Minggu, 15 Maret 2020

SAKRALITAS SIMBOL KYAI BAGI ORANG JAWA

SAKRALITAS SIMBOL KYAI BAGI ORANG JAWA
Oleh:
Masruchin, S.Ag
(Penulis adalah Wakil Ketua Tanfidziyah Ranting NU Juwet)

Dalam kajian antropologi dalam suatu masyarakat memiliki simbol-simbol yang tidak dapat dimaknai secara literal semua orang. Salah satunya, simbol pada benda, hewan, bahkan manusia itu sendiri dengan nomenklatur “kiai”. Sebagai identitas kebudayaan masyarakat Nusantara, pemilihan diksi ini bukan impor dan tanpa alasan, melainkan lahir dari luhur dan enigmatisnya kebudayaan masyarakat Jawa dan umumnya Nusantara.
Pemaknaan simbol-simbol di negara kita selama ini ahistoris bahkan penuh falsifikasi dan monopolis dengan mengutuk-ngutuk peradaban Jawa dan Nusantara. Padahal, semua bangsa memiliki simbol, baik itu Yunani, China, Arab, dan juga Nusantara. Lalu, mereka berkiblat pada bangsa mana?
Untuk itu, memaknai simbol tidak bisa sekadar asumsi dan pemotongan makna untuk kepentingan tertentu. Lebih haram lagi, memaknai simbolitas itu untuk membuat masyarakat inferior, dan lupa akan sejarah leluhur yang adiluhung, baik itu peninggalan nenek moyang kita atau Walisongo.
Seperti contoh pemaknaan simbol pedang pada masyarakat Arab, yang oleh sebagian orang dimaknai sebagai Islam disebarkan dan diajarkan dengan kekerasan. Padahal, makna aslinya, pedang adalah simbol keadilan. Juga pemaknaan simbol pada ubo rampesesaji, yang aslinya bermakna simbol kesejahteraan petani dan nelayan, karena banyak berisi jajan pasar, makanan khas daerah, dan lainnya. Fenomena seperti inilah yang harus diluruskan sebelum Indonesia makin jatuh ke lembah kebodohan.
Simbolisme dalam Kehidupan
Manusia tak bisa hidup tanpa simbol. Dalam iklan ada simbol, dalam agama, politik, ekonomi juga penuh simbol, dunia pendidikan juga diwarnai simbol, di jagat maya semua penuh simbol. Tanpa simbol, kita pasti tidak dapat dan menjadi apa-apa, karena simbol itu sendiri sangat penting, mulai dari urusan kasur, dapur, sumur, sedulur, semua butuh simbol.
Bahkan, saking pedulinya pada dakwah, masyarakat Islam sejak dulu menulis inskripsi bertuliskan Arab, Jawa Kuno, Arab Pegon, Abugida (Aksara Jawa) di nisan-nisan para wali atau kuburan leluhur. Semua inskripsi adalah simbol dakwah, dan menjadi dakwah dengan media tulisan. Maka orang yang mengingkari simbolisme, hakikatnya mereka berpura-pura menjadi manusia.
Semua bangsa memiliki peradaban simbol, baik termanifestasi ke dalam seni rupa, seni lukis, seni pahat, dan lainnya, dari yang primitif sampai modern di era Revolusi Indutri 4.0 dan Society 5.0 ini. Jauh sebelum para filsuf dan ilmuwan modern mengembangkan teori simbol, Ernst Cassirer (1874–1945) pernah menyebut bahwa manusia merupakan animal symbolicum, atau hewan yang menyukai simbol, hewan yang menggunakan simbol untuk berkomunikasi dan melambangkan sesuatu.
Begitu pula dengan teori simbol yang dikembangkan Geertz, Turner, Edward Tylor dan lainnya yang mengkaji simbol sebagai suatu kekayaan manusia yang sangat mahal. Namun, apakah semua orang memahami hal ini? Atau justru terjebak pada simbol-simbol yang destruktif dan mengutuk bahkan mengafirkan simbol itu?
Pendapat ini tentu sangat logis, karena sebelum bahasa berkembang seperti saat ini, Allah pertama kali berkomunikasi dengan Nabi Adam pun menggunakan simbol-simbol. Seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 31 yang artinya: “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada malaikat seraya berfirman. Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar.”
Simbol-simbol yang langsung diajarkan Allah kepada Nabi Adam ini sangat enigmatis dan logis bahwa manusialah makhluk Allah yang paling sempurna. Sebab, Nabi Adam dapat ilmu, pengetahuan, melalui simbol-simbol, nama-nama benda yang secara langsung diajarkan Allah kepada Nabi Adam sebagai bapak kehidupan.
Tak hanya itu, Allah dalam memberi petunjuk pada manusia juga menggunakan simbol. Buktinya, ada ayat qauliyah berupa Alquran segelondong, dan ada ayat kauniyah berupa semua fenomena alam. Maka, sudah menjadi kewajiban manusia untuk menjaga keseimbangan hablumminallah (relasi dengan Allah), hablumminannas (relasi dengan manusia), dan hablumminallah(relasi dengan alam). Jika kita tidak dapat mengomparasikan dua simbolisme dan tiga relasi itu, maka pasti kita akan tersesat dan tidak menjadi manusia seutuhnya. Begitu pentingnya belajar dan menelaah simbol sebagai tiket dan jimat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam Bahasa Inggris, symboldiartikan lambang sesuatu, dalam Yunani, sym-ballein artinya melemparkan bersama suatu benda/perbuatan yang dikaitkan dengan suatu ide. Simbol juga berasal dari kata symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan tentang sesuatu pada seorang. Pada intinya, simbol menjadi kearifan lokal bahkan kearifan global yang harus dilestarikan, karena Allah sendiri, dan bangsa Arab, Yunani, China, sejak dulu sudah menggunakan simbol dalam kehidupan.
Pertama, kiai yang menyimbolkan benda, bisa berupa senjata atau pusaka, bisa keris atau tombak. Dari data yang saya temukan, ada ratusan kiai yang berangkat dari senjata atau pusaka bertuah dan sakral. Seperti Kiai Sengkelat, keris pusaka luk tiga belas yang diciptakan pada zaman Majapahit (1466-1478 M), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri.
Lalu Kiai Condong Campur, keris pusaka milik Kerajaan Majapahit yang banyak disebut dalam legenda dan folklor, Kiai Kala Munyeng, yaitu keris pusaka milik Sunan Giri, Kiai Bondoyudo, yaitu keris yang dikuburkan bersama jasad Pangeran Diponegoro, Kiai Setan Kober yaitu nama keris milik Adipati Jipang, Arya Penangsang, Kiai Bisma yaitu keris milik Pemkab Blora.
Ada juga Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, pusaka peninggalan Raja Majapahit, Kiai Carubuk, yaitu keris milik Sunan Kalijaga, Kiai Pleret, yaitu tombak yang menjadi pusaka Keraton Yogyakarta peninggalan Kerajaan Mataram Islam, Kiai Baru Klinting, pusaka andalan milik Ki Ageng Mangir Wonoboyo keturunan ke lima Prabu Brawijaya Pamungkas, Kiai Penjawi, pusaka milik Ki Panjawi atau Ki Ageng Penjawi, keturunan ke 5 dari Bhre Kertabhumi melalui garis ayahnya Ki Ageng Ngerang III yang juga pendiri Kabupaten Pati, dan lainnya.
Kedua, kiai yang berangkat dari hewan, seperti Kiai Slamet, kerbau bule pepunden keramat dan hewan paling sakral di keraton Solo, Kiai Gagak Rimang, yaitu kuda misterius yang menjadi tunggangan Arya Penangsang, dan lainnya.
Ketiga, kiai yang berangkat dari nama gamelan, seperti Kiai Kanjeng yang dinahkodai Nevi Budianto bersama Cak Nun, lalu gamelan Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari yang sering saat perayaan Sekaten atau peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Gamelan ini merupakan kreasi Sultan Agung yang tercatat dibuat pada tahun 1566 saka atau 1643 M.
Gamelan Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogowilogo juga ditabuh saat Sekaten di Keraton Yogyakarta. Untuk menabuhnya, tidak sembarang orang diizinkan karena hanya orang-orang pilihan. Selain dua kiai ini, gamelan di keraton Jogjakarta juga melimpah. Tercatat, ada Kanjeng Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, dan lainnya.
Keempat, kiai yang disimbolkan sebagai orang alim atau alim ulama. Sebelum Walisongo datang ke Nusantara, orang Jawa memang memiliki tradisi sendiri dengan menyimbolkan kiai sebagai benda-benda, hewan, gamelang, atau batu akik yang memiliki tuah. Setelah Walisongo datang dan Islam berkembang pesat, kiai tidak hanya melekat pada benda dan hewan saja, namun juga manusia yang alim, sakral, sakti, dan memiliki ketangguhan luar biasa dalam ilmu agama Islam dan ilmu dunia.
KBBI V (2019) versi daring, menyebut kiai dengan makna beragam. Mulai dari alim ulama, sapaan guru ilmu gaib, kepala distrik di Kalimantan Selatan, sapaan benda bertuah (senjata, gamelan, tombak), dan kata samaran untuk harimau jika melewati hutan. Dari perspektif apa saja, kiai tetaplah sakral. Namun saat ini, muncul simbol-simbol baru yang diserap dan diimpor dari bahasa asing.
Misalkan saja kiai yang melekat pada alim ulama, mereka harus belajar di pesantren bertahun-tahun, menghafal Alquran, puasa ndalail, menghafal Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Imriti, Alfiyah, dan lainnya. Untuk menjadi kiai, harus memiliki nasab keilmuwan dan nasab keturunan yang benar-benar baik dan alim. Jika sudah lolos, baru pantas disebut kiai. Saat ini simbol kiai tampaknya susah dicari dan langka. Adanya, justru simbol baru berupa ustaz, habib, dai, penceramah, pembicara, yang ilmunya pas-pasan, bahkan tidak jelas nasab keilmuwan dan keturunannya.
Dari simbol kiai yang lahir asli dari pribumi Nusantara ini, tampaknya belum ada yang menandinginya, terutama kiai yang melekat pada alim ulama. Kita bisa lihat, banyak kiai “abal-abal” lahir tiap minggu. Mereka tanpa melalui pendadaran diri di pesantren dengan gagah mengaku ustaz, kiai, penceramah, pembicara yang justru paradoks karena hobi mengutuk khazanah budaya Nusantara.
Artinya, secara antropologis, religius, tingkat keilmiahan simbol kiai produk Nusantara lebih bermutu daripada simbol-simbol impor dari luar negeri. Maka dari itu, sudah saatnya simbol-simbol kiai ini diglobalkan, ditelaah, diteliti, dan dibumikan karena sudah memenuhi syarat ilmiah, kebudayaan, dan syarat religius. Sebab, Allah sendiri memberi ayat qauliyah dan kauniyah yang salah satunya adalah kiai-kiai yang sakral sebagai simbol masyarakat Jawa menelaah ayat-ayat Allah tersebut.
Tanpa simbol kiai berupa senjata, hewan, dan gamelan, Indonesia tentu kering akan kebudayaan dan nilai-nilai filosofis. Tanpa kiai yang alim, Indonesia tentu akan disorientasi karena jelas-jelas alim ulama adalah pewaris nabi. Jika kiai sebagai pewaris nabi tergantikan dengan simbol-simbol yang belum jelas ilmu, kebudayaan, dan religiusitasnya, maka rusaklah Indonesia. Sebab, Indonesia itu unik, menarik, mistis, namun tetap berpijak pada agama tanpa meninggalkan budaya.
Untuk menjadi kiai, perlu belajar Alquran yang lama, menghafal ratusan bahkan ribuan hadis, bukan dadakan, praktis, instan, pragmatis, dan dilombakan. Pertanyaannya, lebih unggul dan bermutu mana simbol kiai produk Nusantara dari bangsa lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar