Kamis, 05 September 2019

Studi Kritis Amalan Bulan Suro/Muharram


STUDI KRITIS AMALAN BULAN SURO/MUHARRAM
Oleh:
Masruchin, S.Ag
(Penulis adalah Wakil Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Juwet)


1.    Ibadah Akhir Tahun
Pada momentum pergantian tahun dianjurkan melakukan beberapa macam ibadah, antara lain: berpuasa pada hari akhir bulan Dzulhijjah, melaksanakan shalat Sunnah dan membaca do'a akhir tahun.
"Walaupun amalan ibadah tersebut memang baik dilakukan, termasuk doa akhir tahun. Namun, kita harus hati-hati dalam menyikapi secara mendalam isi doa. Hanya sebatas do'a , tidak menghapus semua dosa manusia dihadapan Allah. Sebab syarat terhapusnya dosa adalah menyadari kesalahan dan dosanya secara sungguh-sungguh, menyesali sepenuhnya, bertobat, tidak mengulangi kesalahannya dan menghiasi diri dengan amal shaleh dan iman. Jadi, amalan dan wirid diatas Hanya sebagai pengingat dan bukan syarat mutlak terhapusnya dosa. (Imam Al-Ghazali, ihya', 1352-1933, jld. IV, kitab taubat).
2.    Ibadah Malam dan Hari Asyura
Diantara ibadah yang populer dibulan suro adalah ritual pada hari Asyura atau hari ke 10 bulan Muharram. Terkadang juga ditambah 1 - 2 hari sebelumnya (tarwiyah , tasu'a), secara umum dijelaskan dalam kitab i'anat al-thalibin, jl. II, hal. 267.

3.    Puasa Asyura
Dalam hal ini dilakukan karena ingin mencontoh Rasulullah yang diriwayatkan pada hari itu. Berita mengenai ini terdapat dalam hadits yang terkenal sebagai hadits puasa Asyura, salah satunya diriwayatkan dalam shahih Bukhari yang mengutip sumber dari ibn Abbas. "Ketika Nabi tiba di Madinah saat berhijrah, dia menyaksikan orang Yahudi berpuasa pada hari Asura. Nabi bertanya, "apakah ini ?" orang-orang Yahudi berkata: "ini hari baik. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Musa berpuasa hari itu." Nabi berkata, "Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian." Nabi pun puasa dan menyuruh umatnya untuk pula." (Shahih Bukhari,jl.1. hlm. 341: Shahih Muslim.jl.I, hlm.458,459).
 Dalam riwayat juga dari Ibnu Abbas yang lain, Nabi bersabda kepada para sahabat, "Engkau lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka, maka berpuasalah." (Muhammad Imarah, Jawahir 1271 H: 385, no.514).
Memang al-Bukhari menyatakan hadis ini shahih. Namun, mari kita mencoba menelitinya dari keseluruhan aspek hadis tersebut, termasuk dengan sejarah (kritik historis).
Pertama, hadis itu disebut bersumber dari Ibn 'Abbas. Namun para pembuat biografi Ibn Abbas sepakat bahwa ia lahir pada tahun 3 sebelum Hijriah. Ia hijrah ke Madinah pada tahun ke-7. Sehingga ketika Nabi berhijrah ke Madinah, Ibn Abbas masih berada di Makkah dan belum selesai masa balitanya. Dari mana Ibnu Abbas memperoleh hadis tersebut? Pa- dahal, hadis itu ia tidak menyebut sumber lain, seakan-akan Ibn Abbas menyaksikannya sendiri. Bisa dituduh ia menyembunyikan sumber (mudallis), sedang perilaku itu disebut tadlis
Kedua, jika kita bandingkan dengan hadis-hadis lain, kita akan mendapat banyak pertentangan sehingga layak diragukan status sunahnya puasa ini. Menurut Imam Muslim yang juga mengambil sumber dari Ibn Abbas menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud puasa hari Asura, tetapi tidak kesampaian karena beliau keburu wafat (Sha- hih Muslim, hlm. 460). Juga ada riwayat berdasar Ibn Abbas dalam Shahih Muslim (Shahih Muslim, hlm.459-460), bahwa Nabi sempat melakukannya satu tahun sebelum dia wafat. Ibn Abbas juga menye- butkan bahwa ia melihat Nabi melaksanakan puasa Asura (berarti setelah tahun ke-7 H) karena fadhilah-nya yang utama setelah Ramadhan (Shahih al-Bukhari, hlm. 342). Bila riwayat Ibn Abbas ini kita konfrontir dengan riwayat sejumlah sahabat lain, kita dapati lebih banyak pertentangan. Siti Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi melaksanakan puasa Asura sejak zaman Jahiliyyah. Setelah turun perintah puasa Rama- dhan, Nabi meninggalkan kebiasaan tersebut (Shahih al-Bukhari, hlm. 341; Shahih Muslim, I: 456). Menurut Mu'awiyah, Nabi meme- rintahkan puasa tersebut pada saat haji wada' (Shahih al-Bukhari, hlm. 342). Nabi Musa menyatakan bahwa mereka menyaksikan orang Yahudi melakukan hari raya pada hari Asura dan Nabi memerintahkan berpuasa (Shahih al-Bukhari, hlm. 342). Ibnu Umar memberitakan bahwa kebiasaan itu merupakan adat masyarakat jahiliah. Setelah datang kewajiban puasa Ramadhan, maka Rasulullah hanya menyatakan hari itu sebagai hari Allah. Bagi yang ingin berpuasa, dipersilahkan, bagi yang tidak juga dipersilahkan (Shahih Muslim hlm. 457). Sehingga hukumnya hanya mubah. Juga dari Ibnu Umar bagi yang senang dengan adat jahiliah, maka silahkan berpuasa, dan bagi yang membencinya supaya meninggalkan (Shahih Muslim, hlm. 457). Ibnu Mas'ud tidak berpuasa karena telah digantikan dengan puasa Ramadhan (Shahih Muslim, hlm. 458). Juga terdapat riwayat lain, bahwa Rasulullah ingin melaksanakan puasa Asura. Namun, diingatkan sahabat bahwa hari itu merupakan hari keagungan bagi Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah berniat berpuasa pula pada hari kesembilan bulan Muharram (Shahih Muslim, I: hlm. 459-460).
Ketiga, dalam beberapa hadis di atas disebutkan bahwa Rasulullah menemukan orang Yahudi berpuasa Asura ketika tiba dari hijrahnya. Para ahli sejarah sepakat, Nabi tiba di Madinah tanggal 12 Rabiul Awal. Apakah mungkin Nabi berpuasa hari ke-10 Muharram pada tanggal 12 Rabiul Awal?
Keempat. Dalam hadis itu juga disebutkan bahwa puasa itu meniru tradisi Yahudi. Sementara, Rasulullah selalu melarang umat Islam meniru orang Yahudi. Ini membuat orang Yahudi jengkel, mereka mengatakan tidak satupun dari tradisinya yang tidak ditentang Rasulullah (Sirah al-Halabiyyah, jl.II, hlm. 115).
Kelima, dalam ilmu perbandingan agama, tidak ditemukan tradisi berpuasa pada agama Yahudi. Puasa ini hanya dikenal oleh umat Islam, dan hanya berdasar riwayat yang sumbernya kurang valid. Dalam al-Kitab juga tidak pernah disinggung adanya kewajiban puasa, atau Nabi Musa berpuasa pada hari tenggelamnya Fir'aun itu.
Keenam, jika kita melihat perseteruan umat Islam sejak masa Utsman, maka terlihat bahwa puasa tersebut merupakan salah satu hasil rekayasa politik Banu Umayah (termasuk hasil cemerlang rekayasa politik dalam sejarah ini adalah pengkafiran atas Abu Thalib, dan pemukminan Abu Sufyan). Yazid bin Muawiyah berhasil mem- bantai keluarga Rasul di padang Karbala pada tanggal 10 Muharram. Bagi para pengikut keluarga Nabi, hari itu merupakan hari berduka cita, bukan hari bersyukur. Sedangkan kelompok Banu Umayah (yang pahamnya sebagian besar memengaruhi kaum Sunni) menjadikan hari bersyukur dengan salah satu tandanya berpuasa. Sebagaimana riwayat hadis yang juga disandarkan kepada Ibn Abbas, bahwa Musa berpuasa sebagai tanda syukur (Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari, hlm. 385, syarah hadis no. 514).
Jadi dalam perspektif studi kritis hadis, selama ini kita dengan setia menjalankan ibadah puasa Asura yang disebut sebagai sunah Nabi, namun ternyata sunah itu tidak benar. Kecuali, kalau puasa itu dilakukan sebagai rasa introspeksi diri, tidak mengapa. Akan tetapi, bagi sementara kaum muslim terdapat aspek lain. Pelaksanaan ibadah puasa tersebut bukan semata berdasarkan ketentuan literer hadis. Bulan Muharram sebagai bulan suci Islam, sekaligus sebagai bulan kemenangan Islam pantas untuk disyukuri dan dirayakan. Hanya saja perayaannya dalam bentuk ritual rohani, yakni puasa. Karena terdapat dimensi-dimensi lain yang bersifat spiritual dalam puasa Suro, di luar konteks aturan lahiriah agama. Sehingga dalam prespektif ini, maka puasa suro sangat baik untuk dilaksanakan Wirid, doa, menyantuni anak yatim, mandi dsb dibulan suro Inti dari doa itu adalah agar seseorang dikabulkan semua hajatnya, diberi umur panjang dalam ketaatan, kecintaan dan keridoaan Allah diberi kehidupan dengan kebaikan dan diwafatkan dalam ke adaan Islam dan iman.
Yang menarik adalah, bahwa dalam doa itu dipakai wasilah beberapa orang Nabi dan Rasul yang dipercayai pada tanggal 10 Muharram mengalami sesuatu yang sangat luar biasa: dikeluarkannya Nabi Yunus dari perut ikan, berkumpulnya putra nabi Yaqub, diampuninya nabi Daud, dihilangkannya penyakit nabi Ayyub, didengarnya dakwah Nabi Musa dan Harun, serta penciptaan roh Nabi Muhammad. Semua itu melalui doa tersebut diyakini terjadi pada hari Asura.
Kalau kita melacak sumber-sumber cerita itu dalam literatur islam, maka kita tidak akan menemukannya di dalam kitab-kitab yang sahih. Tampaknya cerita-cerita itu muncul karena pengaruh israilliyat, yang merasuki kalangan umat Islam sejak era kekhalifahan, yang dibawa mantan-mantan pendeta Yahudi dan Nashrani yang masuk Islam. Namun, masih percaya dengan agama lamanya. Cerita-cerita israilliyat itu sangat memengaruhi umat Islam, termasuk para intelektualnya di mana dalam kitab-kitab tafsir sangat banyak kita jumpai cerita-cerita tersebut. Padahal cerita-cerita tersebut justru merusak aqidah Islam. Dan akhirnya membuat kesan bahwa Islam sekadar pengulangan konsep ahl al-kitab.
Memang sampai saat ini, masyarakat muslim Indonesia sebagian masih sangat memercayai cerita-cerita tersebut. Sebab memang dalam literatur kitab kuning sering dihubungkan antara sunahnya puasa dengan penyelamatan para Nabi. Terdapat riwatat yang dinyatakan sebagai hadis dari Abu Hurairah, yang dikutip sebagai sumber cerita-cerita tersebut. Kutipan lengkap mengenai seluruh kejadian Pada hari ke-10 Muharram, serta keutamannya adalah (sengaja pe- nulis kutip secara bebas seutuhnya, agar kita dapat mengetahui main- Stream sebagian masyarakat Islam Indonesia mengenai keramat tang- gal 10 bulan Muharram ini): "Bahwa Rasulullah menyatakan, Allah mewajibkan puasa Kepada Bani Israil sehari dalam setahun, yakni hari ke-10 bulan Muharram, hingga umat Nabi Muhammad disuruh berpuasa; meluaskan derma itu kepada segenap keluarganya. Pada hari itulah diterima tobatnya Nabi Adam, diangkatnya Nabi Idris ke langit, dikeluarkannya Nabi Nuh dari kapal serta selamat dari banjir, selamatnya Nabi Ibrahim dari api pembakaran, diturunkannya atas Nabi Musa, keluarnya Nabi Yusuf dari penjara, sembuhnya kebutaan Nabi Ya'kub, hilangnya penyakit nabi Ayyub, keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan, hari kemenangannya Bani Israil, diampuninya dosa Daud, diangkatnya Nabi Sulaiman sebagai raja, diampuninya dosa Nabi Muhammad selamanya, awal penciptaan alam semesta, hari pertama turunnya hujan, awal turunnya rahmat di muka bumi. Sehingga siapa saja yang berpuasa pada hari itu, sama halnya telah berpuasa sepanjang masa, serta menyamai puasanya para nabi. Yang beribadah pada malam harinya, dapat menyamai derajat ibadah segenap penghuni langit yang tujuh. Barang siapa yang melaksanakan solat empat rakaat, setiap rakaat membaca surat al-Ikhlas setelah Fatihah 51 kali, maka diampuni dosanya selama 51 tahun; yang menyuguhkan minuman akan dibalas minuman yang agung di sisi Allah yang tidak lagi haus selamanya setelah minum; yang tidak bermaksiat hari itu, memejamkan pandangan mata, membenarkan keimanannya, maka tidak akan ditolak permohonannya; yang mandi dan mensucikan diri, tidak akan terkena sakitnya kematian; siapa yang mengusap kepala anak yatim atau memperlakukannya dengan baik pada hari itu, maka akan meni dapatkan balasan perlakuan terbaik dari seluruh anak Adam, atau sama halnya telah berbuat baik kepada seluruh anak Adam; yang menjenguk orang sakit pada hari itu, sama halnya telah menjenguk seluruh anak Adam yang sakit. Pada hari itulah 'Arsy diciptakan, juga al-lauh al-mahfudz, pena Allah. Terciptanya Jibril, dirafanya Nabi Isa. Dan kelak pada hari Asura inilah terjadinya saat kiamat."
Maka sesuai dengan kutipan di atas, tampaklah hari Asura sebagai hari yang begitu penting. Kita melihat begitu mulianya pula kaum Bani Israil, atau bangsa Yahudi sebagai kaum yang seolah-olah "memiliki" hari Asura itu. Ini mengingatkan kita akan keterpilihan bangsa Yahudi dalam al-Kitab. Tetapi kita mencoba mengkritisi riwayat tersebut dari berbagai sisi secara umum.
Pertama, semua yang menyangkut fakta historisdalam riwayat tersebut tidak memiliki fakta otentik. Apalagi me- nyangkut kejadian-kejadian prasejarah, di mana tidak diketahui kapan peristiwa itu terjadi.
 Kedua, fakta yang ditunjukkan hanyalah merupakan "dongengan" yang masuk ke dalam konsep keagamaan, di mana dongengan itu tampak dengan penyebutan semua kejadian penting menyangkut kosmologi dan alam yang disebut terjadi pada hari "istimewa itu”.
Ketiga, dalam literatur keagamaan utama, yang menyangkut kisah penyelamatan para Nabi, kita tidak bisa menjumpai satupun sumber yang menyebut bahwa peristiwanya terjadi pada hari Asura (misalnya al-Kitab dan sebagainya). Bahkan, agama-agama al-Kitab tidak mengenal konsep hari ke-10 Muharram sebagai hari istimewa agamanya, kecuali umat Islam.
Keempat, menyangkut konsep "dosa Daud" jelas terdapat pengaruh kitab perjanjian lama, yang menyebutkan tentang kisah bahwa Nabi Daud "berzina", suatu pandangan yang jelas ditolak oleh teologi Islam.
Kelima, disebutkan bahwa hari itu "diampuninya dosa Nabi Muhammad” tidak dijumpai sumber-sumber sahih, baik data hadis maupun sejarah. Hal ini justru mendiskreditkan Nabi Muhammad sebagai al-musthafa, sebagai orang yang juga memiliki dosa.
Keenam, dinyatakan bahwa hari itu nanti merupakan hari terjadinya kiamat. Jelas sekali bahwa hal ini bertentangan dengan al-Qur'an yang menyatakan bahwa yang me- ngetahui persis tentang kapan terjadinya hari kiamat hanya Allah.
Ketujuh, kalau memang itu merupakan hari kemenangan bangsa Israel mengapa umat Islam yang perlu repot-repot merayakan dengan berpuasa? Sementara dalam al-Qur'an sendiri banyak dikatakan bentuk kutukan terhadap bangsa Israel atau Yahudi itu (lihat misalnya Qs Al-Baqarah/2:211, 246; al-Maidah/5:12 dsb yang semuanya mencakup 42 episode dalam al-qur'an).
Kita dapat menduga bahwa kepercayaan ini terpengaruhi oleh faham mesianisme dan israiliyyat yang juga menyebar di sementara kalangan umat Islam. Namun, di satu sisi, mungkin yang menjadi inti bukanlah peristiwanya itu, akan tetapi keagungan bulan Muharram itu sendiri.
Tinjauan kedua kita arahkan pada tinjauan khusus berbagai tuntunan yang harus dilakukan umat Islam pada hari tersebut.
Pertama, tentang hari 'Asura sebagai hari puasanya para Nabi dan bahwa dengan berpuasa pada hari itu sama halnya berpuasa sepanjang masa. Kita tahu bahwa puasa Asura, hukum paling maksimalnya hanya "boleh-boleh" saja. Adapun riwayat bahwa Nabi-nabi (terutama Musa) memiliki hari puasa 10 Muharram sebagai riwayat yang tidak dikenal" (la ashla lahu). Mengenai pahala yang diibaratkan sama dengan berpuasa sepanjang masa juga merupakan hal yangdiada-adakan. Sehingga tidak bisa kita jadikan sandaran. Memang sebagai alat dakwah bagi orang 'awam cukup efektif, daripada tidak pernah melaksanakan ibadah sunnah dalam waktu-waktu biasa. Apa lagi, dalam kitab-kitab madzhab Syafi'i, seperti al-Umm dan al-Imla' dinyatakan bahwa berpuasa pada hari Asura, dan diikuti dengan puasa tasyu'a serta puasa hari ke-11 (untuk membedakan dengan tradisi Yahudi berdasar riwayat Imam Ahmad) “sangat disukai" (istihbab) (Hasiyat l'anat al-Thalibin, jl. II, hlm. 266). Namun, bagi orang yang sudah terbiasa melaksanakan ibadah yang jelas "sunah", maka ibada hari Asura merupakan sesuatu yang tidak perlu dipikirkan.
Kedua, beribadah pada malam harinya menyamai deras ibadah segenap penghuni langit dan bumi. Pernyataan ini juga sahih. Bagi umat Islam cukuplah pernyataan Allah, bahwa tahajud (ibadah sunnah di sepertiga malam terakhir) merupakan ibadah paling mulia setelah ibadah mahdlah dilaksanakan (QS. Al-isra'/17:79 "Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan mengangkat kamu ke tempat yang terpuji"). Dan hal itu tidak melulu hanya dilakukan pada malam Asura.
Ketiga, sholat empat rakaat, setiap rakaat membaca surat al- Ikhlas setelah Fatihah 51 kali, maka diampuni dosanya selama 51tahun Ibadah ini bagus saja dilaksanakan, namun sesuai kemampuan, dan janganlah memiliki anggapan bahwa setelah solat tersebut,semua dosanya selama 51 tahun diampuni. Hal ini kita serahkan semuanya kepada Allah. Namun yang jelas, dalam fiqih Islam kita tidak mengenal tentang solat ini.
Keempat, siapa yang mengusap kepala anak yatim atau memperlakukannya dengan baik pada hari itu, maka akan mendapatkan balasan perlakuan terbaik dari seluruh anak Adam, atau sama halnya telah berbuat baik kepada seluruh anak Adam. Dalam Islam menyantuni dan berlaku baik kepada anak yatim, tidak terbatas pada hari ke-10 bulan Muharram. Dan konsep berbuat baik terhadap anak yatim ini tidak terbatas hanya sekadar memberikan sedekah, namun terutama dengan mencukupi kebutuhan makanan, dan memberikan dana pendidikan, sesuai kemampuan. Merupakan suatu hal yang salah kaprah adanya praktik “yatiman” di kalangan masyarakat kita pada hari Asura ini. Walaupun praktik terasebut juga bagus untuk dakwah, daripada tidak pernah melakukan kebaikan terhadap anak yatim sama sekali. Yang jelas praktik tersebut, tidak kita dapati sumbernya. Kebahagiaan anak yatim tidak hanya diperlukan sehari dalam setahun, tetapi justru menyiapkan masa depan itulah yang terbaik. Maka fungsi panti anak yatim menjadi suatu hal yang sangat substansial dalam kerangka ibadah ini.
Kelima, amal-amal: menyuguhkan minuman, tidak bermaksiat, mandi dan mensucikan diri, menjenguk orang sakit, semua jenis amalan ini tidak hanya berhubungan dengan Asura. Karena hal itu merupakan hak anak adam yang harus dilaksanakan oleh semua orang beriman. Hal ini berdasarkan hadits: riwayat dari Abu Hurairah ra katanya: Rasulullah SAW bersabda: "Ada lima kewajiban bagi seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim yaitu: menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, menziarahi orang sakit dan mengiringi jenazah. Al-Bayan, hadits no. 1268.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar