Minggu, 09 September 2018

Refleksi Bulan Muharrom dan Suro


REFLEKSI BULAN MUHARROM DAN SURO
Oleh
Masruchin, S.Ag
(Penulis adalah Wakil Ketua Ranting NU desa Juwet)

Bulan Muharram dengan suro oleh masyarakat Jawa memang diidentikkan yang sebenarnya mempunyai makna dan peristiwa yang berbeda. Muharram adalah nama bulan pertama pada sistem penanggalan hijriah yang dipakai sebagai penanggalan kaum muslim Jawa, yang ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang biasa disebut sebagai penanggalan Aboge. Ini merupakan ijtihad penting yang dilakukan Sultan Agung, yang menjadi simbol asimilasi budaya Islam dan budaya Jawa.
MAKNA BULAN MUHARRAM
Kata Muharram secara harfiah bermakna "yang disucikan, yang tidak dibolehkan, yang dimuliakan, tidak boleh disentuh". Negeri Makkah disebut juga tanah "al-haram", atau tanah yang suci.
Ketika kita memberi hormat (hurmat, al-hurumat) itu karena saat itu kita memuliakan yang sedang dihormati (dimuliakan). Orang yang dihormati artinya yang dimuliakan , yang tidak boleh" disentuh ", karena ia pasti dijaga.
Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, bulan suci, dan bulan yang dijaga, sehingga pada bulan itu manusia diperintahkan memperbanyak ibadah.
MAKNA SURO
Kata suro sebutan untuk bulan Muharram bagi masyarakat Jawa yang diambil dari bahasa Arab " 'asyura' " yang berarti sepuluh yakni tanggal 10 Muharram. Karena pentingnya tanggal itu oleh masyarakat Islam dijawa tanggal itu akhirnya tanggal itu menjadi terkenal dibandingkan nama bulan Muharram itu sendiri. Yang lebih populer dengan sebutan asyuro dan dalam lidah Jawa menjadi "SURO". jadilah kata suro sebagai khazanah islam-jawa asli sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa.
Kata suro juga menunjukkan arti penting (keramat) 10 hari pertama bulan itu dalam sistem kepercayaan Islam-jawa, atau lebih tepatnya tgl 1 sampai 8 saat mana dilaksanakan acara kendur bubur suro. Namun mengenai kekeramatan bulan suro bagi masyarakat Islam-jawa lebih disebabkan oleh faktor budaya Keraton, bukan karena "kesangaran" bulan itu sendiri.
ASIMILASI BULAN KALENDER ISLAM DENGAN JAWA
Dalam serat Widya Pradana (karangan R. NG. Ranggawarsita) dikatakan bahwa untuk memperkenalkan kalender Islam dikalangan masyarakat Jawa, maka bertepatan dengan tahun 931 H atau 1400 tahun saka, 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada pemerintahan kerajaan Demak, sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Caranya dengan menggabungkan hari tujuh Hijriyah dengan hari ke lima (tepatnya hari lima atau pancawara).
Sebelum hari tujuh Islam (itsnain, tsulatsa', arba'a, Khamis, jum'ah, Sabtu, dan Ahad) ada hari tujuh lama (Soma, Anggara, Budha, respati, sukra, tumpak, dan radite).
Hari pancawara (yang kemudian dikenal sebagai hari "pasaran") itu meliputi : legi (manis), pahing (merah), pon (kuning), Wage (hitam), dan Kliwon (asih/kasih). Karena penggabungan ini (hari tujuh Islam dan pancawara), maka dikenallah hitungan selapan (35 hari) dalam setiap bulan. Orang Jawa juga mengenal nama-nama tahun yang berulang atau berputar setiap delapan tahun sekali, yaitu : Alip, ehe, jimawal, je, dal, be, wawu dan jimakir. Penggabungan kalender tersebut kemudian mengalami penyempurnaan dan diresmikan pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo senopati Ing Aloga Ngabdurrahman Sayyidin panotogomo Khalifatullah memadukan 1 suro Caka 1 Muharram Hijriyah yang dimulai sejak tanggal 8 Juli 1633 M atau Jum'at legi bulan jumadilakir tahun 1555 Caka.
Penggabungan kalender tersebut, itu sebagian orang, diduga sebagai salah satu strategi untuk merumuskan dua varian, yang menurut Clifford Geertz disebut Islam santri dan Islam abangan.
Pada setiap hari Jum'at legi, Sultan Agung menjadikan Dina Paseban (hari pertemuan resmi) sebagai pelaporan pemerintahan daerah-daerah kepada keraton secara resmi. Sementara itu, untuk daerah timur, pada hari yang sama  (Jum'at legi) dilakukan juga laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul (kalau tepat waktu) ke makam Ngampel dan giri. Sebagian dari akibatnya adalah, bahwa jika tanggal 1 Muharram (1suro) dimulai pada hari Jum'at dimulai pada hari Jum'at legi, maka bulan Muharram tersebut dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Jawa, bahwa ada yang beranggapan akan menemui kesialan kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.
PERISTIWA-PERISTIWA YANG TERJADI PADA BULAN MUHARRAM
Dalam sebuah atsar yang dicatat oleh imam Al-Ghazali dalam kitabnya Mukasyafah al-qulub al-Muqarrib min 'allam al-ghuyub (2004: 311) (pembuka hati yang mendekatkan dari alam ghaib), disebutkan bahwa pada hari 'asyura' Allah menciptakan 'arsy, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, dan surga. Nabi Adam diciptakan, bertaubat dan dimasukkan kedalam surga juga pada hari tersebut. Pada hari itu, nabi Idris diangkat ke tempat yang lebih tinggi. Pada hari 'asyuro, perahu nabi Nuh merapat di bukit judi. Nabi Ibrahim dilahirkan dan diselamatkan dari api raja Namrud. Pada hari 'asyuro nabi Ya'kub disembuhkan dari semua penyakitnya, nabi Yusuf dikeluarkan dari penjara, nabi Musa dan pengikutnya selamat menyeberangi lautan, raja Firaun tenggelam dilautan. Pada hari itu nabi Sulaiman diberikan karunia kerajaan yang besar, nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan, dan nabi Isa dilahirkan dan diangkat ke langit, dll.
PENYEBAB PENSAKRALAN BULAN SURO/MUHARRAM
Terdapat berbagai sebab bulan Suro disakralkan sebagian masyarakat Indonesia terutama Jawa, diantaranya yang paling utama :
1.        Secara teologis religius, bulan Muharram bulan yang dimuliakan Allah SWT.
2.        Oleh Rasulullah dinyatakan sebagai "bulan para nabi", dan Rasulullah memuliakan bulan tersebut dengan menganjurkan berpuasa, memperbanyak sedekah, dan menyantuni anak yatim.
3.        dari sudut pandang semi-historis, bulan Muharram pada tanggal 10 merupakan peringatan hari pertama, bagi dunia baru, setelah terjadi bencana banjir bandang dan topan badai pada zaman nabi Nuh. Pada tanggal 8 Muharram perahu nabi Nuh merapat di bukit judi, gunung Ararat di Turki. Pada tanggal 10 Muharram nabi Nuh bersama pengikutnya yang selamat turun dari perahu, dan memulai kahidupan yang baru. Kata bukit "judi" berarti bukit yang baru didiami manusia.
4.        Tanggal 1 Muharram merupakan awal ekspedisi hijrah nabi Muhammad. Memang Rasulullah melakukan hijrah baru dua bulan berikutnya. Tercatat Rasullullah pada tanggal 12 rabi'ul awal tahun 1 H, baru memasuki Madinah, setelah hampir 12 hari menempuh perjalanan di malam hari. Akan tetapi ekspedisi hijrah baik utusan sahabat pendahulu menjalin kontak dengan penduduk Madinah dan sebagainya dilakukan sejak awal. Beberapa sepupu nabi diperintahkan untuk memulai gerakan hijrah Secara berangsur-angsur. Utsman, Hamzah, dan Zaid tercatat diperintahkan Rasullullah untuk berangkat malam tanggal 1 Muharram.
5.        Bulan Muharram, atas prakarsa Sultan agung menjadi bulan awal tahun baru bersama-sama antara Islam dan Jawa. Juga ada keyakinan disebagian Masyarakat Jawa bahwa bulan ini adalah bulan kedatangan Aji saka di tanah Jawa, dan membebaskan Jawa dari cengkeraman makhluk-makhluk raksasa (dewata cengkar, Banul Jan). Selain itu juga diyakini sebagai bulan kelahiran huruf jawa.
6.        Oleh masyarakat di pulau-pulau sebelah selatan Indonesia, terdapat keyakinan tentang kaitan sakral antara bulan Muharram dengan ratu pantai selatan (nyai Roro kidul).
7.        Pada tanggal 10 Muharram atau 'asyuro, dalam sejarah Islam terjadi peristiwa yang sangat mengharukan. Dimana terjadi peristiwa pembantaian anak keturunan nabi dan pengikutnya, yang ditandai dengan gugurnya sayyidina Husain secara sangat tidak manusiawi atas restu Khalifah Yazid bin Muawiyah.
RITUAL DIBULAN SURO
Sebagaimana diketahui, do'a ada dua jenis. Pertama, do'a yang ma'tsurah, yakni do'a-do'a baku yang memang terdapat dalam Al-Qur'an yang di ajarkan oleh nabi Muhammad Saw. Kedua, do'a ghoiru ma'tsurah, yakni do'a-do'a yang diajarkan oleh para ulama, atau berdasarkan susunan redaksi seseorang (diri sendiri) yang umumnya terkait dengan berbagai peristiwa, keadaan, dan kebutuhan. Pada konteks ini do'a-do'a yang sering dijadikan wirid pada bulan Muharram termasuk jenis yang kedua. Adapun ritual dibulan suro diantaranya:
1.        Puasa pada hari terakhir bulan ke 12 (akhir tahun), biasanya dilanjutkan dengan puasa diawal tahun yaitu 1 Muharram (1suro). Dalam salah satu riwayat pada kitab Durrat al-Nashihin (1406 H/1986 M: 281), dikemukakan berpuasa dalam dua hari berturut-turut ini dapat mengimbangi terhapusnya dosa-dosa (kecil) selama 50 tahun.
2.        Ritual sholat dan do'a akhir tahun.
3.        Adapun tatacaranya ada dalam kitab fashalatan Ahlu al-sunnah wa al-jama'ah, hal 92-93.
4.        Ritual do'a awal tahun (fashalatan hal.94).
5.        Disebutkan dalam berbagai cerita populer bahwa faedah do'a ini; akan mendapatkan perlindungan dari segala godaan dan kejahatan setan (majmu' Syarif, hal. 173-174; majmu'at, hal. 213).
6.        Selamatan tanggal 1 suro
7.        Puasa dan "rialat" (melakukan laku rohani dalam keprihatinan, guna memperoleh kesempurnaan hidup).
8.        Selamatan "bubur manggul".
9.        Selamatan dengan mendirikan suro.
10.    Bertapa atau khalwat 10 hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar