INTEGRASI ILMU DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP MANAJEMEN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
oleh:
A. Izzul Muthok
(Penulis adalah Sekretaris Ranting NU Desa Juwet)
A. Pendahuluan
Maraknya kajian
dan pemikiran integrasi ke ilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang
santer di dengungkan oleh kalangan intelektual muslim, antara lain Naquib
Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[1],
tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi. Potensi
keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem ilmu pengetahuan
Barat yang tengah mengalami krisisidentitas inilah yang kemudian memberikan
kesadaran baru kepada umat Islam untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu
pengetahuan.
Usaha menuju
integrasi ke ilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami
pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H/890 M) gagasan tentang
kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional
terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan
mendapat tempatnya. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu
pengetahuan mendapatkan ilmu itu.[2]
Dengan
demikian, gagasan integrasi ke ilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu
Islam dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist. Usaha Natsir untuk
mengintegralkan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan mendirikan
lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan dua kurikulum, antara kurikulum yang
dipakai sekolah-sekolah tradisional yang lebih banyak memuat pelajaran umum.[3]
Tidak beda jauh
dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan
dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi
Islam. Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini. Pertama, akar
keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua,
modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan,
walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralis medan integrasi
keilmuan Islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi
keilmuan.
Berbagai
dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum pada kenyataanya tidak
mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagaimana dilakukan Abduh
dan Ahmad Khan atau Mukti Ali dan Harun Nasution, amak Ismail Raji Al-Faruqi
dan Naquib Al-Attas melakukan pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi
pengetahuan (integrasi keilmuan), yakni dengan pendekatan purifikasi atau
penyucian.
Dikotomi
keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam ini sudah
berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad
stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum
juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad
ke-18 hingga abad ke-19, dimana negara-negara Islam tidak mampu menolak
upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya.
Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan Islam. Setidaknya
ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.[4]
Dalam tulisan
ini, penulis akan mengangkat tema integrasi ilmu dengan beberapa sub pembahasan
yaitu: integrasi ilmu agama dan umum dalam manajemen pendidikan Islam, Model Pendekatan
Integratif-Interkonektif, model objektivikasi Islam, model integrasi holistik.
B.
Pembahasan
1.
Integrasi Ilmu
Agama dan Umum dalam Manajemen Pendidikan Islam
Secara historis, wacana dan gerakan untuk
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum pada lembaga pendidikan Islam di
Indonesia merupakan tahapan yang tak terpisahkan dari arus modernisasi
pendidikan Islam, khususnya madrasah, yang menguat pada dekade 1970-an,
tepatnya semenjak keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada
tahun 1975 yang berakibat pada semakin terintegrasinya madrasah dan sekolah.[5]
Dalam perkembangannya, madrasah dan sekolah semakin terintegrasi yang
diperkokoh dengan keluarnya Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.[6]
Wacana dan gerakan untuk mengintegrasian ilmu khususnya di lingkungan Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) semakin menemukan momentumnya pada dekade
awal abad ke-21 seiring dengan perubahan politik di tanah air dan lahirnya UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[7]
Sejalan dengan itu, upaya mewujudkan integrasi
keilmuan di lingkungan Perguruan Tinggi Islam dalam kenyataannya antara lain
dihadapkan pada adanya kompartementalisasi yang cukup parah dalam bentuk
fakultas dan jurusan sejak awal menjadi mahasiswa. Akibat kompartementalisasi
ini, menurut Azyumardi Azra, mahasiswa cenderung mempunyai pemahaman yang
terpilah-pilah tentang Islam. Untuk penguasaan yang komprehensif dan integral
terhadap Islam, seyogyanya tidak ada pembagian kefakultasan dan jurusan
setidak-tidaknya dalam 2 tahun pertama program strata satu (S1). Dalam masa
ini, mahasiswa diberikan mata kuliah umum yang sama, pembidangan dan penjurusan
dilakukan setelah itu. Tantangan berikutnya adalah membawa ilmu-ilmu
ke dalam mainstream perspektif Islam, ilmu secara utuh. Rekonsiliasi dan
reintegrasi antara dua kelompok keilmuan ilmu-ilmu yang berasal dari ayat-ayat qur'aniyyah
dan yang
berasal dari ayat kawniyyah kembali
pada kesatuan transenden semua ilmu pengetahuan.[8]
Dengan demikian, reintegrasi berarti menghilangkan dikotomi ilmu untuk
dikembalikan sesuai asal mulanya dalam satu bangunan keilmuan, sebagaimana yang
dipraktikkan pada masa awal Islam. Hanya berbeda pada sumber dari mana
pengetahuan itu diperoleh. Oleh karenanya terhadap dua jenis atau tingkat
kebenaran itu, mesti diletakkan pada proporsinya masing-masing sehingga tidak
terjadi klaim kebenaran.
Terkait hal itu, eksperimen di UIN Jakarta
mengambil dua langkah strategis. Pertama, mengembangkan suasana dialogis antara berbagai
disiplin ilmu dilingkungan universitas, baik antara disiplin ilmu
"umum" dengan ilmu "agama" maupun di antara cabang-cabang
ilmu agama itu sendiri. Kedua, membangun integrasi keilmuan yang dibangun dari
basis filsafat keilmuan, meliputi aspek ontologi, epistimologi, serta
aksiologi.[9]
Dengan demikian eksperimen UIN Jakarta
menyatukan (menghilangkan) dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu
umum adalah dengan cara pendekatan kelembagaan dan kurikulum. Pendekatan
kelembagaan merubah IAIN menjadi UIN yang berimplikasi pada perubahan kurikulum
pendidikan. Pendekatan semacam ini, paling tidak memiliki dua sebab utama
kelemahan. Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu
keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Ilmu-ilmu agama bersumber dari wahyu dan
berorientasi ketuhanan, sedangkan ilmu-ilmu umum bersumber pada empirisme dan
berorientasi kemanusiaan. Kedua, modernisasi dan islamisasi ilmu melalui
kurikulum dan kelembagaan, meski dilakukan untuk tujuan integralisme dan
integrasi keilmuan, sampai kapanpun tetap menyisakan dikotomi keilmuan.
Implementasi dalam kurikulum pada lembaga pendidikan (UIN dan madrasah) tetap
mengelompokan mata pelajaran/mata kuliah ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
tidak bisa mewujudkan proses islamisasi ilmu pengetahuan. Yang terjadi adalah
upaya islamisasi kelembagaan dan kurikulum. Oleh karena itu, perubahan mesti
dilakukan pada level yang paling mendasar yaitu perubahan pada level filsafat
keilmuannya.
Sementara itu, UIN Malang menggunakan konsep
dengan menggunakan metafora sebatang pohon besar dan rindang, yang akarnya
menghunjam ke bumi, batangnya kukuh dan besar, berdahan dan ranting serta daun
yang lebat, dan akhirnya pohon itu berbuah yang sehat dan segar sebagai
gambaran filsafat keilmuannya. Akar yang kuat menghunjam ke bumi sebagai
gambaran kecakapan yang harus dimiliki oleh siapa saja yang melakukan kajian
Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan Hadis, yaitu kemampuan berbahasa Arab
dan Inggris, logika atau ilmu mantiq, ilmu alam, dan ilmu sosial. Sebagaimana
posisinya sebagai alat, idealnya kecakapan itu harus dikuasai secara penuh
sebelum yang bersangkutan memulai melakukan kajian Islam yang bersumber dari
kitab suci itu. Batang dari sebuah pohon menggambarkan objek kajian Islam,
yaitu al-Qur'an, Hadis, pemikiran Islam, dan sejarah Islam. Mempelajari bidang
ilmu ini hukunya fardu ain Sedangkan
dahan yang jumlahnya cukup banyak, ranting, dan daun dalam metafora ini
menggambarkan disiplin ilmu yang beraneka ragam beserta sub disiplinnya. Buah
pohon menggambarkan hasil kegiatan kajian agama yang mendalam dan ilmu
pengetahuan yang cukup,yaitu iman, amal saleh, dan akhlaq
al-karimah. Pohon besar digunakan pula untuk menggambarkan
sebuah batang ilmu. Batang tentu harus tumbuh di atas tanah yang subur tapi
padat. Jika batang digunakan untuk menggambarkan pengembangan aspek akademik,
tanah yang gembur tapi padat itu digunakan untuk menggambarkan bangunan
kulturalnya. Akademik tanpa dibarengi dengan pengembangan kulturalnya,
lebih-lebih untuk kajian Islam, tidak akan mendapatkan kekuatan yang
semestinya.[10]
Melalui metafora pohon itu, integrasi ilmu dan
agama lebih cenderung menyerupai pandangan Imam al-Ghazali, bahwa mendalami
ilmu agama bagi setiap orang adalah kewajiban pribadi (fardu
'ain); sedangkan
mendalami ilmu umum, seperti kedokteran, teknik, pertanian, perdagangan, dan
lain-lain adalah fardu kifayah[11] Demikian
pula halnya bangunan kurikulum UIN Malang, bahwa mendalami sumber-sumber ajaran
Islam adalah wajib untuk seluruh mahasiswa apapun program studinya. Selain itu
setiap mahasiswa diwajibkan pula mendalami bidang ilmu lainnya sebagai
keahliannya yang bersifat fardu 'ayn. Dengan
model konseptual seperti itu diharapkan akan terjadi integrasi keilmuan secara
kokoh..
2. Model Pendekatan
Integratif-Interkonektif
Konsep ini, pertama kali dimunculkan oleh M.
Amin Abdullah, rektor UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Konsep ini berpijak dari
bangunan keilmuan Islam itu sendiri. Menurutnya, perpaduan antara
"ilmu" dan "agama" selama ini ada yang mengikuti pola single
entity dalam
arti diantara kedua pengetahuan agama dan umum berdiri sendiri tanpa ada
dealektika diantara keduanya, ataukah mengikuti model isolated
entities dalam arti masing-masing rumpun ilmu berdiri
sendiri. Atau model interconected entities, dalam
arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan
manusia, lalu menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan
pendekatan (approach) dan
metode berfikir dan penelitian (process and procedure)[12]
Pada level praksis, yang menjadi masalah adalah
mengapa dosen dan mahasiswa pada bidang natural sciences tidak
mengenal isu-isu dasar social-sciences, dan humanities
dan
lebih-lebih religious studies dan
begitu sebaliknya.[13]
Dalam tradisi keilmuan agama Islam di STAIN dan IAIN, besar kemungkinan juga
pengajaran agama di sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum, dan lebih-lebih di
Pesantren-Pesantren, corak pemikiran keislaman model bayani sangat
mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi
epistemologi irfani dan burhani.
Menyatukan "teks" dan
"akal" memunculkan kekakuan dan ketegangan tertentu. Untuk
menghindarinya dalam berfikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber
utamanya, epistemologi pemikiran keagamaan Islam telah memiliki dan menyediakan
mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam lewat epistemologi irfani. Pola
pikir ini lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Jika sumber terpokok
ilmu pengetahuan dalam tradisi irfani adalah exsperience
(pengalaman).
Validitas kebenaran epistemologi irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara
langsung, intuisi, atau psikognosis. Sekat-sekat formalitas lahiriah yang
diciptakan oleh tradisi epistemologi bayani maupun burhani yang ikut andil merenggangkan dan mengambil
jarak hubungan interpersonal antar umat manusia, diketepikan oleh tradisi
berpikir 'irfani. Spiritualitas-esoterik dan bukannya
eksternalitas-esoterik yang lebih menekankan identitas lahiriah agama, bahasa,
dan lainnya, dikedepankan oleh corak nalar epistemologi 'irfani
Jika sumber (origin)
ilmu
dari corak epistemologi bayani adalah teks, sedangkan 'irfani adalah direct
experience (pengalaman langsung), epistemologi burhani bersumber
pada realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan, maka tajribi merupakan
hasil eksperimentasi terhadaprealitas empiris.[14]
Kalau saja empat pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu tajribi,
bayani, 'irfani, dan burhani, saling terkait, terjaring, dan terpatri dalam
satu kesatuan yang utuh, maka corak keilmuan yang dikotomis-atomistis pasti
akan memudar dan lenyap.[15]
Konsekuensi lebih lanjut dari upaya reintegrasi
epistemologi keilmuan umum dan agama adalah perlunya dialog dan kerjasama
antara disiplin ilmu umum dan agama. Pendekatan interdisciplinary
dikedepankan,
interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai displin ilmu perlu\ memperoleh
skala prioritas.[16]
Pendekatan semacam ini dapat disederhanakan dalam skema berikut.
Gambar
2.3 Skema Interconnected entities
Skema di atas menjelaskan bahwa masing-masing
rumpun ilmu sadar akan berbagai keterbatasan dimiliki ilmu itu, oleh karenanya
perlu dilakukan dialog dan kerjasama untuk memanfaatkan metode dan pendekatan
yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk menutupi kekurangan dan kelemahan
pada masing-masing ilmu itu. Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik
fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan,
nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut Shari'ah[17]
Kitab
suci al-Qur'an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat
menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu.
Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu
seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekuler Barat. Agama memang
mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit
pengetahuan. Akan tetapi, agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada
dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang
berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.
Menurut Amin Abdullah, modernisme dan
sekulerisme sebagai hasil turunannya yang menghendaki diferensiasi yang ketat
dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, spesialisasi
dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarakpandang atau horizon
berfikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu ada perubahan yang
dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan ujungnya adalah dediferensisasi
(penyatuan
atau rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan
sektor-sektor kehidupan lain, maka dideferensiasi menghendaki
penyatuan kembali agama dan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan
ilmu.[18]
Dalam pandangan Amin Abdullah, ilmu-ilmu
sekuler yang mengklaim sebagai value free (bebas
dari nilai dan kepentingan) ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu
diantaranya ialah dominasi kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi
negara-negara kuat di era globalisasi), dan kepentingan militer/perang (seperti
ilmu-ilmu nuklir), dominasi kepentingan kebudayaan Barat (orientalisme).[19]
Ilmu yang lahir bersama etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti
itu. Semua diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama.
Beberapa contoh berikut memberi gambaran
mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototipe sosok ilmuwan
integratif yang dihasilkannya. Sebagai contoh, ilmu Ekonomi Syari'ah yang sudah
nyata ada praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiranmanusia.[20]
Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi di antaranya adalah bagi hasil (al-Mudharabah),
dan
kerjasama (al-Musharakah). Di sini terjadi
proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang bermanfaat bagi
orang dari semua penganut agama, bahkan anti agama. Pola kerja keilmuan yang
integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik ini dituntut
dapat memasuki wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi,
lingkungan, kesehatan, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya.[21]
Dengan demikian, integrasi ilmu agama dan ilmu umum meniscayakan kajian dan
pemikiran secara filosofis dengan melibatkan berbagai pendekatan dan metode
keilmuan. Integrasi dilakukan dengan mengislamkan ilmu pengetahuan di satu sisi
dan pengilmuan Islam di sisi lain. Model integrasi yang ditawarkan M. Amin
Abdullah dapat dilihat melalui bagan Jaring Laba-Laba berikut.
Gambar 2.4 Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentrik-integralistik[22]
Gambar di atas mengilustrasikan hubungan jaring
laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Tergambar
bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus
terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern karena
dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang
kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar sosok manusia
beragama (Islam) yang terampil dalam dalam menangani dan menganalisis isu-isu
yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern
dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural
science), ilmu-ilmu sosial (social
science) dan humaniora (humanities)
kontemporer.
Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi
landasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Qur'an
dan Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu
menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanscbuung) keagamaan
manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu
diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar
belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.139
Model
pendekatan integratif-interkoneksitas yang dikembangkan M. Amin Abdullah ini
pada dasarnya belum sepenuhnya mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dalam
bingkai struktur keilmuan yang padu. Dari penjelasan yang diuraiakan dengan
adanya pengakuan terhadap entitas masing masing ilmu, nampaknya, model yang
dikembangkan masih berada pada level dialog, mengakui keberadaan dan
independensi setiap ilmu tetapi perlu diupayakan kerjasama untuk menutupi celah
masing-masing. Problem yang muncul dari pendekatan ini adalah pada persoalan
metode keilmuan yang konsekuensinya adalah berkenaan dengan status kebenaran
atau validitas suatu ilmu.
3. Model
Objektivikasi Islam
Model
yang digagas Kuntowijoyo merupakan jawaban terhadap problem konflik antara ilmu
dan agama. Menurut Kuntowijoyo, konflik yang terjadi di Barat itu disebabkan,
karena konsep-konsep teoretis ilmu telah berubah menjadi acuan-acuan normatif;
dan ini mengakibatkan agama kemudian mengalami krisis kredibilitas karena acuan
normatif transendentalnya digantikan oleh acuan normatif ilmu.[23]
Oleh karena itu objektivikasi dan teoretisasi konsep-konsep normatif Islam
merupakan tawaran pemikiran untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Islamisasi tidak berarti penyangkalan total terhadap warisan intelektual
peradaban lain. Karena rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak dapat
dilakukan dari sebuah vacuum, tetapi di dalam ruang terbuka dengan berbagai
tawaran epistemologi dan produk keilmuan.[24]
Model
integrasi yang dikemukakan didasari pemikiran perlunya Islam sebagai teks
(al-Qur'an dan Sunnah) dihadapkan dengan realitas. Dengan kata lain dari teks
ke konteks (teks-konteks). Dalam ilmu be rarti bahwa gerakan intelektual Islam
harus melangkah ke arah "pengilmuan Islam", sementara gerakan
"islamisasi pengetahuan" adalah gerakan dari konteks ke teks
(konteks-teks). Menurut pemikiran Kuntowijoyo, ada dua model utama yang
semuanya berusaha kembali kepada teks. Pertama, dekodifikasi (penjabaran), yakni al-Qur'an dan
Sunnah dijabarkan (dekodifikasi) ke dalam ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tasawuf,
dan fiqh (atau dari teks-ke teks). Kedua, adalah islamisasi ilmu pengetahuan.
Secara
harfiah, frasa pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Perlu
diperhatikan bahwa term itu tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber
ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, tetapi Islam itu sendiri
yang merupakan ilmu. Dengan pengilmuan Islam, yang ingin ditujunya adalah aspek
universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta bukan hanya bagi
pribadi-pribadi atau masyarakat muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk
di alam semesta ini. Rahmat bagi alam semesta adalah tujuan akhir pengilmuan
Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk muslim tetapi untuk semua umat
manusia. Tugas muslim adalah mewujudkan visi Islam itu antara laindengan
pengilmuan Islam sebagai salah satu caranya. Secara lebih spesifik, Islam
di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.
Dalam
kaitan ini pendekatan yang dipergunakan untuk mengoperasionalkan kosep-konsep
normatif menjadi objektif dan empiris adalah pendekatan analitik. Pendekatan
ini pertama-tama lebih memperlakukan al-Qur'an sebagai data, sebagai suatu
dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Ini merupakan suatu
postulat teologis dan teoritis sekaligus. Menurut pendekatan ini, ayat-ayat
al-Qur'an sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus
dianalisis untuk diterjemahkan pada level objektif, bukan subjektif. Ini
berarti, al-Qur'an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.
Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian
pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan al-Qur'an akan menghasilkan
konstruk-konstruk teoritis al-Qur'an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk
teoritis al-Qur'an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur'anic
theory building, yaitu perumusan teori al-Qur'an yang kemudian
memunculkan paradigma al-Qur'an.[25]
Selain itu, pendekatan terhadap disiplin sosiologi pengetahuan sangat berguna
dalam memahami sumber-sumber dan pemikiran Islam. Misalnya penggunaan analisis
filologi dan semantik, di samping penggunaan Asbab
al-Nuzul[26]
Fungsi
paradigma al-Qur'an pada dasarnya adalah untuk membangun perspektif al-Qur'an
dalam rangka memahami realitas. Di dalam epistemologi Islam, wahyu menjadi
sangat penting. Ini yang membedakannya dengan cabang-cabang epistemologi Barat
yang mengakui sumber pengetahuan hanya berasal dari akal saja (rasionalisme)
atau observasi saja (empirisme). Menurut epistemologi Islam, unsur petunjuk
transedental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting.
Pengetahuan wahyu menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk
mengenai realitas. Oleh karenanya, epistemologi Islam meniscayakan digunakannya
berbagai macam metode yang meliputi bayani, burhani, 'irfani, serta tajribi.
Ada dua
metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan
objektifikasi. Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia
dengan wahyu. Sedangkan objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam
sebagai rahmat untuk semua orang. Ada perbedaan paradigmatik antara ilmu-ilmu
sekuler dan ilmu-ilmu integralistik. Perbedaan paradigma itu sesuai dengan
pengertian paradigma Thomas Kuhn, di mana ilmu-ilmu sekuler sebagai normal
sciences dan ilmu-ilmu integralistik yang sedang dirintis sebagai sebuah
revolusi. Ilmu-ilmu sekuler adalah produk bersama seluruh manusia, sedangkan
ilmu-ilmu integralistik adalah produk bersama seluruh manusia beriman. Oleh
karena itu sekarang ini tidak bisa secara gegabah memandang rendah
danmenistakan ilmu-ilmu sekuler, sebaliknya, tetap menghormati dengan mengkritisi
dan meneruskan perjalanannya. Ilmu-ilmu sekuler sekarang ini sedang terjangkit
krisis, mengalami kemandekan, dan penuh bias. Berdasarkan hal inilah ilmu-ilmu
integralistik bertolak.[27]
Dalam
ilmu-ilmu sekuler alur pertumbuhannya adalah dimulai dari filsafat yang
kemudian berujung ke ilmu sekuler. Alurnya Filsafat—antroposentrisme—diferensiasi-ilmu
sekuler. Tempat berangkat ilmu-ilmu sekuler adalah modernisme dalam filsafat.
Filsafat rasionalisme yang muncul pada abad ke-15/16 menolak teosentrisme abad
tengah. Rasio (pikiran) manusia diagungkan dan wahyu disingkirkan. Sumber
kebenaran adalah pikiran, Tuhan masih diakui keberadaannya tapi Tuhan yang
lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum-hukum. Dalam rasionalisme, manusia
menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika,
kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan
konsumen produk-produk manusia sendiri.[28]
Sewaktu
manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat, terjadilah diferensiasi
(pemisahan). Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu
Tuhan. Karena itu kebenaran ilmu terletak dalam ilmu itu sendiri. Ilmu harus
objektif, tidak ada campur tangan etika, moral, dan lainnya. Mengaku diri
sebagai objektif, value free, bebas dari
kepentingan lainnya, tetapi ternyata ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu
yang semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atasmanusia. Klaim
objektivitas ilmu mendapat kritikan tajam dari antipositivisme, terutama Karl
Popper dan Thomas Kuhn. Popper menyodorkan falsifikasi, kebalikan verifikasi.
Status ilmiah suatu teori adalah bisa difalsifikasi.[29]
Berbeda
dari alur di atas, pada alur pertumbuhan ilmu-ilmu Integralistik digambarkan
sebagai berikut. Agama—teoantroposentrisme—dediferensiasi—ilmu integralistik
Al-Qur'an merupakan wahyu Tuhan yang merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan,
dan dapat menjadi setidaknya grand theory. Wahyu
tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu. Agama memang mengklaim sebagai sumber
kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Agama tidak pernah
menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan
kecerdasan manusia, atau sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan.[30]
Dengan demikian, sumber pengetahuan ada dua, yang berasal dari Tuhan dan yang
berasal dari manusia.
Dediferensiasi
ialah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk
agama dan ilmu. Agama menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (benar, salah),
bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (manfaat,
merugikan). Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif.
Objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia. Adapun
untuk pengilmuan Islam dilakukan dengan objektivikasi. Kata objektifikasi
berasal dari kata objektif, membuat sesuatu menjadi objektif. Sesuatu objektif
kalau keberadaannya tidak tergantung pada pikiran sang subjek, tapi berdiri
sendiri secara independen. Objektifikasi bermula dari internalisasi nilai,
tidak dari subjektifikasi kondisi objektif. Objektifikasi adalah penerjemahan
nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif.[31]
Dalam
tulisan-tulisannya yang belakangan, tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman
ilmu dengan pengilmuan Islam. perbedaan pertama dalam hal metodologinya. Yang
pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan
keilmuan yang sudah ada, yang dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam,
dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih difahami sebagai teks.
Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini
dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular,
yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin
memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu-ilmu kontemporer, namun
mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekuler.
Dari
sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam
sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya
adalah mengkontekskan tek-teks agama. Dengan kata lain, menghubungkan agama
dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah membumikan
Islam. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara
tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial
ini bersifat transformatif.
Jadi di
satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu
sekuler, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak
dinafikkan, tetapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang
mempunyai keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi,
liberalisasi, dan transendensi. Kerangka teoretis inilah yang ingin diturunkan
kuntowijoyo dari kitab suci (dalam hal ini adalah al-Qur'an).
4.
Model
Integrasi Holistik
Model
"Integrasi Holistik" merupakan alternatif pemikiran yang berupaya
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum secara holistik dari berbagai aspek
dan sudut keilmuan. Gagasan ini lahir dari kegelisahan guru besar dalam
Filsafat Islam UIN Jakarta, Mulyadhi Kartanegara, terhadap kelangkaan literatur
dan referensi yang mengkaji tentang integrasi keilmuan secara mendasar.[32]
Konsepsi integrasi keilmuannya dilatarbelakangi oleh kegelisahan adanya
problematika yang dikandung dalam dikotomi ilmu. Tawaran pemikiran integrasi
keilmuan yang digagas Mulyadhi, bila disederhanakan, bekerja pada dua level epistemologis: pada sistem klasifikasi ilmu
dan pada metodologi ilmiahnya.
Salah
satu pertanyaan penting epistemologis adalah apa yang dapat diketahui oleh
manusia? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada sistem
epistemologi yang dianut. Dalam epistemologi Barat (modern) yang diketahui
manusia adalah segala sesuatu sejauh dapat diobservasi oleh indra. Sedangkan
menurut epistemologi Islam, manusia dapat mengetahui bukan hanya yang fisik,
juga yang metafisik. Sains modern membatasi objek-objek ilmu hanya pada bidang
fisik-empiris karena objek-objek ini sajalah yang bisa diteliti secara objektif
dan karena itu bisa diverifikasi kebenarannya. Sedangkan objek-objek non-fisik
tidak bisa dicerap secara objektif sehingga akan sulit untuk diverifikasi
karena subjektivitas yang terlibat di dalamnya.
Pandangan
demikian muncul karena ilmuwan Barat modern meragukan keberadaan atau secara
lebih epistemologis terhadap status ontologis objek-objek non-fisik. Keraguan
ini telah dimulai sejak masa pasca-Renaissans Eropa (abad 14-15), ketika
metafisika dan filsafat mendapat serangan yang sangat gencar dari para pemikir.
Kemudian sejak paruh kedua abad ke-19, berbagai bentuk empirisisme, antara lain
positivisme dan operasionalisme, membatasi pengetahuan pada data yangdidasarkan
pada indra serta pengingkaran terhadap metafisika. Para penganut empirisme
meyakini data indra sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan satu-satunya
cara untuk sampai pada kebenaran.[33]
Pandangan ini mempengaruhi komunitas ilmiah di paruh pertama abad ke-20
hingga sekarang. Ilmuwan Barat melupakan kenyataan bahwa dengan ketundukannya
pada "kejadian" (generation) dan
"kehancuran" (corruption), maka
alam fisik tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya. Itulah sebabnya alam
membutuhkan agen lain sebagai "pencipta" dunia fisik ini. Kalau alam
fisik sebagai akibat dari sebab pertama, memiliki tingkat objektivitas atau
status ontologis yang nyata, apalagi status ontologi pencipta, sebagai sebab
primernya.[34]
Karena itu, salah satu karakteristik Sains Islami adalah tidak dibatasinya
eksistensi hanya pada ranah materi saja.[35]
Maka
yang dimaksud dengan integrasi objek-objek ilmu adalah sebuah sistem terpadu
objek-objek ilmu yang berkesinambungan dari objek-objek yang bersifat
metafisik, imajinal, dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan parsial.
Sesuai dengan doktrin Wahdat al-Wujud, maka
wujud-wujud yang mengisi rangkaian atau hierarki wujud ini merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu dalam sistem
epistemologi holistik semua rangkaian wujud harus diperlakukan sama. Dengan
demikian, epistemologi Islam mengakui objek-objek non fisik, seperti
Tuhan,
malaikat, maupun jiwa, sebagai substansi-substansi yang immateril. Selain
objek-objek metafisik, dikenal juga objek-objek ilmu berupa gabungan atau
berada di antara yang bersifat metafisik dan fisik, yaitu matematika dan
benda-benda langit. Objek-objek matematik masih punya hubungan erat dengan
benda-benda fisik, karena memang konsep-konsep atau simbol-simbol matematik
diabstraksikan dari benda-benda fisik yang partikular.
Penting
untuk digarisbawahi bahwa objek-objek ini telah dipandang sama-sama valid dan
legitimate sebagai objek penelitian ilmiah yang telah memiliki status ontologis
yang solid dan padu. Konsekuensi logis dari integrasi objek-objek ilmu adalah
adanya integrasi bidang-bidang atau disiplin-disiplin ilmu.[36]
Penerimaan
oleh sains Barat hanya pada objek-objek yang bersifat fisik telah mengakibatkan
disintegrasi bidang-bidang keilmuan, karena dengan demikian bidang keilmuan
yang tidak bersifat fisik-empiris tertolak status keilmuannya. Sebagai contoh
adalah psikologi, yang merupakan ilmu tentang jiwa, dianggap sebagai disiplin
ilmiah bila semua penelitian yang dilakukan di dalamnya harus bersifat empiris,
sedangkan jiwa yangdipandang sebagai substansi immateriil karena tidak bersifat
empiris, harus disingkirkan dari arena penelitian psikologi. Sebagai gantinya,
penelitian psikologi hanya diarahkan pada tingkah laku manusia yang bisa
diamati secara lahiriah (behavior)16
Dalam
epistemologi Islam yang mengakui adanya objek-objek non-fisik selain yang
fisik, alat atau sumber pengetahuan yang dipakai adalah indra, akal, dan hati
(intuisi).[37]
Dalam pandangan muslim, indra merupakan kecakapan (daya) jiwa yang dimiliki
oleh setiap hewan dan manusia, dan bukan hanya sekedar kecakapan fisik semata.
Bersama dengan gerak (harakah), indra (sensasi) merupakan kecakapan jiwa
manusia. Sebagai kecakapan jiwa, indra-indra manusia ini bekerja dengan sangat
menakjubkan. Mata, misalnya, dengan sel-sel saraf yang berhubungan dengan
cahaya dapat mencerap bukan hanya bentuk benda-benda fisik yang diamatinya,
melainkan juga warna mereka. Gelombang cahaya yang masuk ke retina ternyata
mampu diterjemahkan oleh mata sebagai warna dan bentuk benda-benda. Dengan
demikian, objek-objek fisik yang dapat ditangkapnya dengan bantuan cahaya juga
bisa menimbulkan keindahan yang luar biasa bagi siapa saja yang mengamatinya.[38]peranan
yang sangat esensial dalam melengkapi segala kekurangan yang diderita oleh
panca indra. Akal menurut para filosof muslim merupakan kecakapan jiwa/mental yang
khas manusia karena tidak ada hewan yang memilikinya.[39]
Kekuatan khas yang dimiliki akal adalah kemampuannya untuk mengabstrak dari
konsep-konsep universal yang sudah diabstrak dari benda-benda konkret sehingga
ia mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan
benda-benda fisik.[40]
Cara
akal menyelidiki benda-benda fisik yang dicerap oleh indra adalah dengan
mengajukan beberapa pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental yang
dimilikinya seperti kategori ruang, waktu, substansi, kuantitas, kualitas, dan
kausalitas, sehingga muncullah pertanyaan apa, di mana, mengapa, siapa, berapa,
yang mana, dan lain-lain. Selain itu, kemampuan akal untuk mengenal atau
menangkap konsep dan informasi tidak terbatas pada objek-objek indriawi semata
karena akal dapat juga menangkap konsep-konsep abstrak yang tidak berdasar pada
pengindraan. Misalnya, akal mampu memahami perasaan seseorang, sedang sedih,
gembira, atau kecewa, dan seterusnya.[41]
Berbeda
dengan objek-objek fisik yang dikenal sebagai mahsusat
(the sensibles), objek-objek nonfisik oleh filosof muslim
disebut sebagai ma'qulat (the intelligibles), yakni
entitas-entitas immateriil yang hanya bisa ditangkap oleh akal manusia, bukan
oleh indra. Termasuk yang ma'qulat adalah akal-akal (intelek) yang dipandang
memancar dari Tuhan dan yangpaling dekat dengan dunia manusia adalah akal
kesepuluh yang disebut akal aktif yang dalam bahasa agama disebut malaikat
Jibril. Dengan demikian, makhluk-makhluk spiritual, seperti malaikat juga dapat
ditangkap (dipahami) keberadaan dan sifat dasarnya oleh akal manusia. Bahkan
Tuhan sendiri sebagai sebab pertama dari akal-akal dapat ditangkap
keberadaan-Nya oleh akal melalui proses penalaran rasional (silogisme),
khususnya silogisme yang menggunakan dalil-dalil burhani (demonstratif).
Meski demikian, akal yang dimiliki manusia memiliki keterbatasan karena hanya
dapat meneropongi kenyataan kosmos ini pada taraf tertentu saja.[42]
Dalam
pandangan al-Qur'an, di samping eksperimentasi dan penggunaan akal, ada cara
lain untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dunia. Cara itu adalah
intiusi, yang merupakan cara yang tidak bisa1 diperoleh
oleh setiap orang dan disetiap waktu. Daya yang dimiliki intuisi bisa melakukan
apa yang tidak bisa dilakukan oleh akal dan indra. Ini terjadi karena akal
sering gagal dalam memahami sesuatu sebagaimana adanya, karena
ketidakmampuannya untuk dapat menembus realitas sampai ke jantungnya. Menurut
Immanuel Kant, akal murni (pure reason) tidak
mampu mengetahui hakikat (neumena) karena
ia senantiasa tertutup bagi akal. Yang diketahui lewat akal adalah
"fenomena" (penampakan) bukan sesuatu sebagaimana adanya. Apa yang
muncul pada diri manusia bukanlahbenda itu sendiri, melainkan sesuatu
sebagaimana yang ingin diketahui oleh si peneliti, sesuatu sebagai hasil
konstruksi mental atau pikiran subyektif manusia. Ketidakmampuan akal untuk
menembus realitas adalah karena ketergantungannya pada simbol, berupa
kata-kata. Padahal, kata kata tidak sama dengan realitas itu sendiri.[43]
Berbeda
dengan pengetahuan rasional, pengenalan intuitif (irfani)
disebut hudhuri,
karena
objek penelitiannya hadir dalam jiwa penelitinya sehingga ia menjadi satu dan
identik dengannya. Pada level yang tertinggi, intuisi mewujud dalam wahyu yang
khusus diperuntukkan bagi para nabi, dan pada level yang lebih rendah intuisi
berwujud ilham.[44]
Dengan demikian, intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan indriawi
sebagai satu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia. Al-Qur'an merupakan
puncak pengalaman intuitif manusia yang tertinggi. Oleh karena itu, dipandang
sebagai salah satu sumber ilmu yang paling otoritatif, khususnya bagi ilmu-ilmu
naqliyyah,
informasi-informasi
yang dikandungnya merupakan sumber pengetahuan yang paling otoritatif untuk
masalah-masalah eskatologis.[45]
Pengalaman
indriawi dianggap oleh sains modern sebagai satu-satunya pengalaman manusia
yang dapat diverifikasi secara ilmiah, dapat dibuktikan benar tidaknya secara
objektif. Sedangkan pengalaman-pengalaman manusia yang lain seperti pengaalaman
intelektual dan religius dinafikan dan dianggap tidak objektif karena bersifat
subjektif. Tetapi apakah betul bahwa pengalaman indriawi manusia itu bersifat
objektif. Setiap pengalaman manusia, baik berupa indriawi, intelektual, maupun
spiritual (religius atau mistik), memiliki dua sisi: objektif dan subjektif.
Setiap pengamatan indriawi ternyata tidak bisa dilepaskan dari unsur
subjektivitas sang subjek. Dunia yang dialami memang bersifat objektif, tetapi
dunia yang objektif tersebut dialami oleh manusianya secara subjektif.[46]
Pengalaman
non-indriawi juga sama memiliki unsur subjektif dan objektif, misalnya mimpi.
Dunia mimpi adalah dunia non-indriawi ketika objek-objek yang muncul dalam
mimpi terlihat seperti objek-objek fisik, sebenarnya tidak bersifat fisik
tetapi bersifat imajinal, yakni berupa citra citra fisik. Pengalaman mimpi
memang bersifat subjektif, tapi kenyataannya bahwa setiap orang yang bermimpi
melihat gambar-gambar fisik yang tak berfisik dalam mimpinya, menunjukkan bahwa
dunia mimpi itu ada secara objektif. Ibnu Khaldu>n membedakan mimpi menjadi dua macam: mimpi
yang sejati dan mimpi yang hanya merupakan "kembang tidur" dan
bersumber semata-mata dari daya imajinasi yang dikembangkan manusia.
Berpikir
adalah pengalaman yang sangat khas manusiawi. Menurut kaum empiris, nalar tidak
valid sebagai sumber ilmu karena sifatnya yang apriori, sedangkan
pengalaman indriawi bersifat
aposteriori, yakniberdasarkan pengalaman langsung. Sebagai
pengetahuan yang apriori, pengenalan akal bersifat general bukan partikular,
sedangkan wujud nyata selalu bersifat partikular. Karena sifatnya yang seperti
itu, akal tidak mampu mengenali objek yang ditelitinya secara langsung seperti
halnya indra. Dengan demikian, akal tidak bisa dijadikan sebagai sumber ilmu
karena tidak bersifat empiris. Akan tetapi, meski eksperimentasi dan observasi
sangat diperlukan dalam memperoleh pengetahuan mengenai dunia luar, tetapi hal
itu tidak memadai. Karena untuk menafsirkan dan mengorelasikan data
eksperimental mestilah digunakan penalaran dan perenungan atas data empiris
oleh akal.[47]
Sebagai
salah satu pengalaman manusia, pengalaman intelektual bersifat subjektif.
Tetapi akal manusia mempunyai kategori-kategori yang "uniform" antara
yang satu dan lainnya. Setiap manusia, misalnya, mempunyai konsep ruang, waktu,
kausalitas, dan sebagainya, sehingga orang lain dapat memahaminya dengan baik
berdasarkan pengalaman intelektual itu.[48]
Dibandingkan dengan pengalaman indra, pengalaman intelektual dapat menjangkau
hal-hal yang tak terbatas. Selain dapat menjangkau yang tak terbatas, dalam
pandangan al-Ghazali, akal yang dimiliki manusia-pun dapat menjangkau seluruh
objek yang ada dan semua esensi, kecuali bila akal menutupi dirinya atau karena
sesuatu hal.[49]
Seperti
pengalaman indriawi, pengalaman intelektual juga bersifat universal karena
segala keistimewaan akal bukan hanya dimiliki oleh seorang saja, melainkan juga
oleh semua orang. Karena itu pengalaman intelektual lebih bersifat
inter-subjektif. Sebagaimana pengalaman-pengalaman manusia lainnya, pengalaman
mistik juga memiliki sifat subjektif dan objektif. Memang pengalaman mistik
hanya dialami secara individual,
tetapi setiap diri
manusia potensial untuk
mengalami pengalaman mistik itu.
Pengamatan
indra dapat mengenal objek-objek fisik dari berbagai dimensinya; bentuk, bunyi,
bau, raba, dan rasanya. Karena keterbatasan yang dimiliki pancaindra dalam
mengamati dan mengenali objek-objek fisik, maka diperlukan cara-cara tertentu
untuk membuat pengamatan indriawi lebih objektif.
Dengan
demikian, metode-metode ilmiah yang telah membentuk satu kesatuan yang padu
dari metode tajribi, burhani, irfani, serta bayani niscaya
digunakan dalam epistemologi Islam. Sebagai metodologi ilmiah keempat metode
tersebut harus dipandang sah (legitimate) karena perbedaan
mereka tidaklah karena kualitasnya sebagai metodologi tetapi semata-mata karena
perbedaan sifat dasar objek-objek yang mereka teliti. Karena itu, kalangan
muslim berkeyakinan bahwa semua ilmu datang dari Tuhan, baik diperoleh melalui
saluran indra, observasi, akal sehat, maupun intuisi. Di sinilah letak
perbedaan dengan filsafat dan sains modern Barat. Perkembangan mutakhir
menunjukkan bahwa pandangan filsafat dan sains kontemporer mulai mengakui dan
menerima epistemologi yang berkembang dalam tradisi Timur.
Pemihakan
sains modern terhadap materialisme dalam bentuk positivisme dan naturalisme
telah menyebabkan timbulnya revolusi terhadap penjelasan ilmiah Aristotelian
yang mensyaratkan sebuah penjelasan ilmiah untuk memenuhi empat sebab atau
empat prinsip penjelasan: (1) sebab efisien, (2) sebab final, (3) sebab
materiil, dan (4) sebab formal. Dalam sains modern, sebab materiil dan formal
dianggap kuno dan tidak memiliki nilai atau makna yang besar kecuali dalam
estetika. Sebab final juga telah lama diabaikan dalam fisika. Dalam biologi,
sebab final terkadang masih digunkan, pada level common
sense, untuk
memahami fenomena biologis atau perkembangan, tetapi sebagian besar ahli
biologi dengan terang-terangan menganggap tak berguna terhadap sebab-sebab tersebut.
Bahkan, dalam psikologi peranan sebab-sebab final sangat kontroversial. Pada
masa kini satu-satunya sebab yang masih diperhatikan dalam penjelasan ilmiah
sains modern adalah sebab efisien, yang dipandang sebagai sebab terjadinya
gerak atau perubahan. Meskipun begitu, ilmuwan modern menganggapsebab efisien
dunia materiil berasal dari dirinya sendiri bukan dari luar, dan menyebutnya
sebab imanen.[50]
Ilmuwan
modern hanya menganggap perlu satu macam sebab saja untuk penjelasan ilmiah,
yaitu sebab efisien, yang dipahami sebagai sebab penggerak yang berasal dari
dirinya sendiri. Tetapi, dari sudut pandang keilmuan yang integral dan
holistik, penjelasan ilmiah modern tersebut bisa merugikan karena meninggalkan
banyak aspek yang seharusnya dijelaskan dengan terperinci dan jelas dalam
penjelasan ilmiah yang integral. Akibatnya, penjelasan ilmiah akan bersifat
timpang dan distorsif, dengan membiarkan celah-celah yang lebar tak tersentuh.[51]
Dalam
sains modern, aspek teologi telah diabaikan begitu saja. Mereka beranggapan
bahwa dunia ini tidak memiliki tujuan. Mereka memandang teologi tidak berguna,
bahkan merugikan kegiatan ilmiah.[52]
penjelasan ilmiah yang terkadang masih dipakai yaitu sebab efisien, jelas
tidak memadai untuk meneliti atau menyelidiki semua aspek sebuah objek. Sebagai
contoh, teori penjelasan ilmiah modern tidak merasa perlu untuk mempertanyakan
apa tujuan penciptaan alam semesta oleh penciptanya. Penjelasan ini dipandang
tidak relevan oleh astrofisikawan modern karena menyangkut sebab final yang
dianggap telah ketinggalam zaman dan tidak diperlukan. Sains modern tidak
hendak menjawab pertanyaan "mengapa" tetapi hanya menjawab pertanyaan
"bagaimana".[53]
Ini berbeda denganpandangan muslim bahwa penciptaan dunia memiliki tujuan.
Pertanyaan tentang apa tujuan penciptaan alam amat berguna untuk memberikan
orientasi kepada manusia yang hidup di dalamnya. Al-Qur'an menyatakan bahwa
alam semesta tidak diciptakan kecuali dengan sebuah tujuan (illa bi
al-Baqq)
Dalam
pandangan sains modern yang masih mempertahankan sebab efisisen tetapi yang
diapahami sebagai "sebab imanen", pertanyaan siapa yang menciptakan
alam, tetap tidak terjawab dengan baik. Menurut mereka, "sebab
imanen" yang merupakan sebab dari gerak alam tidak perlu dicari di luar
dirinya, tetapi cukup di dalam dirinya sendiri (imanen). Alam kemudian
dikonsepsikan sebagai sesuatu yang dapat menciptakan dirinya. Padahal
dalam pandangan dunia Islam, Tuhan adalah pencipta dan pemelihara alam semesta.
Sebagai kebalikan dari sains sekuler yang mengabaikan Tuhan, membatasi
eksistensi hanya pada dunia material, mengingkari tujuan apa pun bagi alam
semesta, dan mengabaikan nilai. Sains dalam pandangan Islam memperlihatkan
saling keterkaitan dari semua bagian alam semesta. Kajian tentang fenomena alam
akan menunjukkan adanya saling keterkaitan antara berbagai bagian alam,
setidak-tidaknya pada tingkat yang fundamental. Ini dipandang sebagi tanda
kesatuanpenciptaan alam. Dari sudut pandang al-Qur'an, kesatuan penciptaan
menjadi petunjuk terhadap keesaan Sang Pencipta.
Sementara
sebab materiil, masih dipertahankan oleh sebagian ilmuwan. Sedangkan sebab
formal, sebagaimana sebab final, telah disingkirkan oleh banyak ilmuwan modern,
karena sebab tersebut dipandang tidak menjelaskan fakta, tetapi berbicara
tentang makna, sedangkan sains tidak membutuhkan makna. Dalam pandangan
Aristotelian dan para pengikut muslimnya, "bentuk" atau "sebab
formal" merupakan komponen yang penting bagi terwujudnya objek apa pun,
karena tanpa bentuk sesuatu itu hanya akan berada pada taraf potensial dan
tidak aktual. Oleh karena itu, pandangan ilmiah yang integral dan komprehensif,
meniscayakan adanya keempat prinsip penjelasan atau sebab itu harus
dikembalikan, dan harus mendapatkan penjelasan ilmiahnya masing-masing. Apa
yang dimaksud Aristoteles dengan sebab-sebab tersebut? Pertama, sebab efisien.
Sebab efisien didefinisikan Aristoteles sebagai "sebab lewat mana suatu
perubahan dibuat". Sebab final dipahami sebagai "tujuan untuk apa
sebuah perubahan dihasilkan". Sedangkan sebab materiil adalah sebab ketika
sebuah perubahan dibuat. Sebab formal adalah sebab ke mana sesuatu itu diubah.[54]
Dalam
sejarah perkembangan pemikiran Islam, keempat prinsip (sebab) penjelasan ilmiah
ini selalu mendapat perhatian yang serius, semenjak al-Kindi hingga ibnu
Khaldun, Tabataba'i, dan lain-lain. Alasan pentingnya mengembalikan keempat
prinsip penjelasan ilmiah tersebutadalah karena tanpa keempat prinsip tersebut,
penjelasan tentang sebuah objek yang diteliti tidak akan komplit dan
komprehensif. Para pemikir muslim memandang penting kajian teoritis ilmu
pengetahuan sehingga istilah Fiqh al-Akbar ditujukan
untuk ilmu-ilmu teoritis, sedangkan Fiqh al-Asghar untuk
ilmu-ilmu praktis. Para filosof muslim membagi ilmu pada dua klasifikasi/jenis,
teoritis dan praktis. Pembagian ini terkait erat dengan pembagian akal oleh
mereka ke dalam akal teoritis dan akal praktis. Perbedaan fundamental antara
ilmu-ilmu teoritis dan praktis, dari sudut objeknya adalah bahwa objek-objek
ilmu teoritis berupa benda/entitas (fisik dan non-fisik), sedangkan objek-objek
ilmu praktis adalah tindakan volunter (bebas) manusia. Sementara dari sudut
tugasnya, tugas utama akal teoritis adalah mendirikan bangunan ilmiah ilmu yang
komprehensif. Sedangkan tugas utama akal praktis adalah mengelola nafsu-nafsu
manusia sehingga akal praktis disebut oleh mereka sebagai mudabbir,
manajer.[55]
Dalam
tradisi filsafat Islam, sekalipun bisa dibedakan menurut objek dan tugasnya,
antara pengetahuan teorotis dan praktis tidak bisa dipisahkan secara tegas.
Ilmu-ilmu praktis selalu memiliki landasan teoritis, khususnya landasan
metafisiknya. Oleh karena itu, integrasi ilmu pengetahuan tidak mungkin
tercapai hanya dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang memiliki basis
teoritis yang berbeda (sekuler dan religius). Sebaliknya, integrasi (atau
reintegrasi) meniscayakan pemaduan hingga tingkat epistemologi. Untuk mencapai
tingkat integritasepistemologi,
maka integrasi harus diusahakan pada beberapa level: integrasi ontologis,
integrasi klasifikasi ilmu, dan integrasi metodologis.[56]
Dengan demikian, integrasi mesti dilakukan secara holistik mencakup
seluruh dasar bangunan keilmuan.
Model
integrasi yang dirumuskan Mulyadhi Kartanegara ini sejalan dengan perubahan
paradigma yang berkembang dalam filsafat dan sains kontemporer. Untuk menyebut
sebagai contoh misalnya, karya-karya Fritjof Capra telah mendekonstruksi
asumsi-asumsi sains Barat modern yang mengagungkan pada materialisme. Capra
justru menemukan titik temu antara pandangan dunia Timur yang tidak memisahkan materi
dengan jiwa (roh) dengan penemuannya pada benda-benda sub-atomik. Hasil
penelitiannya justru menunjukkan tidak terpisahnya materi dengan non-materi.
Konsekuensinya, hirarki realitas sebagai satu kesatuan yang membentuk jejaring,
mulai memperoleh pengakuan.
Terkait
dengan model integrasi antara agama dan sains, terdapat beberapa model
integrasi ilmu dan agama menurut Armahedi Mahzar, model-model itu dapat
diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar yang menjadi komponen
utama model itu, yaitu model monadik, diadik, triadik, dan pentadik
integralisme Islam.[57]
C. Penutup
1. Integrasi
ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu,
dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu
yang bersifat umum, dalam manajemen lembaga pendidikan Islam dapat dilihat dari
perkembangan IAIN menjadi UIN yang berimplikasi pada kurikulum.
2. Model
pendekatan integrasi interkoneksi yaitu mengikuti pola single
entity dalam
arti diantara kedua pengetahuan agama dan umum berdiri sendiri tanpa ada
dealektika diantara keduanya, ataukah mengikuti model isolated
entities dalam arti masing-masing rumpun ilmu berdiri
sendiri. Atau model interconected entities, dalam
arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan
manusia, lalu menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan
pendekatan (approach) dan
metode berfikir dan penelitian (process and procedure).
3. Pendekatan
objektifikasi Islam yaitu ada dua
model utama yang semuanya berusaha kembali kepada teks. Pertama,
dekodifikasi
(penjabaran), yakni al-Qur'an dan Sunnah dijabarkan (dekodifikasi) ke dalam
ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tasawuf, dan fiqh (atau dari teks-ke teks). Kedua, adalah
islamisasi ilmu pengetahuan.
4. Model
Integrasi Holistik merupakan alternatif pemikiran yang berupaya
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum secara holistik dari berbagai aspek
dan sudut keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
A1-Ghazali, Imam. Mishkat al-Anwar. Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964.
Abdullah, M. Amin. Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN
Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integrartif
Interdisciplinary, dalam
Zainal Abidin Bagir dkk. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan
Aksi, Bandung:
Mizan, 2005.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Ghazali, Imam.
Ihya al-
'Ulum al-Din, Jilid
III. Semarang: Thaha Putera, t.t.
Al-Qardhawi, Yusuf. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifahwal
Hadharah” diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan
dan Peradaban. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.
Armai Arief. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I. Jakarta: CRSD
Press, 2005.
Azra, Azyumardi. '"Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam",
dalam
Zainal Abidin Bagir dkk. [Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan
Aksi. Bandung:
Mizan, 2005.
Bakar,
Osman. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung:
Mizan, 1998.
Fadjar, Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998.
Gahrial, Donny Adian. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari
David Hume sampai Thomas Kuhn. Bandung: Teraju, 2002.
Golshani, Mehdi. Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami
atas Sains. Bandung:
Mizan dan CRCS Graduate Program UGM Yogyakarta, 2004.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik. Mizan Press: 2005.
-----------------,. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1998.
Kusmana. Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Menuju Universitas Riset. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Mahzar, Armahedi. Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi
dalam
Jarot Wahyudi, Integrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005.
Mohd, Syed. Naquib al-Attas,
Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir. Bandung: Mizan,
1984.
Mohd, Wan Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terjemahan dari The Concept of Knowledge in Islam and
Implication for Education in a Developing Country. Bandung: Pustaka, 1997.
Rahim, Husni. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia.
Jakarta:
Logos, tt.
Sardar, Ziauddin. The Ethical Connection: Christian Muslim
Relations in the Postmodern Age, dalam Islam and Cristian-Muslim Relations, Volume 2, No. 1, Juni 1991
Siroj,
Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi Bandung: Mizan, 2006.
[1]
Syed Mohd. Naquib al-Attas, Konsep
Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), 9
[3] Arief,
Armai. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I (Jakarta: CRSD Press, 2005), 3
[4]
Yusuf al-Qardhawi. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifahwal Hadharah”
diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 87
[7] Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Menuju Universitas Riset (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 13.
[8] Azyumardi Azra, '"Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam",
dalam
Zainal Abidin Bagir dkk. [Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi
(Bandung:
Mizan, 2005), 210.
[9] Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menuju Universitas Riset (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 64.
[11]Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 214
[12]M. Amin Abdullah, Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN
Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integrartif
Interdisciplinary, dalam
Zainal Abidin Bagir dkk. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan
Aksi, (Bandung:
Mizan, 2005), 242.
[13] Ibid.
[16] Ibid., 261.
[17] Ziauddin Sardar, The Ethical Connection: Christian Muslim
Relations in the Postmodern Age, dalam Islam and Cristian-Muslim Relations, Volume 2, No. 1, Juni 1991, 66.
[19] Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari
David Hume sampai Thomas Kuhn (Bandung: Teraju, 2002), 174
[21] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 106.
[22] Ibid., 107.
[23] A.E. Priyono, "Periferalisasi, Oposisi,
dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak Pemikiran DR. Kuntowijoyo)"
Prolog dalam buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), 38.
[26] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terjemahan dari The Concept of Knowledge in Islam and
Implication for Education in a Developing Country (Bandung: Pustaka, 1997), 5.
[28] Ibid., 53.
[31] Ibid.,
[32] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu:
Sebuah Rekonstruksi Holistik (Mizan Press:
2005), 34.
[33] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami
atas Sains (Bandung:
Mizan dan CRCS Graduate Program UGM Yogyakarta, 2004), 11.
[36] Ibnu Sina mengelompokkan objek-objek ilmu ke
dalam tiga macam, yaitu: (1) objek-objek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan
materi dan gerak [disebut sebagai objek-objek metafisik] menghasilkan kelompok
ilmu-ilmu metafisika; (2) objek-objek yang senantiasa berkaitan dengan materi
dan gerak; dan [disebut sebagai objek-objek fisik dan menghasilkan ilmu-ilmu
fisika] (3) objek-objek yang pada dirinya immateriil tetapi kadang melakukan
kontak dengan materi dan gerak (disebut objek-objek matematika). Ketiga
kelompok bidang ini telah membentuk kesatuan bidang-bidang ilmu yang koheren,
semacam trilogi bidang ilmu yang solid yang menjamin integrasi di bidang
klasifikasi ilmu. Dalam Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu... , 71-73.
[41] Ibid., 109
[42]Menurut Endang Safuddin Anshari dengan
kemampuan struktur rasional membuat manusia dapat (1) membentuk
pengertian-pengertian, (2) merumuskan konsep, (3) menarik kesimpulan. Karena
itu rasio dapat memberi kemungkinan pada manusia untuk menyelami dan memahami
hal-hal yang matematis saja, tetapi juga dapat menjelajahi dunia spiritual.
Lihat dalam Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 2002), 150.
[46] Ibid., 116.
[51] Ibid., 150.
[55] Ibid., 153 dan 163.
[56] Ibid., 208
[57]Armahedi Mahzar, Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi
dalam
Jarot Wahyudi, Integrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005),
94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar