisnya. Begitu pula orang yang tidak beriman dapat diperintah untuk beribadah, sebagaimana orang yang beriman diperintahkan konsisten dan menambah ibadahnya.
Untuk mengetahui dan menentukan Makki dan Madani, para ulama bersandar pada dua cara utama;
1.     Sima'i naqli (pendengaran seperti apa adanya)
2.     Qiyasi ijtihadi (analogi hasil ijtihad)[20]
Cara pertama didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi'in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan pada carapertama ini. Contoh-contoh di atas merupakan bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bial-ma'tsur, kitab-kitab asbab an-nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu al-Quran. Namun demikian, tentang hal tersebut tidak terdapat sedikit pun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.[21]
Qadhi Abu Bakar Ibnu Tayyib Al-Baqalani dalam Al-Intishar menegaskan; "Pengetahuan tentang Makki dan Madani itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi'in. Tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat."[22] Bahkan, sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nasionalisme dari Rasulullah.
Sedangkan cara qiyasi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam surat Makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madani atau mengandung peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madani. Apabila dalam surah Madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau mengandung peristiwa Makki, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat Makki.
Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Makki, maka surah itu dinamakan surah Makki. Demikian pula dalam hal satu surah terdapat ciri-ciri Madani, maka surah itu dinamakan surah Madani. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi. Oleh karena itu para ahli mengatakan, bahwa setiapsurat yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surah itu adalah Makki. Dan setiap surah yang di dalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah Madani, dan begitu seterusnya.
Bahkan Ja'bari pun pernah mengatakan bahwa; "untuk mengetahui Makki dan Madani, ada dua cara; sima'i (pendengaran) dan qiyasi (analog)." Sudah tentu sima'i pegangannya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada pernalaran. Baik berita pendengaran maupun pernalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.
Hal yang terkait dalam perbedaan pandangan Makki dan Madani tersebut dapat dilihat dari tanda-tanda yang ada pada Makki dan Madani. Tanda-tanda surat Makki adalah; [23]
1.      Dimulai dengan nida' (panggilan): "ya ayyuhaa an-nas" dan sebangsanya. Dalam al-Qur'an bentuk nida' tersebut ada 292 ayat atau 4,68%.
2.      Di dalamnya terdapat lafadz "kalld" Lafadz tersebut terdapat dalam al-Qur'an sebanyak 33 kali dalam 25 surat di bagian akhir Mushaf Utsmani.
3.      Di dalamnya terdapat ayat-ayat sqjdah (disunnahkan bersujud tilawah jika membacanya), di dalam al-Qur'an ada 15 ayat sajdah.
4.      Di dalamnya terdapat cerita-cerita para Nabi dan umat-umat terdahulu, selain surat al-Baqarah dan al-Maidah. Contohnya antara lain seperti surat Yunus, Yusuf, Hud, Ibrahim, al-Kahfi, Maryam, Thaha dan sebagainya.
5.      Di dalamnya berisi cerita-cerita terhadap kemusyrikan dan penyembahan-penyembahan terhadap selain Allah.
6.      Di dalamnya berisi keterangan-keterangan adat kebiasaan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik yang suka mencuri, merampok, membunuh, mengubur hidup-hidup anak perempuan dan sebagainya.
7.      Di dalamnya berisi penjelasan dengan bukti-bukti dan argumentasi dari alam ciptaan Allah yang daoat menyadarkan orang-orang kafir untuk berian kepada Allah dan percaya kepada Rasul dan kitab-kitab suci, hari kiamat dan sebagainya.
8.      Berisi ajaran prinsip-prinsip akhlak yang mulia dan pranata sosial yang tinggi, yang dijelaskan dengan sangat mengagumkan sehingga menyebabkan orang benci kepada kekafiran, kemusyrikan, kefasikan, kekasaran dan sebagainya. Dan sebaliknya, menarik orang untuk beriman, taat, setia, kasih sayang, ihlas, hormat, rendah diri, dan sebagainya.
9.      Berisi nasehat-nasehat petunjuk dan ibarat-ibarat dari balik cerita yang dapat menyadarkan bahwa kekafiran, kedurhakaan dan pembangkangan umat itu hanya mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan saja.
10.  Berisi ayat-ayat nida' (panggilan) yang ditujukan kepada penduduk Makah atau orang-orang kafir, musyrik dan sebagainya dengan ungkapan: "yaa ayyuha an-nas" atau "ya ayyuha al-kajirun" atau "ya bani Adama".
  1. Kebanyakan surat atau ayat-ayatnya pendek, kerena menggunakan bentuk ijaz (singkat padat). Bentuk tersebut ditujukan kepada orang-orang Quraisy Makah yang pada umumnya adalah pakar Bahasa Arab.
Adapun yang dijadikan patokan tanda-tanda surat Makki adalah; [24]
1.      Bila di dalamnya berisi hukum-hukum hudud/pidana, seperti tindak pidana pencurian, perampokan, pembunuhan, penyerangan, perzinaan, kemurtadan dan tuduhan zina. Seperti terdapat dalam surat al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah, asy-Syura dan sebagainya.
2.      Di dalamnya berisi hukum-hukum faraidl (waris-mewaris), baik warisan bag dzawy al-furudl, dzawy al-arham atau dzawy al-'ashabah. Contohnya terdapat dalam surat al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah.
3.      Berisi izin jihad fi sabilillah dan hukum-hukumnya, seperti surat al-Baqarah, al-Anfal, at-Taubah dan al-Haj.
4.      Berisi keterangan mengenai orang-orang munafiq dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatannya kecuali surat al-Ankabut. Contohnya seperti dalam surat an-Nisa', al-Anfal, at-Taubah, al-Ahzab, al-Fath, al-Hadid, al-Munafiqun dan al-Tahrim.
5.      Berisi hukum ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Contohnya seperti surat an-Nisa', al-Anfal, at-Taubah, al-Ahzab, al-Fath, al-Hadid, al-Munafiqun, dan al-Tahrim.
6.      Berisi hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, sewa menyewa, gadai, utang piutang dan sebagainya. Contohnya seperti surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa', al-Maidah dan lain-lain.
7.      Berisi hukum-hukum munakahat (seputar pernikahan), baik mengenai nikah,  talak,  ataupun  mengenai hadlanah  (pemeliharaan  anak).
  1. Contohnya seperti surat al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah, an-Nur, al-Mumtahanah, ath-Thalaq dan sebagainya.
9.      Berisi hukum-hukum kemasyarakatan, kenegaraan seperti soal pemusyawaratan, kedisiplinan, kepemimpinan, pendidikan, pergaulan dan sebagainya. Contohnya seperti surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, al-Hujurat dan sebagainya.
10.  Berisi dakwah (seruan) kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta penjelasan akidah-akidah mereka yang menyimpang. Contohnya seperti surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Fath, al-Hujurat dan sebagainya.
11.  Berisi ayat-ayat nida' (panggilan) yang ditujukan kepada penduduk Madinah yang Islam dan khitab-nya; "ya ayyuha al-ladzina amanu" yang di dalam al-Qur'an terdapat 219 ayat atau 3,51%.
12.  Kebanyakan surat atau ayatnya panjang-panjang sebab ditujukan kepada penduduk Madinah yang orang-orangnya banyak yang kurang terpelajar, sehingga perlu dengan ungkapan yang luas agar jelas.
Perbedaan-perbedaan pendapat para ulama itu dikarenakan adanya sebagian surat yang seluruh ayat-ayatnya Makiyah atau Madaniyah, dan sebagian surat lain yang tergolong Makiyah atau Madaniyah, tetapi di dalamnya berisi sedikit ayat yang lain statusnya. Karena itu, dari segi Makiyah dan Madaniyah ini, maka surat-surat al-Qur'an itu tebagi menjadi empat macam;
1.    Surat Makiyah murni
Yaitu surat Makiyah yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus Makiyah semua, tidak ada satupun yang Madaniyah. Surat-surat yang berstatus Makiyah murni ini seluruhnya ada 58 surat, yang berisi 2.074 ayat. Contohnya surat al-Fatihah, Yunus, ar-Ra'du, al-Anbiya',al-Mukminun, an-Naml, Shad, Fathir dan surat-surat pendek dalam juz 30 (kecuali surat an-Nashr).
2.    Surat Madaniyah murni
Yaitu surat Madaniyah yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus Madaniyah semua, tidak ada satupun yang Makiyah. Surat-surat yang berstatus Madaniyah murni ini seluruhnya ada 18 surat, yang berisi 737 ayat. Contohnya surat Ali Imran, an-Nisa', an-Nur, al-Ahzab, al-Hujarat, al-Mumtahanah, al-Zalzalah dan sebagainya.
3.    Surat Makiyah yang berisi ayat Madaniyah.
Yaitu surat-surat yang kebanyakan ayat-ayatnya Makiyah, sehingga berstatus Makiyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyah. Surat yang demikian ini dalam al-Qur'an ada 32 surat, yang terdiri dari 2699 ayat. Contohnya antara lain surat al-An'am, al-A'raf, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Furqan, az-Zumar, asy-Syura, al-Waqi'ah dan sebagainya.[25]
4.    Surat Madaniyah yang berisi ayat Makiyah
Yaitu surat-surat yang kebanyakan ayat-ayatnya Madaniyah, sehingga berstatus Madaniyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Makiyah. Surat yang demikian ini dalam al-Qur'an ada 6 surat, yang terdiri dari 726 ayat. Contohnya antara lain surat al-Baqarah, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, al-Haj dan Surat Muhammad atau surat al-Qital.[26]
Selain itu, adapula penambahan jenis Makiyah dan Madaniyah oleh Manna' Al-Qatthan dalam Mabahits fi Ulum al-Qur'an. Selain empat hal yang telah disebut di atas, Al-Qatthan menambahkan jenis Makki dan Madani sebagai berikut;[27]
1.        Ayat yang diturunkan di Makah sedang hukumya Madani. Mereka memberi contoh dengan firman Allah yang artinya; "Wahai manusia, Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal." (al-Hujurat: 13). Ayat ini diturunkan di Makah pada hari penaklukan kota Makah, tetapi sebenarnya Madaniyah, karena diturunkan sesudah hijrah, di samping itu seruannya pun bersifat umum. Ayat seperti ini oleh para ulama tidak dinamakan Makki dan tidak pula dinamakan Madani secara pasti. Tetapi, mereka katakan; "Ayat yang diturukan di Mekah sedangkan hukumnya Madani".
2.        Ayat yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makki. Mereka memberi contoh dengan surah al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi tempat turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk Makah. Juga seperti permulaan surah al-Bara'ah yang diturunkan di Madinah, tetapi seruannya ditujukan kepada orang-orang musyrik penduduk Makah.
3.        Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Makah (Makki) dalam Madani. Yang dimaksud para ulama ialah ayat-ayat yang dalam surat Madaniyah, tetapi mempunyai gaya bahasa dan ciri-ciri umum surah Makiyah. Contohnya, firman Allah dalam surah al-Anfal yang Madaniyah, yang artinya; "Dan ingatlah ketika mereka—golongan musyrik berkata; "Ya Allah, jika benar (al-Quran) ini dari Engkau, hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih." (al-Anfal: 32). Ini mengingat permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan azab itu adalah di Makah.
4.        Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah (Madani) dalam Makki. Yang dimaksud oleh para ulama adalah kebalikan dari yang sebelumnya. Mereka memberi contoh dengan firman Allah dalam surah an-Najm yang artinya; "(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji dari yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil." (an-Najm: 32). As-Suyuti mengatakan; "Perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sangsinya. Dosa-dosa besar ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan, kesalahan-kesalahan kecil ialah apa yang terdapat di antara kedua batas dosa-dosa di atas. Sedang di Makah belum ada sangsi dan yang serupa dengannya.
5.        Ayat yang dibawa dari Makah ke Madinah. Contohnya adalah surat al-A'la. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Al-Barra' bin 'Azib yang mengatakan; "Orang yang pertama kali datang kepada kami dari para sahabat nabi adalah Mushab bin Umair dan Ummi Maktum. Keduanya membacakan al-Quran kepada kami. Sesudah itu datangalah Amar, Bilal dan Sa'ad. Kemudian, datang pula Umar bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Madinah bergembira setelah aku membacakan; "Sabbih a/-ism rabbiy al-a'la" di antara surah yang semisal dengannya." Pengertian ini cocok dengan al-Quran yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum anshar.
6.        Yang dibawa dari Madinah ke Makah. Contohnya adalah awal surah al-Bara'ah, yaitu ketika Rasulullah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun ke sembilan. Ketika awal surah al-Bara'ah turun, Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakar membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan berhaji.
7.        Ayat yang turun pada malam hari dan siang hari. Kebanyakan ayat al-Qur'an itu turun pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari, Abul Qasim Al-Hasan bin Muhamman bin Habib An-Naisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa contoh, di antaranya, "bagian-bagian akhir dari surah Ali Imran. Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya mengatakan; "Ibnul Munzir, ibnu Mardawaiah, dan Ibnu Abud Dunya, meriwayatkan dari Aisyah r.a.; Bilal datang kepada Nabi untuk memberitahukan waktu salat subuh, tetapi ia melihat nabi sedang menangis. Ia bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang menyebabkan Engkau menangis? Nabi menjawab, "Bagaimana saya tidak menangis, padahal tadi malam diturunkan kepadaku; 'Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal'." (Ali Imran: 190), kemudian katanya; "Celakalah orang yang membacanya, tetapi tidak memikirkannya. Contoh lain adalah mengenai tiga orang yang tidak ikut berperang. Terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, hadits Ka'ab; "Allah menerima tobat kami pada sepertiga malam yang terakhir. Contoh lain adalah awal surah al-Fath. Terdapat dalam Shahih Bukhari dari hadis Umar; "Telah diturunkan kepadaku pada malam ini sebuah surat yang lebih aku sukai daripada apa yang disinari matahari." Kemudian beliau membacakan; "Sesunguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata".
8.        Yang turun di musim panas dan musim dingin. Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat dalam akhir surat an-Nisa'. Dalam Shahih Muslim dari Umar dikemukakan; "Tidak ada yang sering kutanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu seperti pertanyaanku mengenai kalalah. Ia pun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu urusan seperti sikapnya kepadaku mengenai soal kalalah ini. Sampai-sampai ia menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata; "Umar, belum cukupkah bagimu satu ayat yang diturunkan pada musim panas yang terdapat di akhir surah an-Nisa'. Contoh lain ialah ayat-ayat yang turun dalam Perang Tabuk. Perang Tabuk itu terjadi pada musim panas yang berat sekali, seperti dinyatakan dalam al-Quran. Sedang untuk yang turun di musim dingin, mereka contohkan dengan ayat-ayat mengeni "tuduhan bohong" yang terdapat dalam surah an-Nur; "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga ..." sampai dengan "Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia." (an-Nur: 11—26). Dalam hadis sahih dari A'isyah disebutkan; "Ayat-ayat itu turun pada hari yang dingin." Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun mengenai Perang Khandaq, dari surah al-Ahzab. Ayat-ayat itu turun pada hari yang amat dingin. Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah, dari Huzaifah yang mengatakan; "Orang-orang meninggalkan Rasulullah pada malam peristiwa Ahzab, kecuali dua belas orang lelaki. Lalu, Rasulullah datang kepadaku dan berkata; "Bangkit dan berangkatlah ke medan perang Ahzab!" Aku menjawab; "Ya Rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku mematuhi engkau karena malu sebab hari dingin sekali.' Lalu, turun wahyu Allah; "Wahai orang-orang beriman ingatlah akan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara, lalu kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapatkamu lihat. Dan Allah Maha Melihat segala yang kamu kerjakan." (al-Ahzab: 9).
9.        Yang turun pada waktu menetap dan yang turun di dalam perjalanan. Kebanyakan dari al-Quran itu turun pada waktu menetap. Tetapi, perikehidupan Rasulullah penuh dengan jihad dan peperangan di jalan Allah, sehingga wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut. Al-Suyuthi menyebutkan banyak contoh ayat yang turun dalam perjalanan, di antaranya ialah awal surah al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sa'ad bin Abi Waqqas, dan ayat; "Dan, orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah." (at-Taubah: 34). Diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah satu perjalanan. Juga awal surah al-Hajj. Imam Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan melalui Imran bin Husein yang mengatakan; "Ketika turun kepada Nabi ayat; 'Hai manusia bertakwalah kepada Rabbmu, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah sesuatu kejadian yang sangat besar ...' sampai dengan firman-Nya,'... tetapi azab Allah itu sangat kerasnya'." (al-Hajj: 1-2). Ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu dalam perjalanan. Begitu juga surah al-Fath. Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, melalui Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata; "Surah al-Fath, dari awal sampai akhir, turun di antara Makah dan Madinah mengenai soal Hudaibiyah".[28]
Penentuan ayat atau surat Makki dan Madani tersebut tetap bersandar pada sebuah prinsip yang sudah pasti. Diantara dasar-dasar penentuan Makiyah dan Madaniyah adalah;
1.   Dasar aghlabiyah (mayoritas)
Yang dimaksudkan dengan dasar mayoritas adalah kalau sesuatu surat itu mayoritas atau kebanyakan ayat-ayatnya adalah Makiyah, maka disebut sebagai surat Makiyah. Sebaliknya, jika yang terbanyak ayat-ayatnya adalah Madaniyah, atau diturunkan setelah nabi hijrah ke Madinah, maka surat tersebut dinamakan Madaniyah.
2.   Dasar tabi'iyyah (kontinuitas)
Yang dimaksudkan dengan dasar kontinuitas yaitu kalau permulaan sesuatu surat itu didahului dengan ayat yang turun di Makah atau turun sebelum hijrah, maka surat tersebut dinamakan Makiyah. Begitu pula sebaliknya jika ayat-ayat pertama dari suaru surat itu diturunkan di Madinah atau yang berisi hukum-hukum syari'at, maka surat tersebut dinamakan sebagai surat Madaniyah.[29]
D.      Manfaat  Mempelajari Makki dan Madani
Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah Makki dan Madani. Mereka meneliti al-Qur'an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuai denagn nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat, dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat, dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan kepada peneliti objektif, gambaran penyelidikan tentang ilmu Makki dan Madani. Dan, itu pula sikap ulama kita dalam melakukan pembahasan-pembahasan terhadap aspek kajian al-Qur'an lainnya. Memang suatu usaha besar bila seorang peneliti menyelidiki turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mempelajari ayat-ayat al-Qur'an sehingga dapat menentukan waktu serta tempat turunnya dan dengan bantuan tema surat atau ayat, merumuskan kaidah-kaidah analogis untuk menentukan apakah sebuah seruan itu termasuk Makki dan Madani ataukah ia merupakan tema-tema yang menjadi titik tolak dakwah di Makah atau di Madinah. Apabila suatu masalah masih kurang jelas bagi seorang peneliti karena terlalu banyak alasan yang berbeda-beda, maka ia mengumpulkan, memperbandingkan, mengklasifikasikaannya mana yang serupa dengan yang turun di Makah dan mana pula yan serupa dengan yang turun di Madinah."[30]
Ini menandakan bahwa urgensi memahami al-Qur'an secara komprehensif akan menjadikan wawasan terhadap isi kandungan al-Qur'an secara utuh. Dengan demikian al-Qur'an yang dikumpulkan melalui proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf tidak akan sia-sia yang selanjutnya disebut jam' al-Qur'an.[31] Termasuk juga dalam rangka mengetahui letak ayat atau surat yang Makki ataupun Madani.
Pendefinisian ayat tersebut didasarkan pada analisa yang tersistem tentang teori makki dan madani yang telah disebut di atas. Apabila ayat-ayat itu turun di suatu tempat, kemudian oleh salah seorang sahabat dibawa segera setelah diturunkan untuk disampaikan di tempat lain, para ulama pun akan menetapkan seperti itu. Mereka berkata; "Ayat yangdibawa dari Makah ke Madinah, dan ayat yang dibawa dari Madinah ke Makah". Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisabury menyebutkan dalam kitabnya, At-Tanbih 'laa Fadhli Uluum al-Quran; "Di antara ilmu-ilmu al-Qur'an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul qur'an dan daerahnya, urutan turunnya di Makah dan Madinah, tentang yang diturunkan di Makah tapi hukumnya Madani dan sebaliknya, yang diturunkan di Makah mengenai penduduk Madinah dan sebaliknya, yang serupa dengan yang diturunkan di Makah (Makki) tetapi termasuk Madani dan sebagainya. Dan tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Makdis, di Taif, atau di Hudaibiyah. Demikian pula yang diturunkan secara bersama-sama atau yang diturunkan secara tersendiri, ayat-ayat Madani dari surah-surah Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surat-surat Madaniyah, yang dibawa dari Makah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Makah, yang dibawa dari Makah ke Asibinia, yang diturunkan dalam bentuk global dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian lag mengatakan Makki. Itu semua ada dua puluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tidak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berbicara tentang al-Qur'an."[32]
Para ulama sangat memperhatikan al-Qur'an dengan cermat. Mereka menertibkan surat-surat sesuai dengan tempat turunnya. Mereka mengatakan, misalnya; "Surat ini diturunkan setelah surat itu." Dan, bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan pada malam hari dengan yang diturunkan di siang hari, antara yang diturunkan di musim panas dengan yang diturunkan di musim dingin, dan antara waktu yang diturunkan sedang berada di rumah dengan yang diturunkan saat bepergian." [33]
Inilah persolan pokok di sekitar Makki dan Madani. Oleh sebab itu, kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabiin, dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat tempat turunnya al-Qur'an, ayat demi ayat, baik dalam hal waktu maupun tempatnya. Penelitian ini merupakan pilar kuat yang menjadi landasan bagi parapeneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah.
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan akidah, perundang-undangan, dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan fondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Dan asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga baru digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannya ditentukan. Sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.
Tentunya kita akan melihat bahwa ayat-ayat makiyah (Makki) mengandung karakteristik yang berbeda sebagaimana dijumpai dalam ayat-ayat Madaniyah (Madani), baik dalam tataran isi maupun strukturnys, sekalipun yang kedua ini di dasarkan pada yang pertama dalam hukum-hukum dan perundang-undangannya. Tetapi kesemuanya tetap mempertimbangkan aspek makani, amani dan khitabi-nya.[34]
Pada zaman jahiliah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir, dan mereka mengatakan; "Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang-belulang, benarkah Kami akan dibangkitkan kembali?" (ash-Shaffat: 16). Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu." (al-Jatsiyah: 24). Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makki (yang diturunkan di Makah) juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala­nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat kuat dan tegas.
Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian, tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga, dan neraka yang terdapat di dalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan retorika tinggi ditantang agar membuat seperti apa yang ada di dalam al-Qur'an, dengan menggunakan kisah-kisah para pendusta terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal. Semua ini menjadi ciri-ciri al-Qur'an surat-surat makiyah.[35]
Setelah terbentuk jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan rasul-Nya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta akidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenagan hidup duniawi.
Maka, di saat itu penulis melihat ayat-ayat Madaniyah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, internasional, dan antarbangsa. Juga, menyingkap aib dan isi hati orang munafik, berdialog dengan ahli kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum al-Qur'an Madaniyah.
Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak membawa hikmah dan faedah serta kegunaan sebagai berikut.;
1.        Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur'an. Sebab, pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila di antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu (mansukh).
2.        Mengetahui dan mengerti sejarah pensyari'atan hukum-hukum Islam (tarikh al-tasjri') yang amat bijaksana dalam menerapkan peraturan-peraturan, disamping juga mengetahui hikmah didisyari'atkannya suatu hukum (hikmah al-tasyri). Sebab dengan makki dan madani akan dapat diketahui tarikh al-tasyri' yang dalam mensyari'atkan hukum Islam itu secara bertahap, sehingga dapat pula diketahui mengapa suatu hukum disyari'atkan. Dan dengan hikmah al-tasyri'-nya itu akan dapat menambah keimanan seseorang terhadap pewahyuan al-Qur'an, karena melihat kebijaksanaannya dalam menetapkan hukum-hukum ajarannya secara bertahap, sehingga mudah dimengerti, dihayati, dan diamalkan.
3.        Meresapi gaya bahasa al-Qur'an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju Allah. Sebab, setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan Madani dalam al-Qur'an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya, serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan, dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara al-Qur'an menyeru berbagai golongan; orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik, dan ahli kitab, sebagimana terdapat dalam tanda-tanda surat/ayat makiyah dan madaniyah.[36]

E.       Kesimpulan

1.    Teori pendekatan dalam menentukan surat atau ayat al-Qur'an dapat dikategorikan Makkiyah dan Madaniyah adalah teori geografis yang berorientasi pada tempat turunnya surat atau ayat al-Qur'an, teori subyektif yaitu teori yang berorientasi pada subyek siapa yang di-khitabi/dipanggil dalam ayat, teori historis yaitu teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya al-Qur'an, teori content analisis yaitu suatu teori yang mendasarkan kriterianya dalam membedakan Makiyah dan Madaniyah-nya kepada isi daripada ayat/surat yang bersangkutan.
2.    Pemetaan ulama' dalam membedakan surat atau ayat al-qur’an  Makkiyah dan Madaniyah adalah dari segi turunnya, dari segi tempat turunnya, dari segi sasarannya.  Karena ada surat yang ayatnya turun di madinah dan makkah maka ulama memetakan ada surat makiyah murni, Surat Madaniyah murni, surat makiyah yang berisi ayat madaniyah, Surat Madaniyah yang berisi ayat Makiyah
3.    Manfaat  mempelajari makkiyah dan madaniyah adalah dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur'an, mengetahui dan mengerti sejarah pensyari'atan hukum-hukum Islam, meresapi gaya bahasa al-Qur'an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju Allah.


DAFTAR PUSTAKA

al-Qatthan, Manna', Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Riyadl, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tth
As-Suyuthi, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Bairut: Dar al-Kutb al-'Ilmiyah, 2000
Azra, Azyumardi (ed), Sejarah dan Ulum al-Qur'an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999
Djalal, Abdul Ulumul Quran, Surabaya, Dunia Ilmu, 2000
Jamil, Muhammad Ibnu Zainu, Pemahaman Al Qur'an, terj. Mashuri Ikhwany, (Bandung, Gema Risalah Press, Cetakan Pertama, 1997.-31.
Muhammad, Syeikh, Studi al-Qur'an al-Karim; Menelusuri Sejarah Turunnya al-Qur'an, terj. Taufiq Rahman, Bandung, Pustaka Setia, 2002.
Muhammad, Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur'an: Ilmu-llmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2002.
Sukardi KD. Belajar Mudah 'Ulumul Al-Qur'an; Studi Khasanah Ilmu al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002.
Yusuf,  Syamsuri Mengenal Klasifikasi Makiyah dan Madaniyah", dalam Sukardi KD. (ed), Belajar Mudah Ulumul Al-Qur'an:; Studi Khazanah Ilmu Al-Qur'an, Jakarta, Lentera Basritama, 2002



[1] As-Suyuthi, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, (Bairut: Dar al-Kutb al-'Ilmiyah, 2000),19.
[2] Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya, Dunia Ilmu, 2000), 19
[3] Syamsuri Yusuf, 'Mengenal Klasifikasi Makiyah dan Madaniyah", dalam Sukardi KD. (ed), Belajar Mudah 'Ulumul Al-Qur'an; Studi Khasanah Ilmu al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), 135.
[4] Abdul Djalal, Ulumul Quran, 78-79.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur'an: Ilmu-llmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2002),  62.
[6] Abdul Djalal, Ulumul Quran, 88.
[7] Muhammad Ibnu Jamil Zainu, Pemahaman Al Qur'an, terj. Mashuri Ikhwany, (Bandung, Gema Risalah Press, Cetakan Pertama, 1997), l. 29-31.
[8] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Riyadl, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tth), 61.
[9] Ibid, 62.
[10] Abdul Djalal, Ulumul Quran,. 397.
[11] Ibid, 397.
[12] Ibid, 393-396.
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur'an: Ilmu-llmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an, 84.
[14] Ibid, 85-86.
[15] Ibid, 121.
[16] Ibid, 121.
[17] Syeikh Muhammad, Studi al-Qur'an al-Karim; Menelusuri Sejarah Turunnya al-Qur'an, terj. Taufiq Rahman, (Bandung, Pustaka Setia, 2002), 203-204.
[18] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, 61.
[19] Ibid, 62.
[20] Ibid, 60.
[21] Ibid, 61.
[22] Al-Zarkasyi, 246.
[23] Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur'an: Ilmu-llmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an,. 80-81.
[24] Ibid., 81-84.
[25] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, 54.
[26] Abdul Djalal, Ulumul Quran,. 99-100.
[27] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, 54.
[28] Ibid, 56-59.
[29] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, 100-101.
[30] Manna' Al-Qatthan, op. cit., hlm. 53.
[31] Azyumardi Azra (ed), Sejarah dan Ulum al-Qur'an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999), 25.
[32] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an,  53.
[33] Ibid, hlm. 54.
[34] Sukardi KD. Belajar Mudah Ulumul Al-Qur'an: Studi Khazanah Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta, Lentera Basritama, 2002), 139.
[35] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, 59-60.
[36] Manna' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, 59-60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar