Sabtu, 09 Maret 2019

Riwayat Sholawat Badar


PENGGUBAH SHOLAWAT BADAR ITU SANTRI LIRBOYO

Shalawat Badar sangat familiar di kalangan nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama). Di hampir seluruh kegiatan Nahdlatul Ulama, shalawat ini selalu didengungkan. Berikut sebagian teks Shalawat Badar:
صَـلاَةُ اللهِ سَـلا مُ اللهِ * عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
Shalaatullaah Salaamul laah ‘Alaa Thaaha Rasuulillaah
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Thaaha* utusan Allah

صَـلا ةُ اللهِ سَـلا مُ اللهِ * عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Shalaatullaah Salaamullah ‘Alaa Yaa Siin Habiibillaah
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Yasin* kekasih Allah
تَوَ سَـلْنَا بِـبِـسْـمِ اللّهِ * وَبِالْـهَادِى رَسُـوْلِ اللهِ
Tawassalnaa Bibismi llaah Wabil Haadi Rasuulillaah
Kami berwasilah dengan berkah “Basmalah”, dan dengan Nabi sang Petunjuk, lagi utusan Allah
وَ كُــلِّ مُجَـا هِـدِ لِلّهِ * بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
Dan dengan berkah seluruh orang yang berjuang karena Allah, sebab berkahnya para sahabat yang berjuang dalam perang Badar ya Allah.
Shalawat Badar digubah oleh Kiai Ali Mansur Banyuwangi. Beliau adalah salah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember. Syair itu digubah pada era 60-an. Saat itu, Kiai Ali Mansur menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama.
Proses terciptanya Shalawat Badar tidaklah seperti terciptanya syair pada umumnya. Pada suatu malam, Kiai Ali Mansur tidak bisa tidur. Ia terus dirundung gelisah. Pasalnya, situasi negara dan masyarakat Indonesia terbilang carut marut. Apalagi, situasi politik yang ada semakin tidak menguntungkan Nahdlatul Ulama, yang saat itu masih menjadi partai politik, bukan organisasi kemasyarakatan seperti sekarang.
Orang-orang PKI, yang menjadi lawan utama NU dalam ranah politik, semakin leluasa mendominasi kekuasaan. Bahkan, mereka dengan terang-terangan ingin memusnahkan NU dengan melemahkan posisi kiai-kiai di pedesaan. Bahkan membunuh para kiai itu. Ini tidak lain didasari fakta bahwa para kiai inilah yang dengan sekuat tenaga membendung virus ideologi yang disebarkan PKI.
Kegelisahan Kiai Ali Mansur ini bertambah masygul. Di malam sebelumnya, beliau bermimpi didatangi para habib berjubah putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena di malam yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah .
Keesokan harinya, beliau segera sowan kepada salah satu ulama besar ketika itu, Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Ditanyakanlah perihal mimpi itu, “Itu Ahli Badar, ya Akhy,” jawab Habib Hadi.
Peristiwa aneh ini kemudian menginspirasi beliau untuk menggubah syair. Perlu diketahui, beliau adalah ulama yang sangat mahir dalam menggubah syair. Kemahiran ini beliau peroleh saat masih nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo. yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.
Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa arab. Beliau memang dikenal mahir membuat syair sajak ketika masih belajar di Pondok Pesantren Lirboyo. Di pesantren ini, beliau mengenal ilmu ‘arud, sebuah ilmu yang khusus mempelajari rumus-rumus syair Arab yang rumit. Hingga sekarang, pelajaran ini menjadi bahan ajar wajib bagi santri Pondok Pesantren Lirboyo.
Peristiwa aneh ini ternyata tidak berhenti. Keesokan harinya, tetangga sekitar rumah berbondong-bondong menuju rumah beliau. Mereka membawa beras, daging, sayur mayur dan lain sebagainya, seperti akan ada hajat besar di rumah beliau. Saat ditanya mengapa mereka bertingkah demikian, jawaban yang ada juga mengherankan. Mereka bercerita, bahwa di pagi-pagi buta, pintu rumah masing-masing dari mereka didatangi orang berjubah putih. Ia memberi kabar, bahwa di rumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka, mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya.
“Siapa orang yang berjubah putih itu?”Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali Mansur tanpa jawaban. Di malam harinya, para tetangga itu bekerja di dapur untuk mengolah bahan-bahan yang telah terkumpul siang tadi. Sampai malam itu pula, tidak ada satupun orang yang tahu, masakan yang mereka buat untuk acara apa.
Hingga kemudian menjelang matahari terbit, datanglah serombongan berjubah putih-hijau. Usut punya usut, mereka adalah rombongan habib yang dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi, Kwitang, Jakarta.
“Alhamdulillah,” kiai Ali Mansur sangat bergembira dengan kedatangan rombongan itu. Mereka adalah rombongan para habaib yang sangat dihormati oleh keluarganya. Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali Kwitang menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur, “Ya Akhy! Mana syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!”
Tentu saja Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam tanpa siapapun yang memberitahu beliau. Namun ia memaklumi, itulah karomah yang diberikan Allah kepadanya.

Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya di hadapan para tamu. Suara Kiai Ali Mansur yang merdu, membuat alunan suara Shalawat Badar sangat dinikmati oleh para Habaib. Mereka  mendengarkannya dengan khusyuk, hingga meneteskan air mata karena haru. Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dialunkan oleh Kiai Ali Mansur, Habib Ali Kwitang segera bangkit. “Ya Akhy! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar!” serunya dengan nada mantap.
Sejak saat itu, Shalawat Badar perlahan menjadi semacam bacaan wajib bagi warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI. Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH. Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itulah Shalawat Badar dikumandangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar