STUDI KRITIS
AMALAN BULAN SURO/MUHARRAM
Oleh:
Masruchin, S.Ag
(Penulis adalah
Wakil Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Juwet)
1.
Ibadah Akhir Tahun
Pada momentum pergantian tahun
dianjurkan melakukan beberapa macam ibadah, antara lain: berpuasa pada hari
akhir bulan Dzulhijjah, melaksanakan shalat Sunnah dan membaca do'a akhir
tahun.
"Walaupun amalan ibadah
tersebut memang baik dilakukan, termasuk doa akhir tahun. Namun, kita harus
hati-hati dalam menyikapi secara mendalam isi doa. Hanya sebatas do'a , tidak
menghapus semua dosa manusia dihadapan Allah. Sebab syarat terhapusnya dosa
adalah menyadari kesalahan dan dosanya secara sungguh-sungguh, menyesali
sepenuhnya, bertobat, tidak mengulangi kesalahannya dan menghiasi diri dengan
amal shaleh dan iman. Jadi, amalan dan wirid diatas Hanya sebagai pengingat dan
bukan syarat mutlak terhapusnya dosa. (Imam Al-Ghazali, ihya', 1352-1933, jld.
IV, kitab taubat).
2.
Ibadah Malam dan Hari Asyura
Diantara ibadah yang populer dibulan
suro adalah ritual pada hari Asyura atau hari ke 10 bulan Muharram. Terkadang
juga ditambah 1 - 2 hari sebelumnya (tarwiyah , tasu'a), secara umum dijelaskan
dalam kitab i'anat al-thalibin, jl. II, hal. 267.
3.
Puasa Asyura
Dalam hal ini dilakukan karena ingin
mencontoh Rasulullah yang diriwayatkan pada hari itu. Berita mengenai ini
terdapat dalam hadits yang terkenal sebagai hadits puasa Asyura, salah satunya
diriwayatkan dalam shahih Bukhari yang mengutip sumber dari ibn Abbas. "Ketika
Nabi tiba di Madinah saat berhijrah, dia menyaksikan orang Yahudi berpuasa pada
hari Asura. Nabi bertanya, "apakah ini ?" orang-orang Yahudi berkata:
"ini hari baik. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari
musuh mereka. Musa berpuasa hari itu." Nabi berkata, "Aku lebih
berhak terhadap Musa dari pada kalian." Nabi pun puasa dan menyuruh
umatnya untuk pula." (Shahih Bukhari,jl.1. hlm. 341: Shahih
Muslim.jl.I, hlm.458,459).
Dalam riwayat juga dari Ibnu Abbas yang lain,
Nabi bersabda kepada para sahabat, "Engkau lebih berhak terhadap Musa dari
pada mereka, maka berpuasalah." (Muhammad Imarah, Jawahir 1271 H: 385,
no.514).
Memang al-Bukhari menyatakan hadis
ini shahih. Namun, mari kita mencoba menelitinya dari keseluruhan aspek hadis
tersebut, termasuk dengan sejarah (kritik historis).
Pertama, hadis itu disebut bersumber dari Ibn 'Abbas. Namun para pembuat
biografi Ibn Abbas sepakat bahwa ia lahir pada tahun 3 sebelum Hijriah. Ia hijrah
ke Madinah pada tahun ke-7. Sehingga ketika Nabi berhijrah ke Madinah, Ibn
Abbas masih berada di Makkah dan belum selesai masa balitanya. Dari mana Ibnu
Abbas memperoleh hadis tersebut? Pa- dahal, hadis itu ia tidak menyebut sumber
lain, seakan-akan Ibn Abbas menyaksikannya sendiri. Bisa dituduh ia
menyembunyikan sumber (mudallis), sedang perilaku itu disebut tadlis
Kedua, jika kita bandingkan dengan hadis-hadis lain, kita akan mendapat
banyak pertentangan sehingga layak diragukan status sunahnya puasa ini. Menurut
Imam Muslim yang juga mengambil sumber dari Ibn Abbas menyebutkan bahwa
Rasulullah bermaksud puasa hari Asura, tetapi tidak kesampaian karena beliau
keburu wafat (Sha- hih Muslim, hlm. 460). Juga ada riwayat berdasar Ibn Abbas
dalam Shahih Muslim (Shahih Muslim, hlm.459-460), bahwa Nabi sempat melakukannya
satu tahun sebelum dia wafat. Ibn Abbas juga menye- butkan bahwa ia melihat
Nabi melaksanakan puasa Asura (berarti setelah tahun ke-7 H) karena
fadhilah-nya yang utama setelah Ramadhan (Shahih al-Bukhari, hlm. 342). Bila
riwayat Ibn Abbas ini kita konfrontir dengan riwayat sejumlah sahabat lain,
kita dapati lebih banyak pertentangan. Siti Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi
melaksanakan puasa Asura sejak zaman Jahiliyyah. Setelah turun perintah puasa
Rama- dhan, Nabi meninggalkan kebiasaan tersebut (Shahih al-Bukhari, hlm. 341;
Shahih Muslim, I: 456). Menurut Mu'awiyah, Nabi meme- rintahkan puasa tersebut
pada saat haji wada' (Shahih al-Bukhari, hlm. 342). Nabi Musa menyatakan bahwa
mereka menyaksikan orang Yahudi melakukan hari raya pada hari Asura dan Nabi
memerintahkan berpuasa (Shahih al-Bukhari, hlm. 342). Ibnu Umar memberitakan
bahwa kebiasaan itu merupakan adat masyarakat jahiliah. Setelah datang
kewajiban puasa Ramadhan, maka Rasulullah hanya menyatakan hari itu sebagai
hari Allah. Bagi yang ingin berpuasa, dipersilahkan, bagi yang tidak juga
dipersilahkan (Shahih Muslim hlm. 457). Sehingga hukumnya hanya mubah. Juga
dari Ibnu Umar bagi yang senang dengan adat jahiliah, maka silahkan berpuasa,
dan bagi yang membencinya supaya meninggalkan (Shahih Muslim, hlm. 457). Ibnu
Mas'ud tidak berpuasa karena telah digantikan dengan puasa Ramadhan (Shahih
Muslim, hlm. 458). Juga terdapat riwayat lain, bahwa Rasulullah ingin
melaksanakan puasa Asura. Namun, diingatkan sahabat bahwa hari itu merupakan
hari keagungan bagi Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah berniat berpuasa pula
pada hari kesembilan bulan Muharram (Shahih Muslim, I: hlm. 459-460).
Ketiga, dalam beberapa hadis di atas disebutkan bahwa Rasulullah
menemukan orang Yahudi berpuasa Asura ketika tiba dari hijrahnya. Para ahli
sejarah sepakat, Nabi tiba di Madinah tanggal 12 Rabiul Awal. Apakah mungkin
Nabi berpuasa hari ke-10 Muharram pada tanggal 12 Rabiul Awal?
Keempat. Dalam hadis itu juga disebutkan bahwa puasa itu meniru tradisi
Yahudi. Sementara, Rasulullah selalu melarang umat Islam meniru orang Yahudi.
Ini membuat orang Yahudi jengkel, mereka mengatakan tidak satupun dari
tradisinya yang tidak ditentang Rasulullah (Sirah al-Halabiyyah, jl.II, hlm.
115).
Kelima, dalam ilmu perbandingan agama, tidak ditemukan tradisi berpuasa
pada agama Yahudi. Puasa ini hanya dikenal oleh umat Islam, dan hanya berdasar
riwayat yang sumbernya kurang valid. Dalam al-Kitab juga tidak pernah
disinggung adanya kewajiban puasa, atau Nabi Musa berpuasa pada hari
tenggelamnya Fir'aun itu.
Keenam, jika kita melihat perseteruan umat Islam sejak masa Utsman, maka
terlihat bahwa puasa tersebut merupakan salah satu hasil rekayasa politik Banu
Umayah (termasuk hasil cemerlang rekayasa politik dalam sejarah ini adalah
pengkafiran atas Abu Thalib, dan pemukminan Abu Sufyan). Yazid bin Muawiyah
berhasil mem- bantai keluarga Rasul di padang Karbala pada tanggal 10 Muharram.
Bagi para pengikut keluarga Nabi, hari itu merupakan hari berduka cita, bukan
hari bersyukur. Sedangkan kelompok Banu Umayah (yang pahamnya sebagian besar
memengaruhi kaum Sunni) menjadikan hari bersyukur dengan salah satu tandanya
berpuasa. Sebagaimana riwayat hadis yang juga disandarkan kepada Ibn Abbas,
bahwa Musa berpuasa sebagai tanda syukur (Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari,
hlm. 385, syarah hadis no. 514).
Jadi dalam perspektif studi kritis
hadis, selama ini kita dengan setia menjalankan ibadah puasa Asura yang disebut
sebagai sunah Nabi, namun ternyata sunah itu tidak benar. Kecuali, kalau puasa
itu dilakukan sebagai rasa introspeksi diri, tidak mengapa. Akan tetapi, bagi
sementara kaum muslim terdapat aspek lain. Pelaksanaan ibadah puasa tersebut
bukan semata berdasarkan ketentuan literer hadis. Bulan Muharram sebagai bulan
suci Islam, sekaligus sebagai bulan kemenangan Islam pantas untuk disyukuri dan
dirayakan. Hanya saja perayaannya dalam bentuk ritual rohani, yakni puasa.
Karena terdapat dimensi-dimensi lain yang bersifat spiritual dalam puasa Suro,
di luar konteks aturan lahiriah agama. Sehingga dalam prespektif ini, maka
puasa suro sangat baik untuk dilaksanakan Wirid, doa, menyantuni anak yatim,
mandi dsb dibulan suro Inti dari doa itu adalah agar seseorang dikabulkan semua
hajatnya, diberi umur panjang dalam ketaatan, kecintaan dan keridoaan Allah
diberi kehidupan dengan kebaikan dan diwafatkan dalam ke adaan Islam dan iman.
Yang menarik adalah, bahwa dalam doa
itu dipakai wasilah beberapa orang Nabi dan Rasul yang dipercayai pada tanggal
10 Muharram mengalami sesuatu yang sangat luar biasa: dikeluarkannya Nabi Yunus
dari perut ikan, berkumpulnya putra nabi Yaqub, diampuninya nabi Daud, dihilangkannya
penyakit nabi Ayyub, didengarnya dakwah Nabi Musa dan Harun, serta penciptaan
roh Nabi Muhammad. Semua itu melalui doa tersebut diyakini terjadi pada hari
Asura.
Kalau kita melacak sumber-sumber
cerita itu dalam literatur islam, maka kita tidak akan menemukannya di dalam
kitab-kitab yang sahih. Tampaknya cerita-cerita itu muncul karena pengaruh
israilliyat, yang merasuki kalangan umat Islam sejak era kekhalifahan, yang
dibawa mantan-mantan pendeta Yahudi dan Nashrani yang masuk Islam. Namun, masih
percaya dengan agama lamanya. Cerita-cerita israilliyat itu sangat memengaruhi
umat Islam, termasuk para intelektualnya di mana dalam kitab-kitab tafsir
sangat banyak kita jumpai cerita-cerita tersebut. Padahal cerita-cerita
tersebut justru merusak aqidah Islam. Dan akhirnya membuat kesan bahwa Islam sekadar
pengulangan konsep ahl al-kitab.
Memang sampai saat ini, masyarakat
muslim Indonesia sebagian masih sangat memercayai cerita-cerita tersebut. Sebab
memang dalam literatur kitab kuning sering dihubungkan antara sunahnya puasa
dengan penyelamatan para Nabi. Terdapat riwatat yang dinyatakan sebagai hadis
dari Abu Hurairah, yang dikutip sebagai sumber cerita-cerita tersebut. Kutipan
lengkap mengenai seluruh kejadian Pada hari ke-10 Muharram, serta keutamannya
adalah (sengaja pe- nulis kutip secara bebas seutuhnya, agar kita dapat
mengetahui main- Stream sebagian masyarakat Islam Indonesia mengenai keramat
tang- gal 10 bulan Muharram ini): "Bahwa Rasulullah menyatakan, Allah
mewajibkan puasa Kepada Bani Israil sehari dalam setahun, yakni hari ke-10
bulan Muharram, hingga umat Nabi Muhammad disuruh berpuasa; meluaskan derma itu
kepada segenap keluarganya. Pada hari itulah diterima tobatnya Nabi Adam,
diangkatnya Nabi Idris ke langit, dikeluarkannya Nabi Nuh dari kapal serta
selamat dari banjir, selamatnya Nabi Ibrahim dari api pembakaran, diturunkannya
atas Nabi Musa, keluarnya Nabi Yusuf dari penjara, sembuhnya kebutaan Nabi
Ya'kub, hilangnya penyakit nabi Ayyub, keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan, hari
kemenangannya Bani Israil, diampuninya dosa Daud, diangkatnya Nabi Sulaiman sebagai
raja, diampuninya dosa Nabi Muhammad selamanya, awal penciptaan alam semesta,
hari pertama turunnya hujan, awal turunnya rahmat di muka bumi. Sehingga siapa
saja yang berpuasa pada hari itu, sama halnya telah berpuasa sepanjang masa,
serta menyamai puasanya para nabi. Yang beribadah pada malam harinya, dapat
menyamai derajat ibadah segenap penghuni langit yang tujuh. Barang siapa yang melaksanakan
solat empat rakaat, setiap rakaat membaca surat al-Ikhlas setelah Fatihah 51
kali, maka diampuni dosanya selama 51 tahun; yang menyuguhkan minuman akan
dibalas minuman yang agung di sisi Allah yang tidak lagi haus selamanya setelah
minum; yang tidak bermaksiat hari itu, memejamkan pandangan mata, membenarkan
keimanannya, maka tidak akan ditolak permohonannya; yang mandi dan mensucikan
diri, tidak akan terkena sakitnya kematian; siapa yang mengusap kepala anak
yatim atau memperlakukannya dengan baik pada hari itu, maka akan meni dapatkan
balasan perlakuan terbaik dari seluruh anak Adam, atau sama halnya telah
berbuat baik kepada seluruh anak Adam; yang menjenguk orang sakit pada hari
itu, sama halnya telah menjenguk seluruh anak Adam yang sakit. Pada hari itulah
'Arsy diciptakan, juga al-lauh al-mahfudz, pena Allah. Terciptanya Jibril,
dirafanya Nabi Isa. Dan kelak pada hari Asura inilah terjadinya saat
kiamat."
Maka sesuai dengan kutipan di atas,
tampaklah hari Asura sebagai hari yang begitu penting. Kita melihat begitu
mulianya pula kaum Bani Israil, atau bangsa Yahudi sebagai kaum yang
seolah-olah "memiliki" hari Asura itu. Ini mengingatkan kita akan
keterpilihan bangsa Yahudi dalam al-Kitab. Tetapi kita mencoba mengkritisi
riwayat tersebut dari berbagai sisi secara umum.
Pertama, semua yang menyangkut fakta historisdalam riwayat tersebut tidak
memiliki fakta otentik. Apalagi me- nyangkut kejadian-kejadian prasejarah, di
mana tidak diketahui kapan peristiwa itu terjadi.
Kedua, fakta yang ditunjukkan
hanyalah merupakan "dongengan" yang masuk ke dalam konsep keagamaan,
di mana dongengan itu tampak dengan penyebutan semua kejadian penting
menyangkut kosmologi dan alam yang disebut terjadi pada hari "istimewa
itu”.
Ketiga, dalam literatur keagamaan utama, yang menyangkut kisah penyelamatan
para Nabi, kita tidak bisa menjumpai satupun sumber yang menyebut bahwa
peristiwanya terjadi pada hari Asura (misalnya al-Kitab dan sebagainya).
Bahkan, agama-agama al-Kitab tidak mengenal konsep hari ke-10 Muharram sebagai
hari istimewa agamanya, kecuali umat Islam.
Keempat, menyangkut konsep "dosa Daud" jelas terdapat pengaruh
kitab perjanjian lama, yang menyebutkan tentang kisah bahwa Nabi Daud
"berzina", suatu pandangan yang jelas ditolak oleh teologi Islam.
Kelima, disebutkan bahwa hari itu "diampuninya dosa Nabi Muhammad”
tidak dijumpai sumber-sumber sahih, baik data hadis maupun sejarah. Hal ini
justru mendiskreditkan Nabi Muhammad sebagai al-musthafa, sebagai orang yang
juga memiliki dosa.
Keenam, dinyatakan bahwa hari itu nanti merupakan hari terjadinya kiamat.
Jelas sekali bahwa hal ini bertentangan dengan al-Qur'an yang menyatakan bahwa
yang me- ngetahui persis tentang kapan terjadinya hari kiamat hanya Allah.
Ketujuh, kalau memang itu merupakan hari kemenangan bangsa Israel mengapa
umat Islam yang perlu repot-repot merayakan dengan berpuasa? Sementara dalam
al-Qur'an sendiri banyak dikatakan bentuk kutukan terhadap bangsa Israel atau
Yahudi itu (lihat misalnya Qs Al-Baqarah/2:211, 246; al-Maidah/5:12 dsb yang
semuanya mencakup 42 episode dalam al-qur'an).
Kita dapat menduga bahwa kepercayaan
ini terpengaruhi oleh faham mesianisme dan israiliyyat yang juga menyebar di
sementara kalangan umat Islam. Namun, di satu sisi, mungkin yang menjadi inti
bukanlah peristiwanya itu, akan tetapi keagungan bulan Muharram itu sendiri.
Tinjauan kedua kita arahkan pada
tinjauan khusus berbagai tuntunan yang harus dilakukan umat Islam pada hari
tersebut.
Pertama, tentang hari 'Asura sebagai hari puasanya para Nabi dan bahwa
dengan berpuasa pada hari itu sama halnya berpuasa sepanjang masa. Kita tahu
bahwa puasa Asura, hukum paling maksimalnya hanya "boleh-boleh" saja.
Adapun riwayat bahwa Nabi-nabi (terutama Musa) memiliki hari puasa 10 Muharram
sebagai riwayat yang tidak dikenal" (la ashla lahu). Mengenai pahala yang
diibaratkan sama dengan berpuasa sepanjang masa juga merupakan hal
yangdiada-adakan. Sehingga tidak bisa kita jadikan sandaran. Memang sebagai
alat dakwah bagi orang 'awam cukup efektif, daripada tidak pernah melaksanakan
ibadah sunnah dalam waktu-waktu biasa. Apa lagi, dalam kitab-kitab madzhab
Syafi'i, seperti al-Umm dan al-Imla' dinyatakan bahwa berpuasa pada hari Asura,
dan diikuti dengan puasa tasyu'a serta puasa hari ke-11 (untuk membedakan
dengan tradisi Yahudi berdasar riwayat Imam Ahmad) “sangat disukai"
(istihbab) (Hasiyat l'anat al-Thalibin, jl. II, hlm. 266). Namun, bagi orang
yang sudah terbiasa melaksanakan ibadah yang jelas "sunah", maka
ibada hari Asura merupakan sesuatu yang tidak perlu dipikirkan.
Kedua, beribadah pada malam harinya menyamai deras ibadah segenap
penghuni langit dan bumi. Pernyataan ini juga sahih. Bagi umat Islam cukuplah
pernyataan Allah, bahwa tahajud (ibadah sunnah di sepertiga malam terakhir)
merupakan ibadah paling mulia setelah ibadah mahdlah dilaksanakan (QS.
Al-isra'/17:79 "Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan mengangkat kamu
ke tempat yang terpuji"). Dan hal itu tidak melulu hanya dilakukan pada
malam Asura.
Ketiga, sholat empat rakaat, setiap rakaat membaca surat al- Ikhlas
setelah Fatihah 51 kali, maka diampuni dosanya selama 51tahun Ibadah ini bagus
saja dilaksanakan, namun sesuai kemampuan, dan janganlah memiliki anggapan
bahwa setelah solat tersebut,semua dosanya selama 51 tahun diampuni. Hal ini
kita serahkan semuanya kepada Allah. Namun yang jelas, dalam fiqih Islam kita
tidak mengenal tentang solat ini.
Keempat, siapa yang mengusap kepala anak yatim atau memperlakukannya
dengan baik pada hari itu, maka akan mendapatkan balasan perlakuan terbaik dari
seluruh anak Adam, atau sama halnya telah berbuat baik kepada seluruh anak
Adam. Dalam Islam menyantuni dan berlaku baik kepada anak yatim, tidak terbatas
pada hari ke-10 bulan Muharram. Dan konsep berbuat baik terhadap anak yatim ini
tidak terbatas hanya sekadar memberikan sedekah, namun terutama dengan
mencukupi kebutuhan makanan, dan memberikan dana pendidikan, sesuai kemampuan.
Merupakan suatu hal yang salah kaprah adanya praktik “yatiman” di kalangan
masyarakat kita pada hari Asura ini. Walaupun praktik terasebut juga bagus
untuk dakwah, daripada tidak pernah melakukan kebaikan terhadap anak yatim sama
sekali. Yang jelas praktik tersebut, tidak kita dapati sumbernya. Kebahagiaan
anak yatim tidak hanya diperlukan sehari dalam setahun, tetapi justru
menyiapkan masa depan itulah yang terbaik. Maka fungsi panti anak yatim menjadi
suatu hal yang sangat substansial dalam kerangka ibadah ini.
Kelima, amal-amal: menyuguhkan minuman, tidak bermaksiat, mandi dan
mensucikan diri, menjenguk orang sakit, semua jenis amalan ini tidak hanya
berhubungan dengan Asura. Karena hal itu merupakan hak anak adam yang harus
dilaksanakan oleh semua orang beriman. Hal ini berdasarkan hadits: riwayat dari
Abu Hurairah ra katanya: Rasulullah SAW bersabda: "Ada lima kewajiban bagi
seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim yaitu: menjawab salam,
mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, menziarahi orang sakit dan
mengiringi jenazah. Al-Bayan, hadits no. 1268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar