Senin, 27 Agustus 2018

Integrasi Ilmu


INTEGRASI ILMU DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MANAJEMEN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
oleh:
A. Izzul Muthok
(Penulis adalah Sekretaris Ranting NU Desa Juwet)


A.      Pendahuluan
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi ke ilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer di dengungkan oleh kalangan intelektual muslim, antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[1], tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi.  Potensi keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem ilmu pengetahuan Barat yang tengah mengalami krisisidentitas inilah yang kemudian memberikan kesadaran baru kepada umat Islam untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi ke ilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H/890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu.[2]    
Dengan demikian, gagasan integrasi ke ilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist. Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang lebih banyak memuat pelajaran umum.[3]
Tidak beda jauh dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam. Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini. Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralis medan integrasi keilmuan  Islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi keilmuan.
Berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum pada kenyataanya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagaimana dilakukan Abduh dan Ahmad Khan atau Mukti Ali dan Harun Nasution, amak Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas melakukan pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan (integrasi keilmuan), yakni dengan pendekatan purifikasi atau penyucian.
Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, dimana negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan Islam. Setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.[4]
Dalam tulisan ini, penulis akan mengangkat tema integrasi ilmu dengan beberapa sub pembahasan yaitu: integrasi ilmu agama dan umum dalam manajemen pendidikan Islam, Model Pendekatan Integratif-Interkonektif, model objektivikasi Islam, model integrasi holistik.

B.       Pembahasan
1.      Integrasi Ilmu Agama dan Umum dalam Manajemen Pendidikan Islam
Secara historis, wacana dan gerakan untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum pada lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan tahapan yang tak terpisahkan dari arus modernisasi pendidikan Islam, khususnya madrasah, yang menguat pada dekade 1970-an, tepatnya semenjak keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada tahun 1975 yang berakibat pada semakin terintegrasinya madrasah dan sekolah.[5] Dalam perkembangannya, madrasah dan sekolah semakin terintegrasi yang diperkokoh dengan keluarnya Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[6] Wacana dan gerakan untuk mengintegrasian ilmu khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) semakin menemukan momentumnya pada dekade awal abad ke-21 seiring dengan perubahan politik di tanah air dan lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[7]
Sejalan dengan itu, upaya mewujudkan integrasi keilmuan di lingkungan Perguruan Tinggi Islam dalam kenyataannya antara lain dihadapkan pada adanya kompartementalisasi yang cukup parah dalam bentuk fakultas dan jurusan sejak awal menjadi mahasiswa. Akibat kompartementalisasi ini, menurut Azyumardi Azra, mahasiswa cenderung mempunyai pemahaman yang terpilah-pilah tentang Islam. Untuk penguasaan yang komprehensif dan integral terhadap Islam, seyogyanya tidak ada pembagian kefakultasan dan jurusan setidak-tidaknya dalam 2 tahun pertama program strata satu (S1). Dalam masa ini, mahasiswa diberikan mata kuliah umum yang sama, pembidangan dan penjurusan dilakukan setelah itu. Tantangan berikutnya adalah membawa ilmu-ilmu ke dalam mainstream perspektif Islam, ilmu secara utuh. Rekonsiliasi dan reintegrasi antara dua kelompok keilmuan ilmu-ilmu yang berasal dari ayat-ayat qur'aniyyah dan yang berasal dari ayat kawniyyah kembali pada kesatuan transenden semua ilmu pengetahuan.[8] Dengan demikian, reintegrasi berarti menghilangkan dikotomi ilmu untuk dikembalikan sesuai asal mulanya dalam satu bangunan keilmuan, sebagaimana yang dipraktikkan pada masa awal Islam. Hanya berbeda pada sumber dari mana pengetahuan itu diperoleh. Oleh karenanya terhadap dua jenis atau tingkat kebenaran itu, mesti diletakkan pada proporsinya masing-masing sehingga tidak terjadi klaim kebenaran.
Terkait hal itu, eksperimen di UIN Jakarta mengambil dua langkah strategis. Pertama, mengembangkan suasana dialogis antara berbagai disiplin ilmu dilingkungan universitas, baik antara disiplin ilmu "umum" dengan ilmu "agama" maupun di antara cabang-cabang ilmu agama itu sendiri. Kedua, membangun integrasi keilmuan yang dibangun dari basis filsafat keilmuan, meliputi aspek ontologi, epistimologi, serta aksiologi.[9]
Dengan demikian eksperimen UIN Jakarta menyatukan (menghilangkan) dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum adalah dengan cara pendekatan kelembagaan dan kurikulum. Pendekatan kelembagaan merubah IAIN menjadi UIN yang berimplikasi pada perubahan kurikulum pendidikan. Pendekatan semacam ini, paling tidak memiliki dua sebab utama kelemahan. Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Ilmu-ilmu agama bersumber dari wahyu dan berorientasi ketuhanan, sedangkan ilmu-ilmu umum bersumber pada empirisme dan berorientasi kemanusiaan. Kedua, modernisasi dan islamisasi ilmu melalui kurikulum dan kelembagaan, meski dilakukan untuk tujuan integralisme dan integrasi keilmuan, sampai kapanpun tetap menyisakan dikotomi keilmuan. Implementasi dalam kurikulum pada lembaga pendidikan (UIN dan madrasah) tetap mengelompokan mata pelajaran/mata kuliah ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum tidak bisa mewujudkan proses islamisasi ilmu pengetahuan. Yang terjadi adalah upaya islamisasi kelembagaan dan kurikulum. Oleh karena itu, perubahan mesti dilakukan pada level yang paling mendasar yaitu perubahan pada level filsafat keilmuannya.
Sementara itu, UIN Malang menggunakan konsep dengan menggunakan metafora sebatang pohon besar dan rindang, yang akarnya menghunjam ke bumi, batangnya kukuh dan besar, berdahan dan ranting serta daun yang lebat, dan akhirnya pohon itu berbuah yang sehat dan segar sebagai gambaran filsafat keilmuannya. Akar yang kuat menghunjam ke bumi sebagai gambaran kecakapan yang harus dimiliki oleh siapa saja yang melakukan kajian Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan Hadis, yaitu kemampuan berbahasa Arab dan Inggris, logika atau ilmu mantiq, ilmu alam, dan ilmu sosial. Sebagaimana posisinya sebagai alat, idealnya kecakapan itu harus dikuasai secara penuh sebelum yang bersangkutan memulai melakukan kajian Islam yang bersumber dari kitab suci itu. Batang dari sebuah pohon menggambarkan objek kajian Islam, yaitu al-Qur'an, Hadis, pemikiran Islam, dan sejarah Islam. Mempelajari bidang ilmu ini hukunya fardu ain Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak, ranting, dan daun dalam metafora ini menggambarkan disiplin ilmu yang beraneka ragam beserta sub disiplinnya. Buah pohon menggambarkan hasil kegiatan kajian agama yang mendalam dan ilmu pengetahuan yang cukup,yaitu iman, amal saleh, dan akhlaq al-karimah. Pohon besar digunakan pula untuk menggambarkan sebuah batang ilmu. Batang tentu harus tumbuh di atas tanah yang subur tapi padat. Jika batang digunakan untuk menggambarkan pengembangan aspek akademik, tanah yang gembur tapi padat itu digunakan untuk menggambarkan bangunan kulturalnya. Akademik tanpa dibarengi dengan pengembangan kulturalnya, lebih-lebih untuk kajian Islam, tidak akan mendapatkan kekuatan yang semestinya.[10]
Melalui metafora pohon itu, integrasi ilmu dan agama lebih cenderung menyerupai pandangan Imam al-Ghazali, bahwa mendalami ilmu agama bagi setiap orang adalah kewajiban pribadi (fardu 'ain); sedangkan mendalami ilmu umum, seperti kedokteran, teknik, pertanian, perdagangan, dan lain-lain adalah fardu kifayah[11] Demikian pula halnya bangunan kurikulum UIN Malang, bahwa mendalami sumber-sumber ajaran Islam adalah wajib untuk seluruh mahasiswa apapun program studinya. Selain itu setiap mahasiswa diwajibkan pula mendalami bidang ilmu lainnya sebagai keahliannya yang bersifat fardu 'ayn. Dengan model konseptual seperti itu diharapkan akan terjadi integrasi keilmuan secara kokoh..
2.      Model Pendekatan Integratif-Interkonektif
Konsep ini, pertama kali dimunculkan oleh M. Amin Abdullah, rektor UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Konsep ini berpijak dari bangunan keilmuan Islam itu sendiri. Menurutnya, perpaduan antara "ilmu" dan "agama" selama ini ada yang mengikuti pola single entity dalam arti diantara kedua pengetahuan agama dan umum berdiri sendiri tanpa ada dealektika diantara keduanya, ataukah mengikuti model isolated entities dalam arti masing-masing rumpun ilmu berdiri sendiri. Atau model interconected entities, dalam arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan pendekatan (approach) dan metode berfikir dan penelitian (process and procedure)[12]
Pada level praksis, yang menjadi masalah adalah mengapa dosen dan mahasiswa pada bidang natural sciences tidak mengenal isu-isu dasar social-sciences, dan humanities dan lebih-lebih religious studies dan begitu sebaliknya.[13] Dalam tradisi keilmuan agama Islam di STAIN dan IAIN, besar kemungkinan juga pengajaran agama di sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum, dan lebih-lebih di Pesantren-Pesantren, corak pemikiran keislaman model bayani sangat mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan burhani.
Menyatukan "teks" dan "akal" memunculkan kekakuan dan ketegangan tertentu. Untuk menghindarinya dalam berfikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya, epistemologi pemikiran keagamaan Islam telah memiliki dan menyediakan mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam lewat epistemologi irfani. Pola pikir ini lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Jika sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi irfani  adalah exsperience (pengalaman). Validitas kebenaran epistemologi irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi, atau psikognosis. Sekat-sekat formalitas lahiriah yang diciptakan oleh tradisi epistemologi bayani maupun burhani yang ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak hubungan interpersonal antar umat manusia, diketepikan oleh tradisi berpikir 'irfani. Spiritualitas-esoterik dan bukannya eksternalitas-esoterik yang lebih menekankan identitas lahiriah agama, bahasa, dan lainnya, dikedepankan oleh corak nalar epistemologi 'irfani
Jika sumber (origin) ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, sedangkan 'irfani adalah direct experience (pengalaman langsung), epistemologi burhani bersumber pada realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan, maka tajribi merupakan hasil eksperimentasi terhadaprealitas empiris.[14] Kalau saja empat pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu tajribi, bayani, 'irfani, dan burhani, saling terkait, terjaring, dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka corak keilmuan yang dikotomis-atomistis pasti akan memudar dan lenyap.[15]
Konsekuensi lebih lanjut dari upaya reintegrasi epistemologi keilmuan umum dan agama adalah perlunya dialog dan kerjasama antara disiplin ilmu umum dan agama. Pendekatan interdisciplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai displin ilmu perlu\ memperoleh skala prioritas.[16] Pendekatan semacam ini dapat disederhanakan dalam skema berikut.
Description: C:\Users\semuet_merah\Downloads\GFDSG.jpg
Gambar 2.3 Skema Interconnected entities
Skema di atas menjelaskan bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan berbagai keterbatasan dimiliki ilmu itu, oleh karenanya perlu dilakukan dialog dan kerjasama untuk memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk menutupi kekurangan dan kelemahan pada masing-masing ilmu itu. Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut Shari'ah[17] Kitab suci al-Qur'an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekuler Barat. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan. Akan tetapi, agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.
Menurut Amin Abdullah, modernisme dan sekulerisme sebagai hasil turunannya yang menghendaki diferensiasi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarakpandang atau horizon berfikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu ada perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan ujungnya adalah dediferensisasi (penyatuan atau rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dideferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu.[18]
Dalam pandangan Amin Abdullah, ilmu-ilmu sekuler yang mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu diantaranya ialah dominasi kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi negara-negara kuat di era globalisasi), dan kepentingan militer/perang (seperti ilmu-ilmu nuklir), dominasi kepentingan kebudayaan Barat (orientalisme).[19] Ilmu yang lahir bersama etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu. Semua diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama.
Beberapa contoh berikut memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototipe sosok ilmuwan integratif yang dihasilkannya. Sebagai contoh, ilmu Ekonomi Syari'ah yang sudah nyata ada praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiranmanusia.[20] Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi di antaranya adalah bagi hasil (al-Mudharabah), dan kerjasama (al-Musharakah). Di sini terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, bahkan anti agama. Pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik ini dituntut dapat memasuki wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, lingkungan, kesehatan, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya.[21] Dengan demikian, integrasi ilmu agama dan ilmu umum meniscayakan kajian dan pemikiran secara filosofis dengan melibatkan berbagai pendekatan dan metode keilmuan. Integrasi dilakukan dengan mengislamkan ilmu pengetahuan di satu sisi dan pengilmuan Islam di sisi lain. Model integrasi yang ditawarkan M. Amin Abdullah dapat dilihat melalui bagan Jaring Laba-Laba berikut.  
                                                           






Gambar 2.4 Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentrik-integralistik[22]
Gambar di atas mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Tergambar bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Qur'an dan Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanscbuung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.139
Model pendekatan integratif-interkoneksitas yang dikembangkan M. Amin Abdullah ini pada dasarnya belum sepenuhnya mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dalam bingkai struktur keilmuan yang padu. Dari penjelasan yang diuraiakan dengan adanya pengakuan terhadap entitas masing masing ilmu, nampaknya, model yang dikembangkan masih berada pada level dialog, mengakui keberadaan dan independensi setiap ilmu tetapi perlu diupayakan kerjasama untuk menutupi celah masing-masing. Problem yang muncul dari pendekatan ini adalah pada persoalan metode keilmuan yang konsekuensinya adalah berkenaan dengan status kebenaran atau validitas suatu ilmu.
3.      Model Objektivikasi Islam
Model yang digagas Kuntowijoyo merupakan jawaban terhadap problem konflik antara ilmu dan agama. Menurut Kuntowijoyo, konflik yang terjadi di Barat itu disebabkan, karena konsep-konsep teoretis ilmu telah berubah menjadi acuan-acuan normatif; dan ini mengakibatkan agama kemudian mengalami krisis kredibilitas karena acuan normatif transendentalnya digantikan oleh acuan normatif ilmu.[23] Oleh karena itu objektivikasi dan teoretisasi konsep-konsep normatif Islam merupakan tawaran pemikiran untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum. Islamisasi tidak berarti penyangkalan total terhadap warisan intelektual peradaban lain. Karena rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak dapat dilakukan dari sebuah vacuum, tetapi di dalam ruang terbuka dengan berbagai tawaran epistemologi dan produk keilmuan.[24]
Model integrasi yang dikemukakan didasari pemikiran perlunya Islam sebagai teks (al-Qur'an dan Sunnah) dihadapkan dengan realitas. Dengan kata lain dari teks ke konteks (teks-konteks). Dalam ilmu be rarti bahwa gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah "pengilmuan Islam", sementara gerakan "islamisasi pengetahuan" adalah gerakan dari konteks ke teks (konteks-teks). Menurut pemikiran Kuntowijoyo, ada dua model utama yang semuanya berusaha kembali kepada teks. Pertama, dekodifikasi (penjabaran), yakni al-Qur'an dan Sunnah dijabarkan (dekodifikasi) ke dalam ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tasawuf, dan fiqh (atau dari teks-ke teks). Kedua, adalah islamisasi ilmu pengetahuan.
Secara harfiah, frasa pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Perlu diperhatikan bahwa term itu tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, tetapi Islam itu sendiri yang merupakan ilmu. Dengan pengilmuan Islam, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. Rahmat bagi alam semesta adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk muslim tetapi untuk semua umat manusia. Tugas muslim adalah mewujudkan visi Islam itu antara laindengan pengilmuan Islam sebagai salah satu caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.
Dalam kaitan ini pendekatan yang dipergunakan untuk mengoperasionalkan kosep-konsep normatif menjadi objektif dan empiris adalah pendekatan analitik. Pendekatan ini pertama-tama lebih memperlakukan al-Qur'an sebagai data, sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Ini merupakan suatu postulat teologis dan teoritis sekaligus. Menurut pendekatan ini, ayat-ayat al-Qur'an sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level objektif, bukan subjektif. Ini berarti, al-Qur'an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan al-Qur'an akan menghasilkan konstruk-konstruk teoritis al-Qur'an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk teoritis al-Qur'an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur'anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur'an yang kemudian memunculkan paradigma al-Qur'an.[25] Selain itu, pendekatan terhadap disiplin sosiologi pengetahuan sangat berguna dalam memahami sumber-sumber dan pemikiran Islam. Misalnya penggunaan analisis filologi dan semantik, di samping penggunaan Asbab al-Nuzul[26]
Fungsi paradigma al-Qur'an pada dasarnya adalah untuk membangun perspektif al-Qur'an dalam rangka memahami realitas. Di dalam epistemologi Islam, wahyu menjadi sangat penting. Ini yang membedakannya dengan cabang-cabang epistemologi Barat yang mengakui sumber pengetahuan hanya berasal dari akal saja (rasionalisme) atau observasi saja (empirisme). Menurut epistemologi Islam, unsur petunjuk transedental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas. Oleh karenanya, epistemologi Islam meniscayakan digunakannya berbagai macam metode yang meliputi bayani, burhani, 'irfani, serta tajribi.
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektifikasi. Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu. Sedangkan objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang. Ada perbedaan paradigmatik antara ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu integralistik. Perbedaan paradigma itu sesuai dengan pengertian paradigma Thomas Kuhn, di mana ilmu-ilmu sekuler sebagai normal sciences dan ilmu-ilmu integralistik yang sedang dirintis sebagai sebuah revolusi. Ilmu-ilmu sekuler adalah produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah produk bersama seluruh manusia beriman. Oleh karena itu sekarang ini tidak bisa secara gegabah memandang rendah danmenistakan ilmu-ilmu sekuler, sebaliknya, tetap menghormati dengan mengkritisi dan meneruskan perjalanannya. Ilmu-ilmu sekuler sekarang ini sedang terjangkit krisis, mengalami kemandekan, dan penuh bias. Berdasarkan hal inilah ilmu-ilmu integralistik bertolak.[27]
Dalam ilmu-ilmu sekuler alur pertumbuhannya adalah dimulai dari filsafat yang kemudian berujung ke ilmu sekuler. Alurnya Filsafat—antroposentrisme—diferensiasi-ilmu sekuler. Tempat berangkat ilmu-ilmu sekuler adalah modernisme dalam filsafat. Filsafat rasionalisme yang muncul pada abad ke-15/16 menolak teosentrisme abad tengah. Rasio (pikiran) manusia diagungkan dan wahyu disingkirkan. Sumber kebenaran adalah pikiran, Tuhan masih diakui keberadaannya tapi Tuhan yang lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum-hukum. Dalam rasionalisme, manusia menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri.[28]
Sewaktu manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat, terjadilah diferensiasi (pemisahan). Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Karena itu kebenaran ilmu terletak dalam ilmu itu sendiri. Ilmu harus objektif, tidak ada campur tangan etika, moral, dan lainnya. Mengaku diri sebagai objektif, value free, bebas dari kepentingan lainnya, tetapi ternyata ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atasmanusia. Klaim objektivitas ilmu mendapat kritikan tajam dari antipositivisme, terutama Karl Popper dan Thomas Kuhn. Popper menyodorkan falsifikasi, kebalikan verifikasi. Status ilmiah suatu teori adalah bisa difalsifikasi.[29]
Berbeda dari alur di atas, pada alur pertumbuhan ilmu-ilmu Integralistik digambarkan sebagai berikut. Agama—teoantroposentrisme—dediferensiasi—ilmu integralistik Al-Qur'an merupakan wahyu Tuhan yang merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya grand theory. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan.[30] Dengan demikian, sumber pengetahuan ada dua, yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia.
Dediferensiasi ialah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu. Agama menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (manfaat, merugikan). Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia. Adapun untuk pengilmuan Islam dilakukan dengan objektivikasi. Kata objektifikasi berasal dari kata objektif, membuat sesuatu menjadi objektif. Sesuatu objektif kalau keberadaannya tidak tergantung pada pikiran sang subjek, tapi berdiri sendiri secara independen. Objektifikasi bermula dari internalisasi nilai, tidak dari subjektifikasi kondisi objektif. Objektifikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif.[31]
Dalam tulisan-tulisannya yang belakangan, tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman ilmu dengan pengilmuan Islam. perbedaan pertama dalam hal metodologinya. Yang pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah ada, yang dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih difahami sebagai teks. Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu-ilmu kontemporer, namun mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekuler.
Dari sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan tek-teks agama. Dengan kata lain, menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah membumikan Islam. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif.
Jadi di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikkan, tetapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang mempunyai keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberalisasi, dan transendensi. Kerangka teoretis inilah yang ingin diturunkan kuntowijoyo dari kitab suci (dalam hal ini adalah al-Qur'an).
4.      Model Integrasi Holistik
Model "Integrasi Holistik" merupakan alternatif pemikiran yang berupaya mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum secara holistik dari berbagai aspek dan sudut keilmuan. Gagasan ini lahir dari kegelisahan guru besar dalam Filsafat Islam UIN Jakarta, Mulyadhi Kartanegara, terhadap kelangkaan literatur dan referensi yang mengkaji tentang integrasi keilmuan secara mendasar.[32] Konsepsi integrasi keilmuannya dilatarbelakangi oleh kegelisahan adanya problematika yang dikandung dalam dikotomi ilmu. Tawaran pemikiran integrasi keilmuan yang digagas Mulyadhi, bila disederhanakan, bekerja pada dua level  epistemologis: pada sistem klasifikasi ilmu dan pada metodologi ilmiahnya.
Salah satu pertanyaan penting epistemologis adalah apa yang dapat diketahui oleh manusia? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada sistem epistemologi yang dianut. Dalam epistemologi Barat (modern) yang diketahui manusia adalah segala sesuatu sejauh dapat diobservasi oleh indra. Sedangkan menurut epistemologi Islam, manusia dapat mengetahui bukan hanya yang fisik, juga yang metafisik. Sains modern membatasi objek-objek ilmu hanya pada bidang fisik-empiris karena objek-objek ini sajalah yang bisa diteliti secara objektif dan karena itu bisa diverifikasi kebenarannya. Sedangkan objek-objek non-fisik tidak bisa dicerap secara objektif sehingga akan sulit untuk diverifikasi karena subjektivitas yang terlibat di dalamnya.
Pandangan demikian muncul karena ilmuwan Barat modern meragukan keberadaan atau secara lebih epistemologis terhadap status ontologis objek-objek non-fisik. Keraguan ini telah dimulai sejak masa pasca-Renaissans Eropa (abad 14-15), ketika metafisika dan filsafat mendapat serangan yang sangat gencar dari para pemikir. Kemudian sejak paruh kedua abad ke-19, berbagai bentuk empirisisme, antara lain positivisme dan operasionalisme, membatasi pengetahuan pada data yangdidasarkan pada indra serta pengingkaran terhadap metafisika. Para penganut empirisme meyakini data indra sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan satu-satunya cara untuk sampai pada kebenaran.[33] Pandangan ini mempengaruhi komunitas ilmiah di paruh pertama abad ke-20 hingga sekarang. Ilmuwan Barat melupakan kenyataan bahwa dengan ketundukannya pada "kejadian" (generation) dan "kehancuran" (corruption), maka alam fisik tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya. Itulah sebabnya alam membutuhkan agen lain sebagai "pencipta" dunia fisik ini. Kalau alam fisik sebagai akibat dari sebab pertama, memiliki tingkat objektivitas atau status ontologis yang nyata, apalagi status ontologi pencipta, sebagai sebab primernya.[34] Karena itu, salah satu karakteristik Sains Islami adalah tidak dibatasinya eksistensi hanya pada ranah materi saja.[35]
Maka yang dimaksud dengan integrasi objek-objek ilmu adalah sebuah sistem terpadu objek-objek ilmu yang berkesinambungan dari objek-objek yang bersifat metafisik, imajinal, dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan parsial. Sesuai dengan doktrin Wahdat al-Wujud, maka wujud-wujud yang mengisi rangkaian atau hierarki wujud ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu dalam sistem epistemologi holistik semua rangkaian wujud harus diperlakukan sama. Dengan demikian, epistemologi Islam mengakui objek-objek non fisik, seperti
Tuhan, malaikat, maupun jiwa, sebagai substansi-substansi yang immateril. Selain objek-objek metafisik, dikenal juga objek-objek ilmu berupa gabungan atau berada di antara yang bersifat metafisik dan fisik, yaitu matematika dan benda-benda langit. Objek-objek matematik masih punya hubungan erat dengan benda-benda fisik, karena memang konsep-konsep atau simbol-simbol matematik diabstraksikan dari benda-benda fisik yang partikular.
Penting untuk digarisbawahi bahwa objek-objek ini telah dipandang sama-sama valid dan legitimate sebagai objek penelitian ilmiah yang telah memiliki status ontologis yang solid dan padu. Konsekuensi logis dari integrasi objek-objek ilmu adalah adanya integrasi bidang-bidang atau disiplin-disiplin ilmu.[36]
Penerimaan oleh sains Barat hanya pada objek-objek yang bersifat fisik telah mengakibatkan disintegrasi bidang-bidang keilmuan, karena dengan demikian bidang keilmuan yang tidak bersifat fisik-empiris tertolak status keilmuannya. Sebagai contoh adalah psikologi, yang merupakan ilmu tentang jiwa, dianggap sebagai disiplin ilmiah bila semua penelitian yang dilakukan di dalamnya harus bersifat empiris, sedangkan jiwa yangdipandang sebagai substansi immateriil karena tidak bersifat empiris, harus disingkirkan dari arena penelitian psikologi. Sebagai gantinya, penelitian psikologi hanya diarahkan pada tingkah laku manusia yang bisa diamati secara lahiriah (behavior)16
Dalam epistemologi Islam yang mengakui adanya objek-objek non-fisik selain yang fisik, alat atau sumber pengetahuan yang dipakai adalah indra, akal, dan hati (intuisi).[37] Dalam pandangan muslim, indra merupakan kecakapan (daya) jiwa yang dimiliki oleh setiap hewan dan manusia, dan bukan hanya sekedar kecakapan fisik semata. Bersama dengan gerak (harakah), indra (sensasi) merupakan kecakapan jiwa manusia. Sebagai kecakapan jiwa, indra-indra manusia ini bekerja dengan sangat menakjubkan. Mata, misalnya, dengan sel-sel saraf yang berhubungan dengan cahaya dapat mencerap bukan hanya bentuk benda-benda fisik yang diamatinya, melainkan juga warna mereka. Gelombang cahaya yang masuk ke retina ternyata mampu diterjemahkan oleh mata sebagai warna dan bentuk benda-benda. Dengan demikian, objek-objek fisik yang dapat ditangkapnya dengan bantuan cahaya juga bisa menimbulkan keindahan yang luar biasa bagi siapa saja yang mengamatinya.[38]peranan yang sangat esensial dalam melengkapi segala kekurangan yang diderita oleh panca indra. Akal menurut para filosof muslim merupakan kecakapan jiwa/mental yang khas manusia karena tidak ada hewan yang memilikinya.[39] Kekuatan khas yang dimiliki akal adalah kemampuannya untuk mengabstrak dari konsep-konsep universal yang sudah diabstrak dari benda-benda konkret sehingga ia mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik.[40]
Cara akal menyelidiki benda-benda fisik yang dicerap oleh indra adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental yang dimilikinya seperti kategori ruang, waktu, substansi, kuantitas, kualitas, dan kausalitas, sehingga muncullah pertanyaan apa, di mana, mengapa, siapa, berapa, yang mana, dan lain-lain. Selain itu, kemampuan akal untuk mengenal atau menangkap konsep dan informasi tidak terbatas pada objek-objek indriawi semata karena akal dapat juga menangkap konsep-konsep abstrak yang tidak berdasar pada pengindraan. Misalnya, akal mampu memahami perasaan seseorang, sedang sedih, gembira, atau kecewa, dan seterusnya.[41]
Berbeda dengan objek-objek fisik yang dikenal sebagai mahsusat (the sensibles), objek-objek nonfisik oleh filosof muslim disebut sebagai ma'qulat (the intelligibles), yakni entitas-entitas immateriil yang hanya bisa ditangkap oleh akal manusia, bukan oleh indra. Termasuk yang ma'qulat adalah akal-akal (intelek) yang dipandang memancar dari Tuhan dan yangpaling dekat dengan dunia manusia adalah akal kesepuluh yang disebut akal aktif yang dalam bahasa agama disebut malaikat Jibril. Dengan demikian, makhluk-makhluk spiritual, seperti malaikat juga dapat ditangkap (dipahami) keberadaan dan sifat dasarnya oleh akal manusia. Bahkan Tuhan sendiri sebagai sebab pertama dari akal-akal dapat ditangkap keberadaan-Nya oleh akal melalui proses penalaran rasional (silogisme), khususnya silogisme yang menggunakan dalil-dalil burhani (demonstratif). Meski demikian, akal yang dimiliki manusia memiliki keterbatasan karena hanya dapat meneropongi kenyataan kosmos ini pada taraf tertentu saja.[42]
Dalam pandangan al-Qur'an, di samping eksperimentasi dan penggunaan akal, ada cara lain untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dunia. Cara itu adalah intiusi, yang merupakan cara yang tidak bisa1 diperoleh oleh setiap orang dan disetiap waktu. Daya yang dimiliki intuisi bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh akal dan indra. Ini terjadi karena akal sering gagal dalam memahami sesuatu sebagaimana adanya, karena ketidakmampuannya untuk dapat menembus realitas sampai ke jantungnya. Menurut Immanuel Kant, akal murni (pure reason) tidak mampu mengetahui hakikat (neumena) karena ia senantiasa tertutup bagi akal. Yang diketahui lewat akal adalah "fenomena" (penampakan) bukan sesuatu sebagaimana adanya. Apa yang muncul pada diri manusia bukanlahbenda itu sendiri, melainkan sesuatu sebagaimana yang ingin diketahui oleh si peneliti, sesuatu sebagai hasil konstruksi mental atau pikiran subyektif manusia. Ketidakmampuan akal untuk menembus realitas adalah karena ketergantungannya pada simbol, berupa kata-kata. Padahal, kata kata tidak sama dengan realitas itu sendiri.[43]
Berbeda dengan pengetahuan rasional, pengenalan intuitif (irfani) disebut hudhuri, karena objek penelitiannya hadir dalam jiwa penelitinya sehingga ia menjadi satu dan identik dengannya. Pada level yang tertinggi, intuisi mewujud dalam wahyu yang khusus diperuntukkan bagi para nabi, dan pada level yang lebih rendah intuisi berwujud ilham.[44] Dengan demikian, intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan indriawi sebagai satu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia. Al-Qur'an merupakan puncak pengalaman intuitif manusia yang tertinggi. Oleh karena itu, dipandang sebagai salah satu sumber ilmu yang paling otoritatif, khususnya bagi ilmu-ilmu naqliyyah, informasi-informasi yang dikandungnya merupakan sumber pengetahuan yang paling otoritatif untuk masalah-masalah eskatologis.[45]
Pengalaman indriawi dianggap oleh sains modern sebagai satu-satunya pengalaman manusia yang dapat diverifikasi secara ilmiah, dapat dibuktikan benar tidaknya secara objektif. Sedangkan pengalaman-pengalaman manusia yang lain seperti pengaalaman intelektual dan religius dinafikan dan dianggap tidak objektif karena bersifat subjektif. Tetapi apakah betul bahwa pengalaman indriawi manusia itu bersifat objektif. Setiap pengalaman manusia, baik berupa indriawi, intelektual, maupun spiritual (religius atau mistik), memiliki dua sisi: objektif dan subjektif. Setiap pengamatan indriawi ternyata tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektivitas sang subjek. Dunia yang dialami memang bersifat objektif, tetapi dunia yang objektif tersebut dialami oleh manusianya secara subjektif.[46]
Pengalaman non-indriawi juga sama memiliki unsur subjektif dan objektif, misalnya mimpi. Dunia mimpi adalah dunia non-indriawi ketika objek-objek yang muncul dalam mimpi terlihat seperti objek-objek fisik, sebenarnya tidak bersifat fisik tetapi bersifat imajinal, yakni berupa citra citra fisik. Pengalaman mimpi memang bersifat subjektif, tapi kenyataannya bahwa setiap orang yang bermimpi melihat gambar-gambar fisik yang tak berfisik dalam mimpinya, menunjukkan bahwa dunia mimpi itu ada secara objektif. Ibnu Khaldu>n membedakan mimpi menjadi dua macam: mimpi yang sejati dan mimpi yang hanya merupakan "kembang tidur" dan bersumber semata-mata dari daya imajinasi yang dikembangkan manusia.
Berpikir adalah pengalaman yang sangat khas manusiawi. Menurut kaum empiris, nalar tidak valid sebagai sumber ilmu karena sifatnya yang apriori,  sedangkan  pengalaman  indriawi  bersifat  aposteriori,  yakniberdasarkan pengalaman langsung. Sebagai pengetahuan yang apriori, pengenalan akal bersifat general bukan partikular, sedangkan wujud nyata selalu bersifat partikular. Karena sifatnya yang seperti itu, akal tidak mampu mengenali objek yang ditelitinya secara langsung seperti halnya indra. Dengan demikian, akal tidak bisa dijadikan sebagai sumber ilmu karena tidak bersifat empiris. Akan tetapi, meski eksperimentasi dan observasi sangat diperlukan dalam memperoleh pengetahuan mengenai dunia luar, tetapi hal itu tidak memadai. Karena untuk menafsirkan dan mengorelasikan data eksperimental mestilah digunakan penalaran dan perenungan atas data empiris oleh akal.[47]
Sebagai salah satu pengalaman manusia, pengalaman intelektual bersifat subjektif. Tetapi akal manusia mempunyai kategori-kategori yang "uniform" antara yang satu dan lainnya. Setiap manusia, misalnya, mempunyai konsep ruang, waktu, kausalitas, dan sebagainya, sehingga orang lain dapat memahaminya dengan baik berdasarkan pengalaman intelektual itu.[48] Dibandingkan dengan pengalaman indra, pengalaman intelektual dapat menjangkau hal-hal yang tak terbatas. Selain dapat menjangkau yang tak terbatas, dalam pandangan al-Ghazali, akal yang dimiliki manusia-pun dapat menjangkau seluruh objek yang ada dan semua esensi, kecuali bila akal menutupi dirinya atau karena sesuatu hal.[49]
Seperti pengalaman indriawi, pengalaman intelektual juga bersifat universal karena segala keistimewaan akal bukan hanya dimiliki oleh seorang saja, melainkan juga oleh semua orang. Karena itu pengalaman intelektual lebih bersifat inter-subjektif. Sebagaimana pengalaman-pengalaman manusia lainnya, pengalaman mistik juga memiliki sifat subjektif dan objektif. Memang pengalaman mistik hanya dialami secara individual,   tetapi   setiap   diri   manusia   potensial   untuk  mengalami pengalaman mistik itu.
Pengamatan indra dapat mengenal objek-objek fisik dari berbagai dimensinya; bentuk, bunyi, bau, raba, dan rasanya. Karena keterbatasan yang dimiliki pancaindra dalam mengamati dan mengenali objek-objek fisik, maka diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengamatan indriawi lebih objektif.
Dengan demikian, metode-metode ilmiah yang telah membentuk satu kesatuan yang padu dari metode tajribi, burhani, irfani, serta bayani niscaya digunakan dalam epistemologi Islam. Sebagai metodologi ilmiah keempat metode tersebut harus dipandang sah (legitimate) karena perbedaan mereka tidaklah karena kualitasnya sebagai metodologi tetapi semata-mata karena perbedaan sifat dasar objek-objek yang mereka teliti. Karena itu, kalangan muslim berkeyakinan bahwa semua ilmu datang dari Tuhan, baik diperoleh melalui saluran indra, observasi, akal sehat, maupun intuisi. Di sinilah letak perbedaan dengan filsafat dan sains modern Barat. Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa pandangan filsafat dan sains kontemporer mulai mengakui dan menerima epistemologi yang berkembang dalam tradisi Timur.
Pemihakan sains modern terhadap materialisme dalam bentuk positivisme dan naturalisme telah menyebabkan timbulnya revolusi terhadap penjelasan ilmiah Aristotelian yang mensyaratkan sebuah penjelasan ilmiah untuk memenuhi empat sebab atau empat prinsip penjelasan: (1) sebab efisien, (2) sebab final, (3) sebab materiil, dan (4) sebab formal. Dalam sains modern, sebab materiil dan formal dianggap kuno dan tidak memiliki nilai atau makna yang besar kecuali dalam estetika. Sebab final juga telah lama diabaikan dalam fisika. Dalam biologi, sebab final terkadang masih digunkan, pada level common sense, untuk memahami fenomena biologis atau perkembangan, tetapi sebagian besar ahli biologi dengan terang-terangan menganggap tak berguna terhadap sebab-sebab tersebut. Bahkan, dalam psikologi peranan sebab-sebab final sangat kontroversial. Pada masa kini satu-satunya sebab yang masih diperhatikan dalam penjelasan ilmiah sains modern adalah sebab efisien, yang dipandang sebagai sebab terjadinya gerak atau perubahan. Meskipun begitu, ilmuwan modern menganggapsebab efisien dunia materiil berasal dari dirinya sendiri bukan dari luar, dan menyebutnya sebab imanen.[50]
Ilmuwan modern hanya menganggap perlu satu macam sebab saja untuk penjelasan ilmiah, yaitu sebab efisien, yang dipahami sebagai sebab penggerak yang berasal dari dirinya sendiri. Tetapi, dari sudut pandang keilmuan yang integral dan holistik, penjelasan ilmiah modern tersebut bisa merugikan karena meninggalkan banyak aspek yang seharusnya dijelaskan dengan terperinci dan jelas dalam penjelasan ilmiah yang integral. Akibatnya, penjelasan ilmiah akan bersifat timpang dan distorsif, dengan membiarkan celah-celah yang lebar tak tersentuh.[51]
Dalam sains modern, aspek teologi telah diabaikan begitu saja. Mereka beranggapan bahwa dunia ini tidak memiliki tujuan. Mereka memandang teologi tidak berguna, bahkan merugikan kegiatan ilmiah.[52] penjelasan ilmiah yang terkadang masih dipakai yaitu sebab efisien, jelas tidak memadai untuk meneliti atau menyelidiki semua aspek sebuah objek. Sebagai contoh, teori penjelasan ilmiah modern tidak merasa perlu untuk mempertanyakan apa tujuan penciptaan alam semesta oleh penciptanya. Penjelasan ini dipandang tidak relevan oleh astrofisikawan modern karena menyangkut sebab final yang dianggap telah ketinggalam zaman dan tidak diperlukan. Sains modern tidak hendak menjawab pertanyaan "mengapa" tetapi hanya menjawab pertanyaan "bagaimana".[53] Ini berbeda denganpandangan muslim bahwa penciptaan dunia memiliki tujuan. Pertanyaan tentang apa tujuan penciptaan alam amat berguna untuk memberikan orientasi kepada manusia yang hidup di dalamnya. Al-Qur'an menyatakan bahwa alam semesta tidak diciptakan kecuali dengan sebuah tujuan (illa bi al-Baqq)
Dalam pandangan sains modern yang masih mempertahankan sebab efisisen tetapi yang diapahami sebagai "sebab imanen", pertanyaan siapa yang menciptakan alam, tetap tidak terjawab dengan baik. Menurut mereka, "sebab imanen" yang merupakan sebab dari gerak alam tidak perlu dicari di luar dirinya, tetapi cukup di dalam dirinya sendiri (imanen). Alam kemudian dikonsepsikan sebagai sesuatu yang dapat menciptakan dirinya. Padahal dalam pandangan dunia Islam, Tuhan adalah pencipta dan pemelihara alam semesta. Sebagai kebalikan dari sains sekuler yang mengabaikan Tuhan, membatasi eksistensi hanya pada dunia material, mengingkari tujuan apa pun bagi alam semesta, dan mengabaikan nilai. Sains dalam pandangan Islam memperlihatkan saling keterkaitan dari semua bagian alam semesta. Kajian tentang fenomena alam akan menunjukkan adanya saling keterkaitan antara berbagai bagian alam, setidak-tidaknya pada tingkat yang fundamental. Ini dipandang sebagi tanda kesatuanpenciptaan alam. Dari sudut pandang al-Qur'an, kesatuan penciptaan menjadi petunjuk terhadap keesaan Sang Pencipta.
Sementara sebab materiil, masih dipertahankan oleh sebagian ilmuwan. Sedangkan sebab formal, sebagaimana sebab final, telah disingkirkan oleh banyak ilmuwan modern, karena sebab tersebut dipandang tidak menjelaskan fakta, tetapi berbicara tentang makna, sedangkan sains tidak membutuhkan makna. Dalam pandangan Aristotelian dan para pengikut muslimnya, "bentuk" atau "sebab formal" merupakan komponen yang penting bagi terwujudnya objek apa pun, karena tanpa bentuk sesuatu itu hanya akan berada pada taraf potensial dan tidak aktual. Oleh karena itu, pandangan ilmiah yang integral dan komprehensif, meniscayakan adanya keempat prinsip penjelasan atau sebab itu harus dikembalikan, dan harus mendapatkan penjelasan ilmiahnya masing-masing. Apa yang dimaksud Aristoteles dengan sebab-sebab tersebut? Pertama, sebab efisien. Sebab efisien didefinisikan Aristoteles sebagai "sebab lewat mana suatu perubahan dibuat". Sebab final dipahami sebagai "tujuan untuk apa sebuah perubahan dihasilkan". Sedangkan sebab materiil adalah sebab ketika sebuah perubahan dibuat. Sebab formal adalah sebab ke mana sesuatu itu diubah.[54]
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, keempat prinsip (sebab) penjelasan ilmiah ini selalu mendapat perhatian yang serius, semenjak al-Kindi hingga ibnu Khaldun, Tabataba'i, dan lain-lain. Alasan pentingnya mengembalikan keempat prinsip penjelasan ilmiah tersebutadalah karena tanpa keempat prinsip tersebut, penjelasan tentang sebuah objek yang diteliti tidak akan komplit dan komprehensif. Para pemikir muslim memandang penting kajian teoritis ilmu pengetahuan sehingga istilah Fiqh al-Akbar ditujukan untuk ilmu-ilmu teoritis, sedangkan Fiqh al-Asghar untuk ilmu-ilmu praktis. Para filosof muslim membagi ilmu pada dua klasifikasi/jenis, teoritis dan praktis. Pembagian ini terkait erat dengan pembagian akal oleh mereka ke dalam akal teoritis dan akal praktis. Perbedaan fundamental antara ilmu-ilmu teoritis dan praktis, dari sudut objeknya adalah bahwa objek-objek ilmu teoritis berupa benda/entitas (fisik dan non-fisik), sedangkan objek-objek ilmu praktis adalah tindakan volunter (bebas) manusia. Sementara dari sudut tugasnya, tugas utama akal teoritis adalah mendirikan bangunan ilmiah ilmu yang komprehensif. Sedangkan tugas utama akal praktis adalah mengelola nafsu-nafsu manusia sehingga akal praktis disebut oleh mereka sebagai mudabbir, manajer.[55]
Dalam tradisi filsafat Islam, sekalipun bisa dibedakan menurut objek dan tugasnya, antara pengetahuan teorotis dan praktis tidak bisa dipisahkan secara tegas. Ilmu-ilmu praktis selalu memiliki landasan teoritis, khususnya landasan metafisiknya. Oleh karena itu, integrasi ilmu pengetahuan tidak mungkin tercapai hanya dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang memiliki basis teoritis yang berbeda (sekuler dan religius). Sebaliknya, integrasi (atau reintegrasi) meniscayakan pemaduan hingga tingkat epistemologi. Untuk   mencapai   tingkat   integritasepistemologi, maka integrasi harus diusahakan pada beberapa level: integrasi ontologis, integrasi klasifikasi ilmu, dan integrasi metodologis.[56] Dengan demikian, integrasi mesti dilakukan secara holistik mencakup seluruh dasar bangunan keilmuan.
Model integrasi yang dirumuskan Mulyadhi Kartanegara ini sejalan dengan perubahan paradigma yang berkembang dalam filsafat dan sains kontemporer. Untuk menyebut sebagai contoh misalnya, karya-karya Fritjof Capra telah mendekonstruksi asumsi-asumsi sains Barat modern yang mengagungkan pada materialisme. Capra justru menemukan titik temu antara pandangan dunia Timur yang tidak memisahkan materi dengan jiwa (roh) dengan penemuannya pada benda-benda sub-atomik. Hasil penelitiannya justru menunjukkan tidak terpisahnya materi dengan non-materi. Konsekuensinya, hirarki realitas sebagai satu kesatuan yang membentuk jejaring, mulai memperoleh pengakuan.
Terkait dengan model integrasi antara agama dan sains, terdapat beberapa model integrasi ilmu dan agama menurut Armahedi Mahzar, model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar yang menjadi komponen utama model itu, yaitu model monadik, diadik, triadik, dan pentadik integralisme Islam.[57]

C.      Penutup  
1.    Integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum, dalam manajemen lembaga pendidikan Islam dapat dilihat dari perkembangan IAIN menjadi UIN yang berimplikasi pada kurikulum.
2.    Model pendekatan integrasi interkoneksi yaitu mengikuti pola single entity dalam arti diantara kedua pengetahuan agama dan umum berdiri sendiri tanpa ada dealektika diantara keduanya, ataukah mengikuti model isolated entities dalam arti masing-masing rumpun ilmu berdiri sendiri. Atau model interconected entities, dalam arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan pendekatan (approach) dan metode berfikir dan penelitian (process and procedure).
3.    Pendekatan objektifikasi Islam  yaitu ada dua model utama yang semuanya berusaha kembali kepada teks. Pertama, dekodifikasi (penjabaran), yakni al-Qur'an dan Sunnah dijabarkan (dekodifikasi) ke dalam ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tasawuf, dan fiqh (atau dari teks-ke teks). Kedua, adalah islamisasi ilmu pengetahuan.
4.    Model Integrasi Holistik merupakan alternatif pemikiran yang berupaya mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum secara holistik dari berbagai aspek dan sudut keilmuan.



DAFTAR PUSTAKA

A1-Ghazali, Imam. Mishkat al-Anwar. Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964.
Abdullah, M. Amin. Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integrartif Interdisciplinary, dalam Zainal Abidin Bagir dkk. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Ghazali, Imam.  Ihya al- 'Ulum al-Din, Jilid III. Semarang: Thaha Putera, t.t.
Al-Qardhawi, Yusuf. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifahwal Hadharah” diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.
Armai Arief. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I. Jakarta: CRSD Press, 2005.
Azra, Azyumardi. '"Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam", dalam Zainal Abidin Bagir dkk. [Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005.
Bakar, Osman. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan, 1998.
Fadjar, Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998.
Gahrial, Donny Adian. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Bandung: Teraju, 2002.
Golshani, Mehdi. Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains. Bandung: Mizan dan CRCS Graduate Program UGM Yogyakarta, 2004.
Kartanegara, Mulyadhi.  Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Mizan Press:  2005.
-----------------,.  Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1998.
Kusmana. Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Mahzar, Armahedi. Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi dalam Jarot Wahyudi, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005.
Mohd, Syed. Naquib al-Attas,  Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1984.
Mohd, Wan Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terjemahan dari The Concept of Knowledge in Islam and Implication for Education in a Developing Country. Bandung: Pustaka, 1997.
Rahim, Husni. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Logos, tt.
Sardar, Ziauddin. The Ethical Connection: Christian Muslim Relations in the Postmodern Age, dalam Islam and Cristian-Muslim Relations, Volume 2, No. 1, Juni 1991
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi Bandung: Mizan, 2006.


[1] Syed Mohd. Naquib al-Attas,  Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), 9
[2] Osman Bakar. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998),  61.
[3] Arief, Armai. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I (Jakarta: CRSD Press, 2005), 3
[4] Yusuf al-Qardhawi. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifahwal Hadharah” diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 87
[5] Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Logos, tt),18.
[6] Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998), 53.
[7] Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 13.
[8] Azyumardi Azra, '"Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam", dalam Zainal Abidin Bagir dkk. [Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), 210.
[9] Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 64.
[10] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, 17.
[11]Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 214
[12]M. Amin Abdullah, Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integrartif Interdisciplinary, dalam Zainal Abidin Bagir dkk. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), 242.
[13] Ibid.
[14] Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), 183
[15] M. Amin Abdullah, Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN..., 251, 253.
[16] Ibid., 261.
[17] Ziauddin Sardar, The Ethical Connection: Christian Muslim Relations in the Postmodern Age, dalam Islam and Cristian-Muslim Relations, Volume 2, No. 1, Juni 1991, 66.
[18] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu... , 57.
[19] Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn (Bandung: Teraju, 2002), 174
[20] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, 64.
[21] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 106.
[22] Ibid., 107.
[23] A.E. Priyono, "Periferalisasi, Oposisi, dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak Pemikiran DR. Kuntowijoyo)" Prolog dalam buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), 38.
[24]A.E. Priyono, Periferalisasi, Oposisi, dan Integrasi Islam di Indonesia..., 39.
[25] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu...,16.
[26] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terjemahan dari The Concept of Knowledge in Islam and Implication for Education in a Developing Country (Bandung: Pustaka, 1997), 5.
[27] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu...,51.
[28] Ibid., 53.
[29] Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, 83-91.
[30] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu... , 56.
[31] Ibid.,
[32] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Mizan Press:  2005), 34.
[33] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains (Bandung: Mizan dan CRCS Graduate Program UGM Yogyakarta, 2004), 11.
[34] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., 60-61.
[35] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains.., 47.
[36] Ibnu Sina mengelompokkan objek-objek ilmu ke dalam tiga macam, yaitu: (1) objek-objek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak [disebut sebagai objek-objek metafisik] menghasilkan kelompok ilmu-ilmu metafisika; (2) objek-objek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak; dan [disebut sebagai objek-objek fisik dan menghasilkan ilmu-ilmu fisika] (3) objek-objek yang pada dirinya immateriil tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak (disebut objek-objek matematika). Ketiga kelompok bidang ini telah membentuk kesatuan bidang-bidang ilmu yang koheren, semacam trilogi bidang ilmu yang solid yang menjamin integrasi di bidang klasifikasi ilmu. Dalam Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu... , 71-73.
[37] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains... , 10.
[38] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu... , 101.
[39]Al-Ghazli, Ihya al- 'Ulum al-Din, Jilid III (Semarang: Thaha Putera, t.t), 11.
[40] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu...,107.
[41] Ibid., 109
[42]Menurut Endang Safuddin Anshari dengan kemampuan struktur rasional membuat manusia dapat (1) membentuk pengertian-pengertian, (2) merumuskan konsep, (3) menarik kesimpulan. Karena itu rasio dapat memberi kemungkinan pada manusia untuk menyelami dan memahami hal-hal yang matematis saja, tetapi juga dapat menjelajahi dunia spiritual. Lihat dalam Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 2002), 150.
[43] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu...,111.
[44] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains... , 11.
[45] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu...,111.
[46] Ibid., 116.
[47] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains...,10.
[48] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu...,122-123.
[49] A1-Ghazali, Mishkat al-Anwar (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964), 45-46.
[50] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu...,148.
[51] Ibid., 150.
[52] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains..., 24.
[53] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu... , 151.
[54] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu... , 150.
[55] Ibid., 153 dan 163.
[56] Ibid., 208
[57]Armahedi Mahzar, Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi dalam Jarot Wahyudi, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005), 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar